Selasa, 06 Juli 2010

Fidyah Shalat

Shalat adalah  ibadah yang terwaktu 'kitabam mauquta'. Pengerjaan shalat yang tidak pada waktunya akan mengkausalisasi atau menjadikan sebab-akibat mengapa seorang muslim harus segera mengqodlonya pada kesempatan waktu yang masih dimilikinya saat masih hidup. Topik yang akan kita bahas ini, mengarah pada pelaksanaan qodlo shalat dan pembayaran fidyah bagi orang yang sudah meninggal.
Permasalah yang paling mendasar dari munculnya pro-kontra fidyah shalat atau pengqodloannya bermuara sebagai persoalan yang Ijtihady (bersifat ijtihad) karena tidak ditemukannya teks dalam al-Qur'an dan Hadits yang secara orisinil mendeskripsikan fidyah shalat atau qodlonya bagi orang mati. Berangkat dari sini, proposi responden para fuqaha memilki perbedaan satu sama lain (khilafiyah), dari mulai yang menolak, mengacuhkannya atau yang mendukungnya.
Ada  beberapa pendapat mengenai qadla shalat dan fidyahnya yang kami sarikan menjadi 3 pendapat secara gari besar :
Pertama, tidak usah qadla dan fidyah. Inilah pendapat yang ashoh (paling shahih) dan masyhur menurut Imam Syafi'i. Dikarenakan  tidak terdapat dalam hadits dan Qur'an. Redaksi seumpama Man mata wa alaihi sholat la tuqdlo wa la tufda. 'Barang siapa yang mati dan masih memiliki tanggungan shalat maka tidak usah diqodlo dan difidyahi', dapat kita temui dalam kitab-kitab pesantren madzhab Syafi'iyah.
Kedua, diqadla seperti apa yang terjadi dalam bab puasa. Varian yang kedua ini qiyaskan pada puasa. Peristiwa ketika seorang perempuan bertanya mengenai ibunya yang meninggal  kepada nabi Muhammad saw dengan kondisi belum memenuhi kewajiban berpuasa nadzar, perempuan itu  bertanya  tentang apakah ia dapat berpuasa untuk menggantikan ibunya (mengqodlo puasa untuk ibunya). Nabi Muhammad bersabda :  'Berpuasalah untuk ibumu' ((I'anat at-Thalibin: 2/244). Semakna dengan pernyataan ini, Imam Subuki juga pernah melakukan qodlo shalat untuk ibunya yang meninggalkan 5 waktu shalat. Dan ternyata respon dari kalangan Syafi'iyah menganggapnya baik. Pelaksanaan  qodlo shalat ini baik ada wasiat atau tidak. Qaul ini juga didukung oleh sekelompok ulama kontemporer. Dengan bertendensikan kalau puasa saja bisa diqodloni oleh orang lain mengapa shalat tidak, padahal shalat adalah ahammu/ paling penting dan merupakan rukun islam yang kedua sebelum rukun puasa.
Ketiga, difidyahi dengan membayar satu mud makanan pokok setiap shalat. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh madzhab Hanafi dan banyak ulama madzhab Syafi'i. Kacamata istidlal yang dipakai oleh madzhab Hanafi di sini adalah sebuah hadtis yang diriwayatkan oleh Aisyah dari Ibnu Abbas "Man mata wa 'alaihi shiyamun, shama waliyuhu 'anhu'' Barang siapa yang meninggal sedang ia masih memiliki tuntutan kewajiban puasa maka dipuasai oleh walinya. Namun setelah itu ada pernyataan idlrab (mengganti) kalimat 'shama waliyuhu 'anhu' dari Aisyah ra, dengan 'Yuth'imu' (memberi makan orang miskin/fidyah). Sebagian muhadditsin mengomentari perkataan idlrab 'Yuth'imu' me-naskh/menghapus hadits sebelumnya 'shama waliyuhu 'anhu' sehingga dalam madzhab Hanafi yang ditemukan hanyalah fidyah, bukan qodlo.  
            Tiga perihal tinjauan sikap fuqaha di atas dipandang secara garis besarnya saja, adapun redaksi yang ter-up date dalam kitab Nihayatuz Zien :193, paling tidak kita akan menemukan 5 qaul.
Beberapa tindak ulama dengan kecenderungan tidak menghendaki untuk  diqodlo dan difidyahi dengan beberapa alasan:
1. Semua sudah tahu dan sudah paham kalau pendapat yang Ashoh (paling shahih) dan masyhur dalam kalangan madzhab Syafi'i baik yang tercover dalam kitab-kitab pesantren semisal Baijuri, Fathul Mu'in, mengenai orang mati sedangkan dia pernah meninggalkan shalat semasa hidupnya maka tidak usah untuk diqadla dan difidyahi 'la tuqdlo wala tufda', dan inilah yang sangat perlu untuk kita perhatikan dan indahkan dalam hal fatwa. Dalam konteks fatwa kita harus menggunakan manuskrip istidlal  yang paling shahih. Lain halnya bila hal demikian (qodlo atau fidyah) itu tetap dilakukan, maka adalah sebuah amaliah individu yang dibolehkan karena berupa pendapat muqabilul ashoh 'pembanding pendapat ashoh'. (I'anat at-Thalibin: 2/244)
2. Shalat adalah ibadatun badaniyatun la taqbalun niyabah shalat adalah ibadah badaniyah yang tidak bisa tergantikan semasa hidup. Sebagaimana yang telah mafhum dalam nalaran kita sebagai seorang muslim yang selalu diperintah mendirikan shalat di mana saja dan di kapan saja masuknya waktu, sekalipun tidak bisa berdiri maka dengan duduk, jika tidak dengan berbaring, jika tidak bisa lagi maka dengan terlentang jika tidak bisa lagi maka dengan isyarat, jika tetap tidak bisa dengan mata, jika tidak bisa maka dengan hati. Nah dengan bukti pendirian shalat dengan begitu sistematis menurut kesanggupan seorang muslim dari mulai berdiri, sampai dengan hati, ini menunjukkan bahwa shalat tidak boleh untuk ditinggalkan selama hayat masih dikandung badan. Berbeda apabila terlewatkan/tertinggal dengan udzur semasa hidup maka harus segera diqodloni.
3. Tala'ub. Jika fenomena fidyah shalat masih tetap dilestarikan maka akan terjadi kekhawatiran mempermainkan agama. Seperti jika seseorang yang kaya meninggalkan shalat semasa hidupnya secara sengaja dengan alasan Ya sudahlah yang penting ketika mati akan difidyahi karena mempunyai banyak harta. Apakah taklif seorang muslim balig dalam menjalankan syariat (seperti kasus ini) dapat terepresentasi  dengan satu mud beras?.
Namun kita juga perlu untuk menggaris bawahi sesuatu yang menjadi reason 'alasan' para ulama yang mengamalkannya. Masing-masing dari pelaksanaan qodlo dan fidyah yang kerap terjadi dewasa ini, diantaranya didasarkan sebagai langkah ihtiyath (berjaga-jaga) terhitung sejak balig jangan sampai ada satu shalat dari masa hidup si mayit yang ditinggalkan, meskipun semasa hidupnya ia terkenang sebagai figur orang saleh. Seperti yang terjadi dalam tradisi beberapa keluarga kiyai Pesantren. Dan kalaupun terjadi peninggalan shalat selama sakit 10 hari hingga ajal menjemput misalnya, lalu diqodlo atau difidyahi shalat 10 hari itu dengan tidak menghitung dari sejak balig, maka pada model ini akan membantu mayit dalam menunaikan haqqul-Lah yang ditanggungnya. Dan Haqul-Lah ahaqqu bil qodlo.
Kemanakah distribusi pengalokasian fidyah itu dan bagaimanakah caranya ?
Mashrof atau tempat distribusi yang berhak mendapatkan harta fidyah ialah orang faqir dan miskin
وَعَلىَ الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَة ٌطَعَامُ مِسْكِيْنٍ
"Dan bagi orang yang berat melakukannya , wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin"
(Al-Baqarah: 184)
Walaupun dalam zhahir ayat ini menerangkan fidyah puasa tapi dengan illat  shalat disamakan  dengan puasa, maka pada pentasharufan /pengalokasian fidyah shalatpun untuk orang miskin jua. Adapun orang faqir tentunya lebih utama untuk mendapatkannya karena kondisinya yang lebih memperhatinkan dibandingkan si miskin. Dengan penyebutan spesifik ini pula (menyebutkan kata 'Miskin' dalam Al-Qur'an), pembagian fidyah tidak teruntuk 8 golongan dalam pembagian zakat (I'anat at-Thalibin: 2/244). Dan perlu dicatat ini adalah ranah pendapat di kalangan madzhab Syafi'i.
Sedangkan yang terjadi pada ranah madzhab Hanafi yang berasaskan kemanfaatan dan kemaslahatan membolehkan pentasharufan fidyah tidak hanya khusus bagi orang faqir dan miskin tapi juga untuk orang yang dipandang bisa meciptakan kemaslahatan dan kemanfaatan.
Untuk topik kajian kaifiyat pembagian fidyah yang didukung penuh oleh kalangan madzhab Hanafi, maka shalat yang dihitung difidyahi dalam sehari semalam adalah 6 waktu dengan menambahkan shalat witir. Karena witir dalam madzhab Hanafi itu wajib. Dan jumlah takaran makanan pokok yang harus dikeluarkan adalah satu mud (6,7 ons/ ± 1 liter beras) untuk satu shalat. Kembali  menurut madzhab Hanafi pula, fidyah ini boleh untuk diganti dengan uang (Qiemah).  
Beberapa  model kaifiyat pembagian fidyah yang ditemukan dalam masyarakat :
1. Dibagikan langsung pada faqir atau miskin. Maka ini adalah jelas dan benar
2. Dibagikan ketika tahlilan hari ke-tujuh. Namun di sini menemui sedikit kendala karena mungkin saja diantara orang yang menghadiri tahlil ada orang kaya yang tidak berhak mendapatkan fidyah, kecuali jika orang kaya itu mendapat bingkisan bukan dari harta untuk fidyah (terpisah sendiri).
3. Dengan cara daur  (diputar) entah mayit itu memiliki tirkah (harta tinggalan) atau tidak. Sebagian ulama menolak cara jenis ini jika ahli warits mempunyai banyak tirkah. Sebagian lagi mendukungnya karena bisa meringankan beban ahli warits dan ini dinilai baik. Contoh daur ini seperti bila jumlah fidyah yang harus dibayar sebesar 4 juta rupiah akan tetapi uang yang dimiliki oleh ahli warits atau keluarga hanya sejumlah 500 ribu rupiah, maka terlebih dahulu dikumpulkan orang-orang yang berhak menerima, 8 orang misalnya. Lalu ahli warits memberikan uang 500 ribu rupiah pada salah satu dari 8 orang tadi dengan ucapan 'Saya bayarkan fidyah si Zaed untuk menggugurkan 5 shalat fardlu dan witir darinya kepadamu' umpamanya. Lalu si penerima pertama memberikan lagi pada orang kedua dengan ucapan yang sama, orang kedua pada orang ketiga, orang ketiga pada orang keempat dan seterusnya sampai pada orang kedelapan sehingga terhasil 500 ribu dikali 8 = 4 juta. Dan orang yang kedelapan memberikan lagi pada orang ahli warits bukan dengan atas nama fidyah melainkan atas nama hibah (dihadiahkan). Setelah di tangan ahli warits kembali dengan status harta hibah, maka sah untuk diberikan kepada siapa saja atau diberikan dengan cara dibagi sama rata antara 8 orang yang berhak tersebut diatas. Wal-Lahu 'alam

2 komentar:

  1. syukron katsir pa kiyai, saya jadi agak terbuka tentang permasalahan fidyah ini....

    BalasHapus
  2. Mohon referensi (ta'bir) tentang daur. Matur nuwun

    BalasHapus