Selasa, 06 Juli 2010

SEPUTAR IJTIHAD DAN TAQLID

Allah menurunkan al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia agar dalam mengarungi bahtera dinamika sosio-religius bisa selamat di dunia sampai akhirat. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad yang masih mujmal agar dapat diterangkan oleh beliau supaya bisa  diterima dan dipahami oleh umat manusia.
Nabi saw bersabda :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا كِتَابَ الله وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian semua, yang apabila berpengang teguh padanya maka tak akan tersesat, yaitu kitabullah (al-Qur'an) dan sunnah Rasulullah (hadits)
Namun sebagaimana manusia  umumnya, beliau memiiki umur yang terbatas sehingga dalam tugasnya (penjelas al-Qur'an) menjadi terhenti.
 Seiring dengan perkembangan zaman, berkembang pula masalah yang terjadi dalam masyarakat, padahal pada zaman nabi tidak ada. Nah berangkat dari latar belakang ini, munculah fenomena ijtihad untuk menjawab persoalan yang tak ada nash qath'i yang sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Sekalipun al-Ghadier telah membahas dan menerbitkan topik ‘Antara Madzhab, Ijtihad dan Taqlid’ pada edisi 11, pada kali ini al-Ghadier mencoba menghadirkan tajuk yang serupa dengan menyingkap seluk beluk tenteng ijtihad dan taqlid.
Seperti apakah ijtihad & taqlid itu? Bagaimanakah fungsi, tujuan dan klasifikasinya?
A. Definisi
الإجتهاد استفراغ الفقيه الوسع في طلب الظن بشيئ من الأحكام  الشرعية بحس من النفس العجز عن المزيد عليه
Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang telah ada untuk mencari hukum syara' yang sifatnya dhanni (prediksi) sampai merasa dirinya tidak mampu lagi untu mencari tambahan kemampuannya.
Adalagi ulama yang mendefinisikan ijtihad sebagai pencurahan semua kemampuan, untuk mendapatkan hukum syar'i yang bersifat operasional dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbath).
Beberapa unsur yang harus ditemukan dalam persoalan ijtihad adalah : Mujtahid (orang yang berijtihad), masalah yang akan diijtihadi, metode istinbath dan natijah (hasil hukum yang telah diijtihadi).
B. Fungsi .
Sebagai salah satu alat penentu hukum segala persoalan baru karena adanya perubahan yang terus bergulir, sebagai sumber modernisasi hukum dalam islam sebagai pengejawentahan Islam rahmatan lil 'alamin, sebagai salah satu system berfikir ilmiah yang islami, sebagai salah satu penopang budi daya kreativitas manusia.
Seperti itulah fungsi ijtihad sebagai salah satu alat penggerak, sebab tanpa ijtihad sumber hukum islam akan menjadi stagnan dan statis. Maka dengan menempatkan ijtihad pada posisi yang sebenarnya, hukum islam akan tetap memancarkan sinar kemanfaatannya yang tak akan bisa ditemui pada aturan hukum keagamaan lainnya.
C. Tujuan Ijtihad
1. Supaya dalam mengembangkan operasionalisasi ajaran islam sesuai dengan dasar asasinya. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan hukum, sehingga tidak selalu menggantungkan diri pada sabda Nabi saw yang ternyata tidak ditemukan, padahal situasi dan kondisi yang terus berubah menuntut sikap yang berbeda pula.
2.  Supaya bisa mengistinbathkan hukum-hukum secara baik dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Syari'i itu sendiri.
3. Supaya hukum-hukum hasil istinbath itu tidak bersifat statis sehingga hasilnya selalu aktual  dan dapat diamalkan sesuai dengan perkembangan zaman yang selalu menuntutnya.
D. Klasifikasi Ijtihad
Pertama, al-Ijtihad al-Bayaniy yaitu menjelaskan hukum syara' yang kepastian hukum benar-benar sudah ada dalam nash, baik al-Qur'an maupun hadits. Kedua,  al-Ijtihad al-Qiyasi yaitu menggali hukum syara' karena adanya suatu kasus baru yang kepastian ketentuan hukumnya tidak ada dalam nash. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teori qiyas/analogis. Ketiga,  al-Ijtihad al-Istishlahy yaitu menggali hukum dari suatu kasus baru yang kepastian hukumnya tidak ada dalam nash. Hal ini dilakukan dengan menerapkan teori hukum islam atau qaidah isltishlahi.
E. Klasifikasi Mujtahid
(a). Mujtahid Syar'i atau yang dikenal dengan Mujtahid Mutlaq yakni mujtahid yang memiliki semua persyaratan yang harus ada secara sempurna dan ia melakukan ijtihad atau mengistinbath hukum  dalam berbagai hukum syar'i  tanpa terikat oleh pendapat mujtahid lain sehingga dalam kerjanya mereka menenmpatkan system metodologi ushul fiqhnya sendiri.
(b). Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang telah memenuhi semua persyaratan secara sempurna akan tetapi dalam ijtihadnya ia mengikuti system yang telah ditetapkan oleh imam madzhabnya, sekalipun natijah akhir yang didapatkan  tidak sependapat dengan pandangan imam madzhabnya, khususnya dalam masalah furu'iyah.
(c). Mujtahid Madzhab atau Mujtahid Takhrij yaitu mujtahid yang dalam istinbathnya selalu mengukiti system yang dipakai oleh madzhabnya dan dalam masalah furu'iyah ia selalu mengikuti imam madzhabnya.
(d). Mujtahid Murajjih yaitu mujtahid yang tidak pernah melakukan ijtihad sendiri dalam memecahkan kasus-kasus baru tapi ia hanya menekuni study banding (muqoronah)  dengan menilai mana yang lebih kuat 'al-Aqwa' dan yang lebih unggul (al-Arjah) antara beberapa pendapat yang berbeda dikalangan para ulama baik yang dalam satu madzhab maupun beberapa madzhab lain.
F. Syarat-syarat Mujtahid
* Harus mengerti dan memahami betul seluk beluk bahasa arab dengan sempurna
* Harus menguasai dan paham tafsir serta hal-hal yang bertalian dengannya.
* Mengetahui dan memahami secara paripurna masalah hadits berikut persoalan-persoalan yang berelasi dengannya.
* Menguasai masalah naskh mansukh
* Mengetahui dan menguasai benar ilmu ushul fiqh
Dengan demikian, maka ushul fiqh merupakan metode patokan praktis dalam penyelasaian kasus fiqh yang dipadukan dengan ulum alqur'an berikut naskh mansukh dan ulum hadits serta seperangkat penguasaan bahasa Arab yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan hukum islam yang selalu menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.
Apakah ijtihad dalam masa sekaran ini masih dimungkinkan ?
Sebenarnya pintu ijtihad sampai saat ini masih tetap dibuka. Hanya saja belum ada orang yang dapat memasukinya. Hal ini didasarkan diantaranya karena begitu sulit dan kompleknya persyaratan seorang untuk berposisi sebagai mujtahid (mutlaq). Adapun orang yang mengatakan bahwa pintu ijtihad itu tertutup untuk masa sekarang ini, disebabkan supaya tidak terjadinya orang yang bukan ahli ijtihad mengaku-ngaku bahwa dirinya sebagai mujtahid yang tentunya nanti akan merugikan bagi dirinya (karena dianggap sesat) dan orang yang mengikutinya.
G. Objek Ijtihad
Objek ijtihad adalah  hukum syara' yang bersifat 'amaliyah yang tidak ditemukan nash qath'i (al-Qur'an dan Hadits) di dalamnya (al-hukmu asy-syar'iy al-'amaly laisa fihi dalilun qath'iy). Terlepas masalah itu bersifat 'Ubudiyah , Furuiyyah atau Ta'aqqudiyah selagi tidak adanya nash qath'iyud dilalah (yang benar-benar menunjukkan pada status dalam syara')  maka itu adalah medan lahan seorang mujtahid dengan berbagai penguasaan disiplin ilmu guna menghasilkan natijah ijtihad yang diharapkan benar sesuai dengan Syaari'.
II. TAQLID
Catatan secara etimologi, taqlid adalah kata yang digunakan untuk arti menjadikan tali pada leher. Adapun menurut terminologi taqlid diartikan sebagai perbuatan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui atau menelusuri dalil. Dalam potret sejarah disebutkan bahwa taqlid mulai nampak pada permulaan tahun keempat hijriyah. Imam Syaukani dalam statementnya mengatakan bahwa taqlid belum pernah terjadi kecuali setelah habisnya zaman Rasulullah saw kemudian berlanjut pada masa-masa setelahnya. 
A. Klasifikasi Taqlid
1. Taqlid yang dipuji
     *Orang awam murni yang kapasitas intelektualnya sangat terbatas dan sedikitpun belum menguasai ilmu-ilmu untuk menapaki posisi berijtihad.
     *Orang alim yang kapasitas intelektualnya berada di atas tingkat khalayak awam dengan penguasaan keilmuan yang mu'tabar namun belum mencapai pada derajat mujtahid
2. Taqlid yang dicela
     *Taqlid yang mengadung unsur berpaling dari ajaran yang diturunkan Allah. Seperti taqlid pada nenek moyang dalam hal menyembah berhala.
     *Taqlid pada pihak yang tidak diketahui bahwa ia adalah memiliki kebenaran untuk diikuti pendapatnya
     *Taqlid setelah terbukti hujjah kebenaran dalil otentik berpihak pada yang tidak sejalan dengan pendapat yang diikuti.
B. Taqlid Dalam Hal Aqidah dan Ushuludin
Taqlid dalam konteks ini ialah mengenal prinsip-prinsip pokok aqidah yang meliputi 50 sifat (sifat wajib, mustahil serta jaiz bagi Allah dan Rasul) tanpa mengetahui dalil-dali baik secara global maupun terperinci. Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini;
Pertama, tidak diperkenankan, karena mengenal prinsip-prinsip pokok aqidah adalah kewajiban far'iyyah (cabang) sehingga berdosa apabila ditinggalkan juga merupakan kewajiban ushul (dasar utama) sehingga kafir bila tidak dilakukan.
Kedua, cukup dan boleh, bila sudah dapat menanamkan keyakinan secara mantap dalam hati. Pendapat ini didukung oleh Ubaidillah ibn Hasan al-Anbari al-Hawasyiyah dan sebagian Syafi’iyah
Ketiga, wajib taqlid. Pendapat  ini didukung oleh sebagian ulama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar