Selasa, 06 Juli 2010

MANHAJ ‘UBUDIYYAH

Tafsir al-Baqarah ayat 35 Part.2

 

Zù=è%ur ãPyŠ$t«¯»tƒ ô`ä3ó$# |MRr& y7ã_÷ryur sp¨Ypgø:$# Ÿxä.ur $yg÷ZÏB #´xîu ß]øym $yJçFø¤Ï© Ÿwur $t/tø)s? ÍnÉ»yd notyf¤±9$# $tRqä3tFsù z`ÏB tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÌÎÈ

Dan Kami berfirman : “Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim” ( al-Baqarah : 35)

 

Jika merujuk pada ayat ke 30 ‘Inni ja’ilun fil ardli khalifah’ (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi), didapat kesimpulan bahwa Adam as adalah makhluk yang di-proyeksi-kan (dirancang) untuk menjadi khalifah Allah swt di muka bumi. Seorang khalifah akan dapat melaksanakan tugas kekhalifahannya dengan baik dan benar, manakala ia teguh berkomitmen untuk selalu tunduk kepada ketinggian dan superioritas (keunggulan) Pemberi tugas (Allah swt). Dengan kata lain teguh berkomitmen  melaksanakan ‘ubudiyyah (pengabdian).

 

Didalam ayat 35 ini, didapat gambaran apa dan bagaimana penetapan manhaj ‘ubudiyyah (prosedur pengabdian) - yang kelak harus dilakukan Adam as manakala ia menjalani tugasnya nanti dalam mengemban kekhalifahan dimuka bumi – yang sarat dengan i’tibar (pelajaran berharga).

 

Pertama; Penetapan manhaj ‘ubudiyyah itu tidak cukup dilakukan Allah swt dengan hanya menyodorkan mabda’ nadzori (prinsip-prinsip dasar yang bersifat teoritis)nya saja sebagaimana tersimpul dalam ayat ‘wa’allama adamal asma-a kullaha’, tetapi Allah swt menganggap penting untuk memberikan kesempatan waktu kepada Adam as untuk melakukan tajribah ‘amaliyyah (experimen yang bersifat praksis). Ini tersimpul pada firman ‘uskun anta wazaujukal jannah’ (diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini). Jadi Adam as berdiam di surga itu sebenarnya dalam rangka melakukan trainning (pelatihan) untuk meng-aplikasi-kan mabda nadzori dari manhaj ‘ubudiyyah supaya kelak pada saat bertugas menjadi khalifah telah memiliki pengalaman. Karenanya menurut ba’dul mufassirin jannah (surga) yang ditempati Adam as bukanlah jannatul ma’wa ( surga tempat pembalasan) melainkan jannah tajribah (surga tempat pelatihan).

I’tibar yang dapat dipetik dari gambaran pertama ini adalah, tugas apapun yang diemban, kesuksesannya akan sangat bergantung pada sejauh mana prinsip-prinsip dasar tugasnya difahami dan dikuasai (mabda’ nadzori), serta sejauh mana pengalaman yang telah dimiliki dalam melaksanakan tugas itu (tajribah ‘amaliyyah).        

 

Kedua; Manhaj ‘ubudiyyah yang ditetapkan memuat dua prinsip dasar yang dirumuskan dengan if’al wa lataf’al yaitu kewenangan-kewenangan yang boleh dilakukan dan larangan yang harus dihindari. Adalah merupakan rahmat (kasih sayang) Allah, jika if’al (kewenangan) ternyata porsinya jauh lebih banyak dibanding lataf’al (larangan). Kata ‘uskun’ dan kata ‘wa kulaa minha’  menggambarkan if’al, sedang kata ‘wa la taqrobaa’ menggambarkan lataf’al. Ayat tersebut mengungkapkan bahwa Adam as diperbolehkan melakukan apa saja, boleh menikmati  apapun di surga. Yang dilarang cuma ‘syajaratun wahidah min baini alufil asyjaar’ (satu pohon dari sekian ribu pohon yang ada).

Tidak Cuma berlaku bagi Adam as, hal yang sama juga berlaku bagi semua anak cucunya  (manusia). Karena seluruh risalah langit yang Allah turunkan –min ladun adam ila yaumina hadza- sesungguhnya berkisar pada dua prinsip dasar diatas yakni if’al wa lataf’al. Dan pada kenyataannya apa yang diperbolehkan Allah demikian banyak. Sebaliknya apa yang dilarang Allah hanya sedikit bahkan amat sedikit (aqallul qalil).

 

Ketiga;  Ketika  menyatakan larangan, Allah menggunakan redaksi ‘wala taqrabaa hadzihis syajarah’ (janganlah kalian dekati (tempat) pohon ini),  meski sebenarnya yang dilarang adalah makan. Hal ini sesungguhnya  juga wujud dari rahmat Allah, agar Adam as mengambil sikap menjauh sehingga tidak sampai terjerumus kedalam larangan. Seandainya –misalnya-  redaksi yang digunakan ‘wa la ta-kulla minha’ (janganlah kalian makan buah pohon ini), maka dalam pikiran Adam:  “ Yang dilarang kan makan, maka saya boleh mendekat ”. Dan jika Adam sudah mendekat, akan timbul rasa penasaran setelah melihat keindahan pohon yang dilarang, terlebih tercium aromanya, dan terbayang kelezatan rasanya, maka tergerak hatinya untuk menikmatinya. Karena itulah dalam konteks larangan, redaksi yang sering digunakan adalah redaksi yang sama atau redaksi yang konotasinya serupa (contohnya larangan zina, redaksi yang digunakan ‘wala taqrabuz zina’).   

Maka terhadap larangan-larangan Allah, sikap yang bijak adalah jangan mendekat supaya tidak terjerembab. Sebagaimana Rasulullah peringatkan : “ wa man ra’a haulal hima yushiku an yaqa’a fih ”         (barang siapa mendekat di sekitar larangan, maka ia akan terjerumus kedalam larangan itu).

 

Keempat; Meski sebegitu banyaknya yang diperbolehkan, karena potensi syahwat yang dimilikinya dan godaan syetan yang bertubi-tubi, ternyata Adam as lalai dan tergelincir juga melanggar larangan yang hanya satu itu. Beruntung Adam as segera menyadari dan menyesali diri serta memohon ampunan, sehingga akhirnya Adam as dapat kembali lagi ke pangkuan maghfirah dan rahmah Allah swt. Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari gambaran ini adalah kita mesti ekstra hati-hati dalam mengelola potensi syahwat dan waspada dalam menghadapi godaan syaitan.  Jikapun kita melakukan larangan, bersegeralah melakukan pertaubatan. Wallahu a’lam.       

1 komentar:

  1. alhamdulillah penafsiran ini sangat bermanfa'at bagi saya. semoga Alloh tiada berhenti memberikan faham kepada pa Kiyai wassalamu A'laikum

    BalasHapus