Selasa, 06 Juli 2010

PETUNJUK TUHAN : RAMBU-RAMBU LALU LINTAS KEHIDUPAN

Tafsir al-Baqarah ayat 38  Part.2

........فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّيْ هُدًى .......(البقرة :38)

Artinya : “……….Lalu jika datang kepada kamu, petunjuk dari-Ku………” ( al-Baqarah : 38)

Penggalan ayat 38 ini mengisyaratkan bahwa demi mensukseskan tugas kekhalifahan, Allah melengkapi manusia dengan ‘hudan’ (petunjuk) yang bersumber dari diri-Nya untuk menyempurnakan potensi-potensi yang telah dimiliki manusia sebelumnya, berupa ‘ilmu’ (kemampuan mengetahui sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda) dan ‘tajribah ‘amaliyyah’ (pengalaman yang bersifat praktikal selama berdiam di surga).

Kata ‘hudan’ dalam penggalan ayat diatas menggunakan bentuk ‘nakirah’ (indefinit). Hal ini mengandung faedah ‘ta’dzim’ (pengagungan) dan ‘taktsir’ (pengembangan). Taktsir me-representasi-kan (menggambarkan ) ‘taktsiri nau’il-huda’ yang bisa dimaknai,  bahwa petunjuk yang Allah datangkan itu beragam, dan disampaikan oleh para nabi utusan-Nya yang berbilang, semenjak nabi Adam sampai nabi akhir zaman, serta petunjuk-Nya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Juga dapat pula difahami, bahwa petunjuk Allah itu tidak tunggal, melainkan ter-klasifikasi dalam dua bagian. Pertama, petunjuk  yang bersifat permanen dan terperinci yang tidak dibutuhkan campur tangan manusia untuk pengaturannya, dan tidak dapat mengalami perubahan dalam kondisi dan situasi apapun. Kedua, petunjuk yang bersifat global atau umum, yang dalam hal ini manusia diberi wewenang untuk memikirkannya, disesuaikan  dengan situasi kondisi yang berkembang, dengan catatan  selaras dengan ruh (jiwa) petunjuk yang bersifat global itu. Sedang ta’dzim mensiratkan ‘ta’dzimi amril-huda’ yang berarti bahwa petunjuk Allah yang didatangkan itu, tidak sekedar untuk melengkapi, tetapi mempunyai peran yang besar dan sangat berarti dalam suksesi kekhalifahan manusia di muka bumi.

Sebesar apakah peran ‘hudan’ (petunjuk Allah) itu ? Hingga untuk mengatur dan mengelola bumi, manusia tidak cukup dengan hanya menggunakan potensi ilmu atau akal pikirannya saja? Seorang Pakar tafsir memberikan jawaban persoalan tersebut dengan mengemukakan ilustrasi berikut :
Menurut term yang dipergunakan di dalam Al-Qur’an, manusia tidak saja sebagai makhluk biologis (basyar), atau makhluk spiritual (insan) tetapi juga manusia adalah makhluk sosial (an-Nas). Sebagai makhluk sosial, profesi apapun yang dimilki, manusia tidak dapat hidup sendirian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan seorang diri. Seorang yang berprofesi sebagai Petani memerlukan baju yang tidak dapat dibuatnya sendiri, karena keterbatasan waktu dan pengetahuannya. Di sisi yang lain Penenun juga demikian, untuk mempertahankan hidup ia membutuhkan makanan, sayur mayur, dan lauk pauk yang disediakan petani. Bila sakit, mereka membutuhkan perawatan dari seorang dokter, obat-obatan dari seorang apoteker. Dan masih banyak lagi kebutuhan manusia, yang kesemuanya baru dapat terpenuhi  apabila mereka bekerjasama satu sama lain. Tentu saja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia lalu lalang berseliweran, seperti lalu lintas layaknya. Dan masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus ingin cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berbeda dan dan boleh jadi berlawanan, maka apabila  tidak dipasang rambu-rambu dalam lalu lintas kehidupannya, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.

Tegasnya manusia membutuhkan  rambu-rambu lalu lintas kehidupan yang memberi petunjuk kapan harus berhenti (lampu merah), harus hati-hati (lampu kuning), dan silahkan jalan (lampu hijau) dan sebagainya. Dan rambu-rambu (peraturan) lalu lintas kehidupan itu, tidak bisa diserahkan pada manusia  untuk membuatnya dengan potensi ilmu pengetahuan dan akal pikiran yang dimilikinya, karena paling tidak manusia mempunyai dua kelemahan.
Pertama, pengetahuan manusia terbatas. ’Wama  utitum minal ‘ilmi illa qaliila’  (dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. Al-Isra : 85) Dalam kisah perjalanan nabi Musa as bersama nabi Khidir as digambarkan betapa sedikitnya ilmu manusia. Syahdan ketika mereka sedang naik perahu, mendadak ada seekor burung gereja hinggap di dak perahu yang mereka tumpangi. Kemudian burung gereja itu mematuk air laut dengan sekali patuk. Lantas nabi Khidir as berkata kepada nabi Musa as :
مَانَقَصَ عِلْمِيْ وَعِلْمُكَ مِنْ عِلْمِ اللهِ اِلاَّ مِثْلَ مََانَقَصَ هَذَا الْعُصْفُوْرُ مِنْ هَذَا الْبَحْرِ
“Ilmumu dan ilmuku tidak sedikitpun mengurangi ilmu Allah, terkecuali seumpama air yang dipatuk burung gereja dari air laut“
Kedua, dengan nafsu yang dimilkinya, manusia cenderung egois (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri) dan jika yang membuatnya manusia, maka peraturan itu tentu saja akan menjadi subjektif, dan sulit untuk dijadikan pedoman. Berkata seorang Penyair yang dibenarkan kandungannya oleh Para Pemikir:


رُبَّ قَبِيْحٍ عِنْدَ زَيْدٍ                       هُوَحَسَنٌ عِنْدَ عَمْرٍ
فَهُمَا ضِدَّانِ فِيْهِ                          وَهُوَ وَهْمٌ عِنْدَ بَكْرٍ
لَيْتَ شِعْرِيْ...فَمَنِ                     الصَّادِقُ فِيْمَا يَدَّعِيْهِ
وَلِمَاذَا لَيْسَ لِلْحَسَنِ                       قِيَاسٌ لَسْتُ أَدْرِيْ

Ada yang buruk dalam pandangan si A,
tapi ia baik disisi si B.
Keduanya bertolak belakang dalam hal yang sama,
namun di sisi C itu adalah ilusi
Aduhai , jika demikian ini halnya,
siapakah yang benar dalam pandangannya ?
Mengapa tak ada ukuran dalam keindahan ?
Aku tak tahu mengapa demikian.

Maka yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan adalah Dia yang paling mengetahui ‘alimun hakim’ sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun ‘ghaniyyun ‘anil ‘alamin’. Yang dimaksud adalah Allah SWT. Karena itu Dia mendatangkan rambu-rambu lalu lintas kehidupan, yang dalam ayat diatas disebut hudan.

Penggalan ayat ini seharusnya menjadi warning (peringatan) bagi kita yang seringkali mengatasi problema kehidupan dunia dengan hanya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dan akal pikiran, tanpa mau melirik pada petunjuk Tuhan. Padahal petunjuk Tuhan adalah rambu-rambu lalu lintas kehidupan.   Masya Alla, Layasuqul khairo i-Llah,  wa la yashrifus-su’a illal-Lah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar