Terma menikahi wanita hamil bisa dianalogikan menjadi dua kategori: Pertama, menikahi wanita hamil akibat perkawinan sah, Kedua Menikahi wanita hamil akibat zina. Untuk kategori pertama, sebenarnya sudah dapat kita pastikan yaitu apabila wanita itu masih bersuami maka tentu tidak boleh kita nikahi. Namun apabila wanita itu ditinggalkan suami baik karena mati atau ditalak maka kita boleh menikahinya jika masa íddah-nya telah selesai yaitu sampai wadl’ul hamli atau melahirkan. Dan untuk kategori yang kedua, disini kita akan segera menyaksikan perhelatan cukup seru yang tak boleh kita lewatkan.
A. Hukum menikahi wanita hamil
Sebagian ulama mengatakan bahwa wanita hamil akibat zina tidak boleh untuk dinikahi kecuali oleh orang yang menzinainya dengan bertendensikan pada Surat An-Nuur ayat 3
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Pezina pria tidak boleh menikah kecuali pada pezina wanita dan pezina wanita tidak boleh dinikahi kecuali oleh pezina pria atau orang musyrik. Hal itu diharamkan bagi orang-orang yang mukmin.
Mereka memakai dalil ayat ini untuk hujjah karena melihat pada dhahir ayatnya.
Dengan dalil yang sama, sebagian ulama yang lain membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina karena melihat pada mafhumnya ayat tersebut. Bahwa shigat nafi (la yankihu) pada ayat tersebut menunjukkan pada ketercelaan karena tidak pantasnya seorang mukmin menikahi perempuan pezina dan sebaliknya, bukan menunjukkan pada keharaman -‘ala dzammy la ‘ala tahrim-.
Dan lagi ayat ini menurut sebagian ulama itu mansukhoh atau dinaskh (tidak diberlakukan) dengan turunnya ayat 32 Surat An-Nur Oä3ZÏB ( 4yJ»tF{$# ó #qßsÅ3Rr&ur . Al-Ayama ialah perempuan yang tidak memiliki suami entah seorang gadis atau janda dan pria yang tidak memiliki isteri dan Al-Ayama ini bisa mencakup pada pezina pria dan wanita. Keterangan ini dapat ter-up date dalam kitab Tafsir Jalalain, Tafsir Showi Juz 3 : 156 dan Imam Muhammad Ali As-Shobuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam Juz 2 : 36-37 Darul kutub ilmiyah Beirut .
Dalil lain yang dikemukakan oleh Imam Abu Ishaq As-Syaerozi dalam Al-Muhadzdzab juz 2: 60 ialah Surat An-Nisa ayat 24
* àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷r& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs الاية
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam ayat sebelumnya). Maksudnya perempuan yang telah dicampuri (berzina) kemudian menikah dengan orang yang mencampurinya atau bukan itu hukumnya boleh karena termasuk ke dalam ‘’Wa uhilla lakum ma waraa-a dzalikum’’
Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah membolehkan menikahi wanita hamil zina sedang Imam Ahmad tidak boleh kecuali ia bertaubat. (Rahmatul Umah fikhtilafil a-immah Juz 2 36-37)
Selaras dengan masalah ini bisa kita kroscek dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab VIII KAWIN HAMIL Pasal 53:
1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saatwanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Lalu bagaimanakah intisab anak tersebut? Dan bagaimanakah hukum wiratsahnya? Serta apakah si Zani (pezina) boleh menikahi anak zinanya yang perempuan? Wali siapakah yang akan menikahkannya ?
B. Intisab (penisbatan)
Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil akibat dari hasil hubungan zina atau kehamilan yang terbuahkan dari hubungan haram, kemudian dinikahi oleh seorang lelaki (baik laki-laki yang menzinai atau bukan), maka intisab atau penisbatan anak tersebut itu memiliki 4 kemungkinan, sebagaimana yang telah termaktub dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin 235-236 :
1. Anak harus dinafikan dari suami dhahiran wa bathinan (tidak intisab pada suami yang menikahi) tanpa melalui proses li'an apabila anak itu lahir kurang dari masa aqallul hamli (6 bulan) setelah dimungkinkan hubungan badan (wathi') yang dilakukan saat setelah aqad pernikahan atau lebih dari aktsarul hamli (4 tahun) saat setelah akhir dimungkinkan hubungan badan tersebut.
2. Secara dhahir intisab anak tersebut pada suami apabila dilahirkan setelah lebih dari 6 bulan atau kurang dari 4 tahun tetapi suami meyakini bahwa dirinya tidak melakukan jima' atau anak itu bukan dari hasil spermanya. Namun secara bathin, wajib melakukan li'an bahkan kalau tidak melakukannya -menurut satu riwayat- dianggap kufur.
3. Intisab secara dhahir kepada suami tapi tidak wajib dinafikan atau di-li'an bila ada dugaan kalau anak itu bukan hasilnya, dengan gambaran suami meng-istibra’-kan isteri hamil (penantian wanita untuk pembuktian anak yang dikandungnya bukan dari suami) setelah hubungan badan dan bayi itu lahir setelah lebih dari 6 bulan.
4. Intisab pada suami, dan haram untuk dinafikan atau li'an bahkan bisa menjadi kafir kalau melakukannya apabila terdapat dugaan kuat kalau jabang bayi itu adalah anaknya atau dugaan itu berimbang dengan keraguannya (fifty : fifty) dengan gambaran anak itu lahir setelah lebih dari 6 bulan kandungan sampai 4 tahun dan suami tidak meng-istibra’-kan isteri setelah mewathi’nya atau meng-istibra’-kan tetapi anak itu dilahirkan setelahnya minimal kurang dari 6 bulan.
Beberapa ulama meragukan pada dalil tersebut tapi tidak dalam zona pencelaan dan penghardikan namun lebih mengarah pada kritik kontekstual. Judul pembahasan atau pertanyaan ialah menikahi wanita hamil akibat zina, akan tetapi pada jawabannya itu mengapa ada kemungkinan-kemungkinan apakah ia hasil dari pezina atau bukan padahal diatas sudah jelas bahwa pertanyaan tentang menikahi wanita yang hamil akibat zina, نَكَحَ حَامِلًا مِنَ الزِّنَاkenapa harus ada kemungkinan-kemungkinan yang malah membingungkan. Kenapa tidak langsung menggunakan نَكَحَ زَاِنيَةً yang bisa dimungkin-mungkinkan kehamilannya.
Namun ada pendapat lain yang dipilih oleh jumhur ulama yang merujuk pada hadits yang tercover dalam kitab Fathul Bari’ juz 19/ 147
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ( رواه البخارى ومسلم)
Anak itu nisbatnya adalah terhadap ibu atau pezina perempuan (Firasy; makna asal kasur/tempat tidur) sedang bagi Áhir (orang yang menzinai) hanya merugi dan tidak bisa mendapatkan kenikmatan dari hasil punya anak (Al-Hajr). (HR: Bukhori Muslim)
KHI BAB XIV PEMELIHARAAN ANAK Pasal 99:
Anak yang sah adalah :
- Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut
C. Wiratsah
Untuk wiratsahnya ia hanya mendapat warisan dari ibunya dan dari pihak ibu. Tidak menerima dari ayahnya baik ia seorang yang menzinai ibunya atau bukan. Dalam KHI pada bab yang sama Pasal 100: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Dan karena tidak ada nasab pada si Zani anak perempuan hasil zinanya pun boleh untuk dinikahi menurut Imam Malik dam Imam Syafi’i. Tetapi imam Ahmad mengatakan hal itu tidak boleh. Untuk pernikahannya menggunakan wali hakim.
Masih berkaitan dengan hadits ini, dengan meniti pada sektor asbabul wurud, Imam Nawawi berkata “Wal khobaru innama siiqa linafyil walad”. Sebenarnya hadits ini didatangkan untuk menafikan atau menghilangkan nasab/intisab anak kepada Zani. Dengan argumentasi dan tendensi tersebut di atas, memberi peluang untuk dipertanyakan kalau bagaimana jika si Zani melakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa anak itu adalah anaknya dan ternyata tes itu mengiyakannya ?
Jawabannya adalah “Ma-uz zina la’tibara lahu syarán fala yatsbutu bihi nasabun” (indikasi dari sperma hasil zina tidak berpengaruh apa-apa/tidak dianggap secara syarí sekalipun dengan tes DNA maka tidak bisa menetapkan nasab) tetap tidak bisa, dengan maksud Anak itu nisbatnya adalah terhadap ibu, tidak kepada Zani atau yang menikahi ibunya. Maka hal ini sebagai punishment atau sanksi yang diberikan pada para pezina yang telah berbuat dosa besar dan melanggar hukum Allah, sehingga dengan sanksi demikian bisa jadi bahan introspeksi untuk tidak berzina, refleksi untuk tidak berbuat zina dan antisipasi untuk tidak jatuh pada lembah nista.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar