Selasa, 06 Juli 2010

AL-QURAN MEMBENARKAN KITAB-KITAB DAHULU

Tafsir al-Baqarah ayat 41 Part 1

وَآمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ .............. ( البقرة :41)

Artinya : “Dan berimanlah kepada apa yang telah Aku turunkan, yang membenarkan apa yang ada pada kamu, dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya” ( al-Baqarah : 41)


Meski ajakan Allah swt kepada kaum Yahudi Madinah untuk beriman kepada al-Quran, telah lebih dulu didasari dengan beberapa argumentasi (ayat 40), untuk lebih meyakinkan hati mereka,  ajakan beriman itu menggunakan redaksi yang argumentatif. Yakni menggunakan redaksi wa aminu bima anzaltu’ (dan berimanlah kepada yang Aku turunkan), tidak menggunakan redaksi lain yang senada misalnya saja ‘wa amninu bi hadzal-kitab’ (dan berimanlah kepada kitab ini) atau ‘wa aminu bil-Quran’(dan berimanlah kepada al-Quran) Redaksi diatas bukan sekedar mengartikan perintah beriman kepada al-Quran, tetapi  mengandung isyarat pada justifikasi (pembenaran) perintah itu sendiri.  Yaitu al-Quran mutlak harus mereka imani,karena al-Quran adalah kitab yang diturunkan oleh Allah ‘ma anzaltu’. Sedangkan mereka  –lewat nabi-nabi yang dahulu diutus- telah diwasiati untuk beriman kepada semua kitab yang terbukti sebagai kitab yang diturunkan oleh Allah swt yang salah satunya adalah al-Quran. Dan sebagai bukti bahwa al-Quran bersumber dari  Allah swt (munazzalun minal-Lah), adalah keberadaan al-Quran yang membenarkan terhadap isi dan kandungan kitab yang ada pada mereka ‘mushaddiqan lima ma’akum’. Dengan kata lain jika mereka telah beriman kepada kitab mereka, karena kitab mereka adalah kitab yang diturunkan Allah swt, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak beriman kepada al-Quran, karena al-Quran pun sama diturunkan Allah, bukan karya nabi Muhammad saw  yang mereka benci dan mereka cemburui.
Selanjutnya untuk menunjuk kitab mereka, pada ayat diatas digunakan kata ‘maa ma’akum’ (kitab yang ada pada kamu) tidak menggunakan kata ‘at-Taurat’ adalah dimaksudkan untuk lebih dapat mempengaruhi  suasana batin mereka sehingga mereka bertambah sadar akan kebenaran ajakan beriman. Karena pada kenyataannya berita tentang akan diutusnya nabi Muhammad saw diungkapkan secara jelas pada kitab-kitab kaum Yahudi dahulu. Bukan saja pada kitab Taurat, tetapi juga pada kitab-kitab lainnya seperti kitab Zabur, kitabnya nabi Asy’iya, Armiya, Hizqiyal dan Daniyal. Bahkan penjelasan pada kitab-kitab lain selain Taurat jauh lebih gamblang.  
Kemudian maksud dari al-Quran membenarkan kitab-kitab mereka ‘mushaddiqan lima ma’akum’adalah bahwasanya isi dan kandungan al-Quran itu mencakup petunjuk yang dibawa dan disampaikan oleh para nabi dahulu yang terdapat pada kitab-kitab mereka. Meliputi ajaran tauhid, perintah berbuat baik, perintah menjauhi kejelekan, menegakkan keadilan, ancaman dan janji, petuah-petuah dan kisah.  Kalaupun ada perbedaan bukanlah pada subtansi ajaran, dan perbedaan itu disebabkan perbedaan masa dimana ajaran itu diberlakukan, serta tentu saja dengan memperrtimbangkan kemaslahatan. Itupun masih tetap berada pada ashlun wahid (subtansi yang tunggal).Karena itu perbedaan yang ada dikatakan dengan istilah ‘naskh’ (penghapusan), tidak dikatakan dengan istilah ‘ibthal’ (pembatalan) atau ‘takdzib’ (pendustaan).Dimana naskh menurut kaidah dideskripsikan sebagai :
تغيير احكام تبعا لتغيير احوال المصالح والمفاسد بسبب تفاوت الاعصار بحيث يكون المغيِّر والمغيَّر حقا بحسب زمانه.
“Perubahan hukum (ajaran) karena mengikuti perubahan  keberadaan maslahat dan mafsadat, oleh sebab ketidaksamaan masa pemberlakuan ajaran, sekiranya masing-masing dari ‘yang merubah’ dan ‘yang diubah’ adalah benar sesuai dengan masanya”
Sedang maksud ungkapan ‘wala takunu awwala kafirin bih’ (janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya) adalah perintah untuk bersegera beriman, sekaligus taubikh (kecaman) untuk tidak menjadi pionir kekufuran dari kalangan orang-orang yang memiliki pengetahuan. Dengan kata lain, oleh karena mereka telah memahami lewat kitabnya, berita tentang akan diutusnya nabi Muhammmad, maka sepatutnya mereka lebih dulu menyatakan iman kepadanya. Bukan malah sebaliknya, kufur kepadanya. Karena selain kekufuran orang yang mengerti lebih buruk daripada kekufuran orang yang tidak mengerti, juga langkah buruk mereka akan diikuti oleh generasi setelahnya, sehingga mereka tidak hanya menanggung dosa mereka sendiri, akan tetapi mendapat jatah pula dari dosa-dosa orang-orang yang mengikuti langkahnya. Sebagaimana yang dinyatakan :
من سن سنة حسنة فإن له أجرها و أجر من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيء و من سن سنة سيئة كان عليه وزرها و مثل وزر من عمل بها من غير أن ينقض من أوزارهم شيء
“Barangsiapa yang melakukan rintisan kebaikan, maka baginya pahala kebaikan itu dan pahala orang-orang ikut melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun juga. Dan barangsiapa yang melakukan rintisan kejelekan, maka baginya dosa kejelekan  itu dan dosa orang-orang ikut melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun juga”
Dari argumentasi-argumentasi yang dikemukakan, dan ajakan beriman kepada al-Qur’an  yang dinyatakan secara argumentatif, serta keberadaan al-Qur’an yang membenarkan kitab-kitab mereka, maka menjadi jelas bahwa sebenarnya  keengganan mereka untuk beriman bukan karena faktor eksternal dari al-Qur’an maupun Nabi, melainkan disebabkan faktor internal yang timbul dari kalangan mereka sendiri. Faktor internal itu adalah ketakutan pemimpin atau pemuka mereka terhadap hilangnya kharisma (pengaruh) serta lenyapnya kekuasaan yang selama ini mereka pegang. Mereka takut jika mereka terbuka menyatakan yang sebenarnya tentang Nabi dan al-Qur’an sebagaimana yang termaktub dalam kitab mereka, maka pengaruh dan kekuasaan akan berpindah kepada orang lain, dan bukan dari silsilah yang sama. Tentang faktor internal ini Nabi pernah mengisyaratkan :
لَوْ أمن بي عشرة من اليهود لآمن بي اليهود كلهم
“Seandainya sepuluh orang Yahudi (pemuka) beriman kepadaku, maka tentu akan beriman pula orang Yahudi seluruhnya.
Pada masa kini, kondisi serupa kerap terjadi, meski dalam konteks persoalan yang berbeda. Kita melihat banyak kedzaliman, buruknya situasi dan keadaan, oleh karena ditutup-tutupinya kebenaran. Pelaku  yang menutupi  kebenaran itu, para pemimpin yang hanya beberapa gelintir orang saja.  Dan faktornya tidak lain adalah ketakutan terhadap hilangnya kharisma dan kekuasaan.  Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar