Selasa, 06 Juli 2010

ROKOK Perspektif Tasawwuf

Sebagimana yang telah terdeskripsikan tentang hukum rokok dengan persepektif  Fiqih pada edisi kemarin, kini Majlis Ilmiah Al-Ghadier kembali mengangkat tema rokok namun dengan sudut pandang yang berbeda yaitu secara Tasawwuf.
Kajian mengenai rokok sengaja kami klasifikasi menjadi dua ( Perspektif Fiqih dan Tasawwuf ), dilatar  belakangi agar bisa menjadi pengkayaan khazanah keilmiahan. Disamping itu, pembahasan beruntun yang bermula secara fiqih lalu dilanjut secara tasawwuf dinilai sangat baik dan tepat. Imam Malik bin Anas berkata: “Barang siapa yang mengaplikasikan fiqih dengan mengesampingkan (baca: tidak memakai) tasawwuf maka ia adalah seorang fasiq, dan barang siapa yang mengaplikasikan tasawwuf dengan mengesampingkan fiqih maka ia seorang yang zindiq, dan barang siapa yang mengaplikasikan keduanya (fiqih dan tasawwuf) maka ia seorang yang haqiqat.
Agenda tinjauan pertama atau pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hukum merokok, yakni dengan melihat akibat yang nampak ditimbulkan oleh kebiasaan ini. Diketahui bahwa merokok menyebabkan bau nafas yang kurang sedap. Fakta ini kemudian dianalogikan dengan gejala serupa yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw, yaitu larangan mendatangi masjid bagi orang-orang yang habis makan bawang putih/bawang merah mentah, karena bau tak sedap yang ditimbulkannya. Hadist mengenai hal ini diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Umar, ra, dimana Nabi bersabda, "Siapa yang makan dari tanaman ini (bawang putih) maka jangan mendekat masjid kami" (HR Bukhari-Muslim). Dan lagi Islam adalah agama yang baik, tidak memerintahkan kecuali yang baik. Seyogyanya bagi seorang muslim untuk menjadi orang yang baik, karena sesuatu yang baik hanya layak untuk orang yang baik, dan Allah ta’ala adalah Dzat Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik. Dalam hadits yang lain dijelaskan:
من حسن إسلام المرء تركه مالايعنيه
“Nilai plus keislaman seseorang ialah meninggalkan terhadap perkara yang tidak berfaedah”. Kalau sekedar islam itu sudah biasa tapi kalau kita ingin nilai plus dari keislaman maka tentunya inspirasi yang terkandung dari hadits tersebut dapat kita usahakan.
Disamping iti ter dapat qaidah pegangan para ulama tasawuf :
ترك ما لابأس خوف ما فيه البأس
Meninggalkan sesuatu yang tidak berbahaya untuk menyelamatkan diri dari sesuatu yang berbahaya.
Agenda tinjauan kedua ialah dengan mengingat kembali beberapa step atau tahapan seorang petasawuf (mutashawwif) untuk bisa mencapai maqam Takholli, Tahalli dan Tajalli yang akan mengahantarkannya pada tujuan  agung para mutashawwifin yakni  Wushul ila Allah.
Takholli ialah menghilangkan semua sifat-sifat yang madzmumat (tercela) seperti riya, sum’ah, ‘ujub, takabbur, hasud, fasiq dan lainnya yang melekat dalam hati. Dilanjut dengan Tahalli yang merupakan sebuah tahapan kedua dimana hati di-refill (diisi) dengan sifat-sifat yang mahmudat (terpuji) seperti tawadlu, ikhlas, ridla, tawakkal, khusnudh dhon dan lainnya. Dan terakhir Tajalli yang merupakan kontak langsung dengan Allah, masuk dalam keharibaan-Nya  yang berarti masuk dalam alam fana’ dimana tidak ada lagi kata hijab antara seorang hamba dengan-Nya. Metodologi tinjauan pertama ini, apakah rokok tergolong kedalam sebuah rada-il yang dapat mengambat dan mencegah wushul kepada Allah? Maka dari sinilah hukum rokok itu ditentukan. Karena arti dari tasawuf itu sendiri ialah Tashfiyatun nafsi ‘anil rada-il lil wushul ila Allah. 
Namun sikap yang relevan juga prinsipil dengan definisi tasawwuf di atas yang berarti pensucian jiwa dari segala hal yang menghambat dari wushul kepada Allah, maka sikap yang diterapkan para mutashawwifin ialah sangat ekstra berhati-hati. Seorang mutashawwif tidak bisa menggapai maqam As-Shidq kecuali dengan maksimal dalam menjunjung tinggi perintah Allah dan menghindari larangan-Nya. Maka mereka melakukan perkara kesunnahan (bersifat sunnah) seolah-olah perkara itu dianggapnya sebagai sebuah kewajiban, menjauhi kemakruhan seakan-akan perkara itu dianggapnya sebagai sebuah perkara yang haram, dan meninggalkan perkara haram seakan-akan perkara itu dianggapnya sebagai sebuah kekafiran.
Adapun i’tibar (logika) yang menunjukkan tidak diterimanya rokok dalam tasawwuf adalah karena (dengan perbuatannya itu) perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi sesak dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya. Dan pada sebagian kasus alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu menghalangi dirinya dari merokok.
Ini juga yang akan menyebabkan perokok menjadi budak dari rokok dengan selalu mengikuti syahwat/keinginan untuk merokok. Apabila selalu mengikuti hawa nafsunya maka ia telah menjadikan nafsunya sebagai tuhan. Dan apabila nafsunya dijadikan sebagai tuhan maka ia telah menjadikan tuhan selain Allah. Dan apabila sudah menjadikan selain Allah sebagai tuhan maka ia benar-benar telah musyrik ‘inda Tashawwuf.
Imam Shufiyah (para Sufi) Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary berkata dalam kitab Al-Hikam-nya.
أَصْلُ كُلِ مَعصية وغفلة وشهوة الرضى عن النفس وأصل كل طاعة ويقظة وعفة عدم الرضى منك عنها                
“Asal dari setiap kemaksiatan, kelalaian, dan kesyahwatan adalah ridla/senang terhadap hawa nafsu. Dan asal dari semua ketaatan, kewaspadaan, dan kewira’ian adalah tidak adanya ridla darimu terhadap hawa nafsu.
Imam Bahauddin yang termasuk imam para sufi juga berkata ketika mendefinisikan Kalimah Thayyibah: نفي الألوهية الطبيعية وإثبات الحق الواجب الوجود         
“Bebas dari menuhankan hawa nafsu dan menetapkan Allah Al-Haq yang wajib wujudnya


Inilah pengkajian ilmiah diskusi Al-Ghadier mengenai ROKOK Perspekti tasawwuf dimana semua tinjauan tersebut diangkat berdasarkan point of view TASAWWUF. Dan pada edisi kemarin berdasarkan Perspektif Fiqih. Kedua sumber legitimasi tinjauan rokok diatas telah kami paparkan. Substansi, history, serta indikasi positif dan negatif rokok telah kami deskripsikan. Dampak realita rokok pada kehidupan juga telah kita rasakan. Sekarang tinggal bagaimanakah anda menyikapinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar