Hari jum'at adalah hari istimewa, adalah satu-satunya hari yang disebutkan dalam kitab al-Qur'an. Bahkan dalam beberapa hadits disebutkan posisi dari hari jumat adalah sebagai sayyidul ayyam 'induk hari', hajjul fuqara 'hajinya orang-orang faqir' dan 'iedul masakin 'hari rayanya orang-orang miskin'. Hari di mana layaknya diperbanyak syukur atas surur dan ta'dhimun ni'mah, serta banyak amal masyhur yang special dilakukan di dalamnya, diantaranya yakni 'iktsarus sholawat 'memperbanyak membaca shalawat'.
Benarkah shalat jum'at adalah dhuhur yang diqashar?
Shalat jum'at adalah berhukum fardlu 'ain bagi yang memenuhi syarat-syarat wajibnya karena Firman Allah swt
ياأيها الذين أمنو إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله
"Wahai orang-orang yang beriman ketika dikumandangkan seruan untuk shalat pada hari juma't maka bersegeralah kalian untuk berdzikir pada Allah". (Al-Jumu'ah: 9)
Yang dimaksud dengan dzkrul-Lah, ada yang mengatakan shalat, ada pula yang menyatakan khutbahnya.
Melihat pada kolaborasi dari shalat dan khutbah ini sebenarnya kita akan lihat kalau shalat adalah representasi dari dzikir sedang khutbahnya adalah tadzkir, jika khutbah adalah khitobah maka shalat adalah munajah, dan jika khutbah adalah hubungan horizontal maka shalat adalah hubungan vertikal.
Sisi historisitas difardlukannya shalat jumat adalah ketika malam isra'. Adapun belum didirikannya shalat jum'at (tidak spontan shalat jum'at didirikan) sesaat turunnya perintah, disebabkan jumlah kaum muslimin masih sedikit atau kerena situasi islam masih di balik persembunyian dari kejahatan kaum kafir quraisy pada masa itu. Dan ia merupakan kewajiban transisi dari shalat dhuhur bagi setiap mukallaf yang memenuhi syarat wajib (islam, balig, berakal, merdeka, laki-laki, sehat dan tinggal menetap). Artinya apabila shalat jum'at sudah ditunaikan, maka tidak ada kewajiban melaksanakan shalat dhuhur. Syarqawi,1/ 260.
Untuk orang-orang tidak terkena taklif shalat jumat, seperti budak, musafir dan perempuan, diperbolehkan untuk shalat jumat sebagai pengganti dari shalat dhuhur dan tidak usah untuk mengulang dhuhurnya lagi. Bugyatul mustarsyidin: 78-79.
Status dari pada shalat jumat adalah shalat yang independent (mustaqillah) yang tidak terkait dengan shalat lainnya. Dengan jumlah rokaat dua. Shalat jum'at itu bukanlah shalat dhuhur yang diqashr (yang diringkas dari 4 rokaat menjadi 2 rokaat) sekalipun waktu dari shalat jum'at adalah waktunya shalat dhuhur dan bahkan sekalipun juga ketentuan ketika shalat jum'at itu terlewatkan (bagi orang yang wajib), maka diganti dengan dhuhur.
Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh sahabat Umar ra.
الجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان نبيكم وقد خاب من افترى اى كذب (رواه الإمام أحمد وغيره)
Shalat jum'at terdiri dari dua rakaat sempurna yang bukan pengqasharan dari shalat dhuhur, yang mengikuti lisan (syariat) nabi kalian. Dan sungguh merugi orang yang mendustakannya. (HR. Imam Ahmad dan lainnya).
Serta mustaqillahnya shalat jum'at itu disebabkan pula karena shalat dhuhur itu tidak dibutuhkan saat telah terlaksananya shalat jum'at. Lain halnya jika mencuatnya beberapa masalah/ udzur syar'i yang melatar belakangi I'adatul Jum'ah yang telah kami terbitkan pada edisi: 35
Bagaimanakah pengejawentahan khutbah itu sendiri?
Eksistensi khutbah jum'at adalah suatu amal sakral karena berhubungan dengan sah atau tidaknya pelaksanaan shalat jum'at. Sehingga dipandang perlu untuk mengindahkan khutbah jum'at yang diantaranya dengan bahasa Arab (menurut Syafi'iyah) yang berkontenkan nasehat yang jelas dan mudah dipaham. Tidak berisikan masalah-masalah hina, remeh, asing dan kasar. Karena kebanyakan umat tidaklah mengmbil kemanfaatan darinya. Juga, komposisi khutbah yang panjang selagi masih berupa nasihat, mau'idhoh atau tentang syariat islam tidak dianggap sebagai pemisah yang memutus pada syarat muwalat khutbah. Namun andaikata terjadi pemisahan dalam khutbah walaupun dengan udzur sperti tidur dan epilepsi yang seukuran lamanya dengan melakukan dua rakaat shalat maka khutbahnya menjadi batal.
Di samping itu, berkembang pula masalah kondisional bahwa masyarkat kita bukanlah masyarakat yang paham dan mengerti bahasa arab. Sehingga dalam praktek khutbah jum'at kerap kali bahasa penyampaiannya dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia . Menjumpai kenyataan ini, sebagian ulama berpendapat membolehkannya. Dikarenakan agar tujuan dari mau'idhoh dapat dicapai melalui penangkapan pemahaman yang mudah bila menggunkan bahasa Indonesia atau bahasa non Arab lainnya. Hanya saja yang perlu dicatat, untuk rukun-rukun dari khutbah jum'at (memuji kepada Allah swt, membaca shalawat teruntuk baginda Nabi Muhammad, wasiat agar bertaqwa, membaca ayat al-Qur'an pada salah satu dua khutbah dan mendo'akan mukminin dan mukminat) tetap dipertahankan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan inilah yang dikehendaki oleh kalangan Syafi'iyah.
Untuk pelaksanaan shalat dan khutbah Nabi saw bersabda:
فأطيلوا الصلاة واقصروا الخطبة (رواه مسلم)
''Panjangkanlah shalat dan ringkaslah khutbah'' (HR. Muslim) Riyadlus Shalihin: 333
Shalat lebih panjang dibanding khutbahnya itu sebenarnya adalah relative, dengan menisbatkan pada shalat menurut kebiasaan orang yang melakukan dalam setiap waktunya. Perbandingan Thawilatus shalat 'panjangnya shalat' dan qashiratul khutbah 'ringkasnya khutbah' tidak mahdud (terbatasi) dengan waktu. Maka menafikan semisalnya khutbahnya 15 menit dengan shalat yang lebih dari 15 menit. Di daerah sekitar kita mungkinkah ada orang yang mau mengimami shalat dua rakaat selama lebih dari 15 menit? Metode yang dapat kita terapkan untuk penganalogian 'relative' di atas, ialah dengan menimbang seberapa lama shalat yang biasa ditunaikan menurut kebiasaan sehingga dinilai panjang, lalu dipanjangkan sedikit lagi maka itu sudah itholatus shalat. Sedangkan untuk khutbah, dengan mengukur sejauh mana khutbah dikatakan normal, lalu di ringkas penyampaiannya dengan tidak bertele-tele maka itu sudah bisa disebut dengan qashrul khutbah.
Himkah dibalik tirai hadits yang menyuruh untuk memanjangkan shalat dan meringkas khutbah ini, mengandung filosofi bahwa jangan sampai kita itu hanya bisa bicara tapi ternyata dalam prakteknya adalah nihil.
Akan tetapi jika kita melihat pada kaidah 'Khoirul umur awsathuha' sebaik-baik perkara ialah yang sedang-sedangnya, maka entah itu shalat jum'at atau khutbah jum'at seyogyanya dilakukan dengan sedang-sedang saja (jelas, padat isi dan tidak terlalu berbelit-belit serta tidak bertele-tele). Ini dikukuhkan pula dengan :
وروي مسلم بن جابر بن سمرة قال كانت صلاة رسول الله قصدا وخطبته قصدا اى متوسطة
Muslim ibn Jabir ibn Samrah berkata: "Rasulullah shalat dan berkhutbah secara sedang".(Hamisy Qalyubi 1/ 282)
Lalu bagaimanakah hukum bila antara si khotib (orang yang berkhutbah) dan orang yang menjadi imam shalat itu berbeda (tidak satu paket)?. Menurut imam Nawawi adalah boleh, menurut imam Ahmad itu ada 3 pendapat:boleh bila udzur, tidak boleh bila tak ada udzur, dan tidak boleh sama sekali
Adapun menurut ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah itu membolehkan dan mengesahkannya. Wal-Lahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar