Selasa, 06 Juli 2010

MENYALATI MAYIT MAFQUD

Sebagaimana lazimnya ketika seorang muslim atau muslimah yang meninggal, kronologi dan rentetan persoalan yang berkaitan dengan kematian akan mencuat kepermukaan di saat sanak family dan orang-orang tetangga sekitar sedang dirundung kesedihan. Sesaat sepeninggalnya seorang muslim atau muslimah, persoalan yang muncul biasanya terdiri dari pengurusan janazah/mayit, Wiratsah (pembagian harta warits), ad-Dain (hutang), Washiyat (pesan yang dilakukan setelah meninggalnya seseorang) serta Zauj dan Walad (isteri/suami dan anak yang diinggalkan).
Selaras dengan item menyalati mayit mafqud (mayit yang tidak ada/hilang), sekiranya kita dapat langsung mencerna bahwa item kita kali ini bernuansa dengan prosesi pengurusan janazah, yaitu menyalati mayit dan mengesampingkan persoalan lain yang tertera  di atas. 
Seperti yang telah mafhum di kalangan orang umum, shalat terhadap mayit dikategorikan dengan shalat mayit  hadir (shalat mayit yang janazahnya ada di depan Mushalli) dan shalat mayit ghaib (shalat mayit yang janazahnya tak berada di depan Mushalli). Lantas bagaimanakah halnya dengan shalat mayit yang mafqud ? 
Shalat mayit mafqud ialah menyalati mayit yang janazahnya tidak diketahui keberadaan khabarnya (alladzi inqatha'a khabaruhu). Misalnya seperti ada 20 orang yang dikhabarkan mengikuti travell menempuh jalur laut akan tetapi tak disangka kapal diterjang oleh badai yang ganas, tenggelam terombang-ambing ombak laut yang besar dan 10 diantara penumpangnya ditemukan tewas sedang 10 lainnya dinyatakan hilang. Ketidakjelasan dan kesimpangsiuran kabar yang beredar mengenai 10 orang hilang, sebagian besar orang berspekulasi bahwa mereka sudah meninggal dunia karena diyakini nyawanya sudah tak tertolong dengan qarinah atau indikator besarnya ombak dan ganasnya badai yang menerjang kapal tersebut. Di sinilah kita akan mengobservasi item kali ini dengan beberapa tinjauan.
Para Salafuna As-Shalih (guru-guru besar kita dahulu) dalam ijtihadnya, dengan berinspirasi ihtiyath (berhati-hati) pada segala aspek ruang lingkup, sangat berpegang teguh pada ruh syariat islam. Seperti contoh pendapat kutipan yang berelasi dengan kasus ini dalam kitab  Jami’ul Ummahat li Ibn Hajib, sebagian ulama menyatakan tidak usah untuk melakukan shalat mayit bahakn ada yang memakruhkan karena seseorang yang meninggal ketika akan dishalati ia harus dimandikan terlebih dahulu sedang kematian yang diakibatkan oleh longsor, yang tak dapat lagi untuk digali sehingga tidak mungkin lagi untuk dimandikan atau bahkan di laut yang sudah ada banyak air. Namun walaupun di laut banyak tersedia air yang lebih untuk memandikan mayit, tetap hal itu La yu’tabar (tak dianggap). Dan pendapat ini bisa dibilang kuat karena merupakan pendapat yang mu’tamad (dijadikan sebagai landasan). Dan sebagian ulama yang lain mengatakan boleh melakukan shalat mayit kalau sudah dinyatakan hilang oleh pihak yang berwenang, misalnya Tim SAR, penjaga pantai atau Polisi.  
Untuk menguatkan posisi bagi sebagian ulama yang menganjurkan shalat mayit tetap dilakukan, kami sandingkan sebuah argument dari kitab Fiqih lain yang menyingkapkan : “Statement  -menurut pendapat yang mu’tamad’ (tak wajib meyalati mayit yang belum dimandikan dengan kasus serupa menurut pendapat yang mu’tamad)- ternyata ini yang menjadi objek sasaran serang mereka. Antonim (kebalikan)nya  adalah
لاَوَجْهَ لِتَرْكِ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ ِلأَنَّ الْمَيْسُوْرَ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُورِ لماصح اِذاَاَمَرْتُكُمْ بِاَمْرٍ فأْتُوْا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ
"Tak ada alasan untuk meninggalkan shalat terhadap mayit mafqud. Karena berlakunya qaidah Sesuatu yang dimudahkan sebagiannya tak bisa ditinggalkan seluruhnya ‘inda qaulin, atau sesuatu yang dimudahkan tak akan gugur dengan sebab adanya sesuatu yang sulit ‘inda qaulin akhor". Artinya yang mudah tetap dilaksanakan sedang yang sulit tak usah dilakukan karena memang sulit. "Hal ini karena hadits Rasulullah Saw : Ketika Aku memerintahkan suatu perkara maka kerjakanlah selagi kamu mampu". Logikanya kalau kita mampu untuk menyalati mayit dan itu dianggap mudah maka mengapa harus ditinggakan. (Hasyiah I'anah Thalibin : 2 / 130 -131).
Dipertegas lagi oleh kitab Hasyiah Syaikh ‘Umairah ‘Alal Minhaj 1: 347 : Pernyataan dalam kitab matan -Harus dimandikan lebih dahulu-  menurut Imam Asnawi itu adalah musykil. Akurasi anolginya adalah selagi suatu perkara masih mungkin bisa dilakukan maka wajib untuk melakukan yang mungkin tersebut.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah golongan ulama pertama yang menyatakan tak usah shalat mayit, menghendaki kalau dalil masyru’iyah dibolehkannya shalat mayit pada kasus mayit mafqud ini adalah tidak pada tempatnya. Bagaimana halnya dikatakan melakukan perintah Rasulallah –idza amartukum- sedang istilah mafqud itu berarti tidak diketahui dan belum jelas, jadi belum ada perintah Rasulallah Saw untuk mengurusi mayit dengan menyalatinya dan lainnya. Berbeda jika kondisi mayit itu jelas maka jelas pula di situ ada perintah Rasulallah untuk mengurusi mayit.
Namun, dari kronologi dua pendapat yang mengklaim kebenarannya masing-masing, perlu diingat bahwa melakukan shalat janazah itu bermaksud untuk mendoakan, yang bisa membantu sedikit atau banyaknya kepada mayit. Sehingga dipandang dari sudut mendoakan ini, menyalati mayit mafqud itu lebih diunggulkan sebagai rasa kasih sayang pada mayit. Dan inilah ruh syariat islam yang tidak hanya memandang dari segi kontekstual saja tetapi juga dari sudut-sudut yang berbeda yang tentunya akan kembali lagi kemaslahatannya kepada kita semua selaku pemeluk satu-satunya agama yang diridlai Allah SWT. Allahumma urzuqna husnal khotimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar