Selasa, 06 Juli 2010

DIBALIK SERUAN ‘BANI ISRAIL’


Tafsir Al-Baqarah ayat :40 Part 2
 
Artinya : “Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu, dan penuhilah janji kamu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk)” ( al-Baqarah : 40)
Tema kelompok ayat ini sesungguhnya sama dengan tema kelompok ayat sebelumnya yakni ajakan untuk beriman kepada al-Qurán dan Nabi Muhammad saw. Karena tema sentral surat al-Baqarah memang menyangkut hal demikian. Hanya perbedaannya terletak pada Mukhathab (lawan tutur) yang dihadapi. Mukhathab pada kelompok ayat sebelumnya adalah orang-orang kafir dan orang-orang musyrik yang tergolong Ummiyyun (orang-orang bodoh yang belum mengenal agama). Sedangkan kelompok ayat ini mukhathab yang yang dihadapi adalah mutadayyinun (orang-orang yang telah menganut agama). Orang Yahudi –melalui ajaran yang telah mereka ketahui dari kitab suci- telah beriman kepada Allah swt dan hal-hal lain yang berkaitan dengan persoalan Uluhiyah (ketuhanan). Hanya saja mereka belum menerima Nubuwwah (kenabian) Muhammad saw.
Ummiyyun dan mutadayyinun jelas tidak sama. Karenanya, -agar ajakan (ide) yang tercover tema tersebut di atas dapat dicerna dan selanjutnya dapat diterima- Allah swt membedakan argumentasi yang dilandasi disesuaikan dengan perbedaan karakter kedua golongan itu sendiri. Ummiyyun yang memiliki karakter ateisme (tidak mengakui adanya tuhan) dan politeisme (yang menganggap tuhan lebih dari satu)  diberi argumentasi (alasan untuk memperkuat ide) yang bersifat rasional agar supaya terbuka akal mereka yang tertutup dari masalah ketuhanan dan kenabian. Argumentasi yang bersifat rasional ini dapat kita simak pada ayat ke-28 misalnya;
كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Bagaimana kamu terus menerus kufur kepada Allah padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, kemudian dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Juga dapat kita lihat pada ayat ke-22 umpamanya :

الَّذِى جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِناَءً وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَتَجْعَلُوْا لِله اَنْدَادًا وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kamu, dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan sebagian air dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan air itu buah- bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”buahan sebagian rezeki untuk kamu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu
Berbeda halnya dengan mutadayyinun (mukhathab yang dihadapi dalam kelompok ayat ini) Allah menggunakan argumentasi untuk memperkuat ajakan-Nya dengan argumentasi yang bersifat religius. Karena akal mereka telah terbuka, hanya hati mereka tertutup akibat kedengkian dan kecemburuan nubuwwah yang tidak lagi dari keturunan mereka tapi berpindah pada keturunan arab.
Pada ayat ke-40 ini, argumentasi religius terurai dalam empat ungkapan yang menggunakan bahasa sindiran. Ungkapan pertama seruan Hai putra-putra Israil Ýa bani Israil’. Ungkapan kedua perintah mengingat nikamat Údzkuru ni’matiyal lati anámtu álaikum’. Uangkapan ketiga perintah memenuhi janji. ‘Wa aufu bi áhdi ufi bi áhdikum’. Dan ungkapan terakhir perintah untuk tunduk ‘Wa iyyaya farhabun.
Seruan Hai putra-putra Israil mempunyai makna yang sangat dalam dan sangat berpengaruh terhadap perasaan dan kondisi kejiwaan orang-orang Yahudi yang dikhithabi. Mengapa? Karena penamaan mereka dengan putra-putra Israil yang bermakna hamba pilihan yang shaleh (sebagimana dijelaskan pada part I tafsir ayat ini), mengandung arti menisbatkan mereka dengan seorang hamba yang sangat dekat dengan Allah swt. Atau dengan kata lain membawa nama bapak mereka yang benar-benar cinta dan dicintai oleh Allah swt. Jika mereka tidak shaleh sebagimana bapak mereka, maka alangkah buruknya mereka. Karena sebagai anak mestinya mengikuti jejak orang tua dan meneruskan apa yang menjadi kebaikannya. Wal hashil seruan ‘Ya Bani Israil’ secara implisit mengandung peryataan :
ياابناء العبد الذي اختاره الله واصطفاه كونوا مثل أبيكم فى العبادة والطاعة

“Wahai putra-putra hamba shaleh yang dipilih Allah, ikutilah jejak yang telah dilakukan bapak kalian di dalam pengabdian dan ketundukan”.
Kata ‘Bani Israil’ pada ayat di atas, jika digantikan dengan sinonimnya Ál-Yahud’ umpamanya, akan mempunyai dampak yang berbeda pada benak pendengarnya. Karena kata Ál-Yahud’ adalah ismun nahlah wad-diyanah (sebutan untuk kelompok orang-orang beragama yahudi) yang tidak menyebutkan hubungan darah langsung dengan pembawanya, yang berakibat kurangnya rasa tanggung jawab untuk mengikuti jejak-jejaknya. Berbeda dengan kata ‘Bani Israil’ yang merupakan ismun qabilah (sebutan untuk orang-orang yang memiliki hubungan darah/keturunan dengan Nabi Israil/Nabi Ya’kub as). Hal ini terlihat dari kenyataan (realita), biasanya melakukan hal-hal yang dilarang oleh agamanya lebih mudah dibandingkan dengan melakukan hal-hal yang mengakibatkan hilangkanya kehormatan keluarga. Diharapkan dengan seruan menggunakan kata Bani Israil, berarti orang-orang Yahudi tersentuh, kemudian mencerna ajakan dan pada akhirnya menerima untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Toh mereka sebenarnya telah memahami melalui kitab-kitab yang diturunkan (semisal Taurat) penjelasan mengenai akan turunnya Nabi terakhir yang sifat-sifatnya sama dengan sifat-sifat yang ada pada diri Nabi Muhammad saw. Imam Abdurahman Ad-Dibaí menukilkan sebuah hadits dari Átha Ibn Yasar dari Kaáb Al-Ahbar
علمني أبى التوراة الاسفرا واحدا كان يختمه ويدخله الصندوق فلما مات ابى فتحته فإذاً فيه نبي يخرج اخرالزمان مولده بمكة وهجرته بالمدينة وسلطانه بالشام

“Äyahku mengajarkan Taurat kepadaku kecuali satu bagian yang tidak diajarkan dan dirahasiakan serta disembunyikan di kotak penyimpanan. Setelah ia mati aku buka bagian itu, dan aku dapati penjelasan tentang nabi yang akan diutus pada akhir zaman, dilahirkan di Makkah, hijrah ke Madinah, dan kekuasaannya terdapat di Syam”.
Demikian indahnya khithab yang Allah kemukakan. Khithab-Nya tidak terlepas dari konteks eksternal kepada siapa khithab itu ditujukan. Selaras dengan teori komunikasi sekarang. Subhanallah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar