Selasa, 06 Juli 2010

MENGAPA DZIKRU NI’MATIL-LAH, BUKAN DZIKRUL-LAH

Tafsir al-Baqarah ayat 40 Part 3 

…………..اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ ………… ( البقرة : 40)

Artinya : “……….ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu,……….” ( al-Baqarah : 40)


Penggalan ayat ini merupakan argumentasi religius kedua yang  dikemukakan dengan ungkapan sindiran pula, untuk membuka hati kaum Yahudi agar mau  menerima nubuwwah (kenabian) Muhammad saw. Intisari argumentasi itu ialah perintah agar mereka mengingat nikmat Allah swt.
Nikmat yang Allah perintahkan untuk diingat sebenarnya bukan nikmat yang  diperoleh kaum Yahudi saat itu, tetapi nikmat yang telah diperoleh oleh leluhur/ nenek moyang mereka di masa lalu. Yaitu banyaknya nabi-nabi yang diutus,  penyelamatan dari kekejaman fir’aun dan malapetaka lain, serta berulang-ulangnya pengampunan Allah atas berbagai dosa yang kerap dilakukan. Akan halnya  redaksi ayat di atas menggunakan kalimat ‘allati an’amtu ‘alaikum’ (yang Aku anugerahkan kepadamu) tidak menggunakan kalimat ‘allati an’amtu ‘ala abaaikum’ (yang Aku anugerahkan kepada leluhurmu), itu karena pada prinsipnya kenikmatan yang  diterima para leluhur mereka dahulu, imbas dari kenikmatan itu  dapat dirasakan juga oleh mereka. Jika saja para leluhur kaum Yahudi tidak memperoleh nikmat-nilmat yang demikian melimpah dari Allah Yang Maha Pemurah, kondisi dan keberadaan mereka  tentu tidak sebaik dan se-eksis yang dirasakan. Benarlah apa yang maqalah ungkapkan :
أَلنِّعْمَةُ عَلَى الْأَبآءِ نِعْمَةٌ عَلَى الْأَبْنآءِ
“Nikmat pada orang tua, hakikatnya nikmat pula pada anak-anaknya”
Berangkat dari maqalah ini, di kalangan orang-orang pesantren ada tradisi yang terpuji yang patut dijaga agar tetap lestari. Yaitu kebiasaan alumni yang telah sukses dan bahagia dengan peran dan profesinya yang berbeda-beda, saat sowan (berkunjung) ke kyai di pesantren dimana dulu ia belajar, selalu tidak lupa membawa serta putra-putranya. Hal itu dilakukan, agar putra-putranya mengerti dan memahami bahwa mereka juga patut berterima kasih dan membalas budi, bukan cuma ayahnya seorang diri. Karena pada dasarnya kebahagiaan mereka sebab kesuksesan ayahnya itu berawal dan berasal dari jasa sang Kyai.

Sebagai argumentasi, perintah mengingat nikmat ‘udzkuruu ni’mati’ dimaksudkan untuk mengikis habis rasa iri yang menyelubungi hati kaum Yahudi, yang pada awalnya mengharapkan nabi yang diutus, adalah dari kalangan mereka, namun pada kenyataannya kemudian, nabi itu diangkat dari lain kalangan. Dengan mengingat nikmat, diharapkan mereka  mensyukurinya, kemudian merasa puas dengannya. Karena apabila mereka melupakan nikmat yang diperoleh diri sendiri, dan melihat   nikmat yang diperoleh orang lain, akan mengundang rasa iri. Sebaliknya mengingat nikmat yang diperoleh diri sendiri, dapat mengalihkan pikiran dari nikmat yang diperoleh orang lain, sehingga iri hati tidak akan timbul.  Selanjutnya kata ‘nikmati’ (nikmat-Ku) menggaris bawahi bahwa nikmat baik yang diperoleh diri sendiri maupun yang diperoleh orang lain adalah milik Allah dan merupakan anugerah-Nya yang bersumber dari diri-Nya semat. Sama sekali bukan karena hasil upaya mereka. Sehingga iri hati kaum Yahudi sangat tidak beralasan, dan karenanya pengakuan nubuwwah Muhammad saw merupakan persoalan yang tidak dapat terbantahkan.

Jika kita mengamati redaksi al-Quran, kita akan mendapati perbedaan yang sangat mendasar pada contents (isi) perintah ‘dzikr’ (mengingat), antara yang ditujukan pada kaum Yahudi dengan yang ditujukan kepada kaum Muslimin. Dzikr yang diperintahkan kepada kaum Yahudi adalah dzikru ni’matil-Lah (mengingat nikmat Allah) sebagaimana ayat diatas. Sedang dzikr yang diperintahkan kepada kaum Mukmin adalah dzikrul-Lah (mengingat Allah). Seperti pada ayat ke 41 surah al-Ahzab misalnya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
“ Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan mengingat) Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya “
Perbedaan contents tersebut didasarkan pada perbedaan carakter (tabiat, watak) kedua kaum itu. Kaum Yahudi adalah kaum yang berwatak materialis, yang mendasarkan kehidupannya pada hal-hal yang bersifat kebendaan semata (maadiyyun), karena itu yang munasabah (cocok, sesuai) adalah menggiring ingatan mereka pada hal- hal yang berupa materi (maaddah) yang memang mereka cintai, dengan cara memerintahkan mereka untuk mengingat nikmat ilahi (dzikru ni’matil-Lah). Berbeda halnya dengan kaum Mukmin. Mereka adalah kaum spritualis, yang mengutamakan sisi rohani. Kecintaannya  tidak pada materi (ni’mah) tetapi kepada Sang Pemberi materi (mun’im).  Bagi mereka Allah swt adalah ‘wajibul ma’bud’ dzat yang disembah dan diabdi. Terlepas apakah mereka mendapat limpahan materi, atau tidak memiliki materi sama sekali. Kalaupun dalam kehidupan mereka tersedia berbagai fasilitas dunia, itu akan digunakan dan difungsikan hanya sebatas sarana (wasilah) bukan sebagai tujuan (ghayah). Oleh karenanya  mereka tidak disuruh untuk mengingat sesuatu yang terlihat mata, melainkan disuruh untuk mengingat dzat yang tidak dapat diindera (dzikrul-Lah).  Dalam hadis qudsi, watak kaum Mukmin ini dinyatakan :

اِنَّ اللهَ يُبَاهِي بِعِبَادِهِ مَلاَئِكَتَهُ وَيَقُوْلُ : إِنَّهُمْ يَعْبُدُوْنَنِيْ لِذَاتِي ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ : بَلْ يَعْبُدُوْنَكَ لِنِعْمَتِكَ عَلَيْهِمْ ، فَيَقُوْلُ سُبْحَانَهُ عَلَيْهِمْ : سَأَقْبِضُهَا عَنْهُمْ وَلاَ يَزَالُوْنَ يُحِبُّوْنَنِيْ

Sesungguhnya Allah swt membanggakan hamba-hambanya yang beriman dihadapan para malaikat. Allah swt berkata: “ Lihatlah hamba-hamba-Ku, sungguh mereka mengabdi kepada-Ku karena diri-Ku”. Malaikat menyela: “Tidak demikian Tuhan. Mereka menyembah-Mu bukan karena-Mu melainkan karena mereka mendapat anugerah nikmat-Mu”. Kemudian Allah berkata kembali : “Aku akan mencabut nikmat-Ku dan kalian akan tetap melihat mereka tidak akan henti-henti mengabdi pada-Ku dan mencintai diri-Ku”.

Kita boleh saja merasa lega, karena kita tidak ditakdirkan sebagai Yahudi yang berwatak materialis, melainkan  sebagai Mukmin yang berwatak spritualis. Tetapi  kita patut waspada.  Era globalisasi yang kita hadapi sekarang ini, lambat tapi pasti telah menjadikan orientasi hidup kita selalu pada hal-hal yang bersifat duniawi. Tanpa sadar kitapun secara diam-diam telah menetapkan standar kesuksesan hidup bukan lagi pada urusan ukhrawi, melainkan mengukurnya dengan materi, dan berbagai standar semu lainnya seperti jabatan, status sosial dan harga diri. Dengan Yahudi watak kita memang berbeda, tetapi sikap kita nampaknya sama saja. Jangan-jangan kita termasuk yang mendapat ghadab (murka) Allah, meski tiap hari berulang kali dalam  fatihah yang kita baca, dengan kerendahan dan pengharapan kita memohon ‘ihdinas-shirathal mustaqim shirathal-ladzina an’amta ‘alaihim ghairil-maghdubi ‘alaihim’.  Masih ada waktu yang tersisa, untuk kembali mengarahkan orientasi hidup kita pada orientasi yang sebenarnya, dengan terus-menerus meneguhkan lisan, hati dan tindakan pada Laa ilaha illal-Lah. La maujuda wala ma’buuda wala maqshuda illal-Lah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar