Tafsir al-Baqarah ayat 37 Part.1
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ [ البقرة : 37 ]
“Maka Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Dia kembali kepadanya (menerima taubatnya) .Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” ( al-Baqarah : 37)
Pada ayat sebelumnya Allah mengkisahkan tergelincirnya Adam melakukan kesalahan. Dan pada ayat ini Allah swt menceritakan tentang Adam melakukan taubat dari kesalahannya itu, kemudian Allah menerima taubatnya, hingga akhirnya Adam kembali berada dalam naungan rahmah (kasih sayang)-Nya. Bagaimana dan seperti apa taubat Adam ?
Menilik mafhum (arti yang terkandung) nya, terdapat gambaran tentang taubat yang dilakukan Adam. Gambaran itu adalah :
Pertama, Adam bersegera dalam melakukan taubat.
Bersegeranya Adam dalam bertaubat ini, ditandai oleh ‘athaf (penyambungan) ayat diatas pada ayat sebelumnya dengan menggunakan huruf ‘athaf (huruf penyambung) ‘fa’ yang berfaidah ‘littartib ma’al ittishal’ (berurutan dan berdekatan), sehingga mafhum-nya adalah peristiwa tergelincirnya Adam melakukan kesalahan dengan Adam melakukan pertobatan itu berurutan (tartib) dan masa atau jaraknya berdekatan (ittishal). Dengan demikian dapat diartikan bahwa Adam tidaklah menunda-nunda dalam bertaubat melainkan bersegera.
Bersegera ini memang yang sebaiknya bahkan seharusnya dilakukan kita dalam bertaubat. Sesaat setelah melakukan dosa segeralah jangan ditunda ditunda untuk melakukan taubat. Allah mengingatkan dalam surah an-Nisaa ayat 17 :
اِنَّمّا التَّوْبَةُ عَلَى اللهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوْبُ اللهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana“
Benar bahwa taubat masih bisa diterima sepanjang ruh belum berpisah dari badan, karena Nabi saw sendiri bersabda ‘Innallaha yaqbalu taubatal ‘abdi ma lam yugharghir’ (sesungguhnya Allah masih menerima taubat hamba selama ruh masih dikerongkongan), benar pula sementara mufassir yang mengartikan kata ‘min qarib’ pada ayat dalam surah an-Nisa tersebut diatas dengan ‘ma qablal intidzar’ (sesaat sebelum kematian) karena betapapun lamanya hidup di dunia, waktu itu pada hakikatnya singkat dan jarak antara hidup dan mati sangatlah dekat. Akan tetapi….. adakah jaminan bahwa kita masih hidup lama setelah berdosa hingga tak harus bertaubat segera ? Bukankah tak ada seorang makhlukpun yang dapat menjamin kelanjutan usianya walau sesaatpun ? Dan bukankah dalam sabdanya yang lain, Nabi saw pun mengingatkan :
عَجِّلُوْا بِالتَّوْبَةِ قَبْلَ الْمَوْتِ
“Bersegeralah kamu bertaubat sebelum kamu mati”
Kedua, Adam melaksanakan unsur pokok taubat.
Sementara mufassir menyatakan bahwa yang dimaksud kata ‘kalimat’ pada ayat diatas adalah kalimat yang Allah talqin-kan (diktekan dan ajarkan) untuk diucapkan Adam dalam memohon ampunan (taubat). Banyak riwayat yang menyebutkan bunyi kalimat itu. Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan (qaul ini yang paling shahih) bahwa kalimat itu adalah kalimat yang terdapat pada surah al-‘Araf yaitu ‘Rabbana dzalamna anfusana wain lam taghfir lanaa watarhamnaa lanuknna minal khasirin’ . Ibnu Mas’ud ra meriwayatkan bahwa kalimat itu adalah ‘Subhanakal-Lahumma wa bihamdik. Tabaaraka ismuka wa ta’ala jadduk. Lailaha illa anta. Dzalamtu nafsii faghfirlii innahu la yaghfirudzunuuba illa anta’. Ada lagi yang meriwayatkan bahwa kalimat itu berisikan tawassul kepada Nabiyyunaa Muhammad saw. Perbedaan riwayat itu sah-sah saja. Tetapi yang urgen (penting) adalah bahwa disana ada petunjuk taubat berupa al-kalamus shalih (ucapan yang baik) yang harus diucapkan Adam. Selanjutnya kata ‘talaqqa’ memberikan arti bahwa Adam dalam menerima kalimat itu ada dibarengi dengan upaya dan kesungguhan hati yang tercermin dari bentuk tafa’ala yang berfaidah takalluf (dengan usaha dan kesungguhan). Hal ini mengisyaratkan bahwa dibalik kata ‘talaqqa’ ada petunjuk taubat lain berupa al-fi’lus shalih (perbuatan yang baik) yang dilakukan Adam. Petunjuk berupa al-kalamus shalih dan al-fi’lus shalih inilah yang kemudian dikembangkan oleh ulama tasawwuf sebagai tiga unsur pokok dalam bertaubat yang menjadi maqam (stasiun) pertama dalam wushul (menuju) kepada Allah swt. Ketiga unsur pokok itu adalah ‘ilmu (pengetahuan atau pemahaman), haal (kondisi psikologis) dan ‘amal (aktivitas).
Ketiganya secara sempurna dilakukan Adam dan karena itu taubatnya diterima. Adam memahami sekaligus mengakui bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan kesalahan/ perbuatan dosa (‘ilmu) terbukti Adam menerima petunjuk taubatnya, kemudian ada rasa perih dalam hati Adam yang melahirkan rasa penyesalan (haal) dan selanjutnya Adam meninggalkan dosa itu serta beranjak memohon ampunan (‘amal). Rasa penyesalannya digambarkan dalam satu riwayat yang menyatakan bahwa: “Saat turun ke bumi selama tiga ratus tahun Adam tidak pernah mendongakkan kepalanya ke atas karena merasa malu kepada Allah”.Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Seandainya air mata penduduk bumi dikumpulkan takkan bisa melebihi air mata Dawud as. Dan seandainya air mata penduduk bumi dikumpulkan berikut air mata Dawud as, takkan dapat melebihi air mata Adam as”. Dan kesungguhannya dalam memohon ampunan tergambar lewat ratapannya ‘rabbanaa dzalamnaa anfusanaa wain lam taghfir lanaa wa tarhamna lanukanna minal khasiriin’.Serta kesungguhannya dalam meninggalkan dosa dapat ditelesuri dari kisahnya yang hanya sekali itu berdosa dan setelah itu selama hidupnya barang sekalipun tak pernah ia mengulanginya.
Demikianlah gambaran taubat yang dilakukan Adam hingga taubatnya diterima dan ia kembali ke dalam naungan rahmah (kasih sayang)-Nya. Gambaran ini selayaknya menjadi cerminan kita. Kita melakukan dosa seringkali. Bahkan saking seringnya dosa-dosa itu sulit kita hitung dan kalkulasi. Sudahkah kita melakukan pertaubatan yang semestinya dengan melaksanakan ketiga unsur pokoknya ? Seberapa lama kita menyesalinya? Seberapa banyak air mata yang tumpah karenanya ? Dan seberapa besar kesungguhan kita untuk menghentikannya dan tidak kembali mengulanginya ? Lalu patutkah kita mengharap taubat kita diterima ? Jangan-jangan kita adalah pungguk yang merindukan rembulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar