Selasa, 06 Juli 2010

FAKTOR DOMINATIF DAN FAKTOR PENUNJANG KEBAHAGIAAN

Tafsir al-Baqarah ayat 35 Part.1

Zù=è%ur ãPyŠ$t«¯»tƒ ô`ä3ó$# |MRr& y7ã_÷ryur sp¨Ypgø:$# Ÿxä.ur $yg÷ZÏB #´xîu ß]øym $yJçFø¤Ï© Ÿwur $t/tø)s? ÍnÉ»yd notyf¤±9$# $tRqä3tFsù z`ÏB tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÌÎÈ
Jika difahami secara harfiah, teks ayat ini menceritakan takrimah (penghormatan) berikutnya yang diberikan oleh Allah kepada Adam as, karena potensinya memiliki ilmu dan inba serta kapasitasnya sebagai khalifah. Setelah penghormatan pertama yaitu sujudnya malaikat ‘usjuduu liaadam’, Adam as mendapat penghormatan lagi yaitu berhak mendiami surga bersama  istrinya dan berhak menikmati semua fasilitas didalamnya sesuka hatinya ‘uskun anta wazaujukal jannah’.

Disisi lain apabila difahami menurut interpretasi metaforis (penafsiran kiasan)-nya, ayat diatas berikut ayat sebelumnya, sejatinya merupakan illustrasi (gambaran) dari faktor-faktor yang menunjang kebahagiaan. Semua orang -tanpa memandang status sosial dan tingkat pendidikannya- pasti  memimpikan dan mendambakan memperoleh kebahagiaan. Karena ‘kebahagiaan’ adalah jannatul ahlam (surga impian), dan masalah kemanusiaan yang paling hakiki, dimana tujuan hidup semua manusia tanpa terkecuali adalah memperoleh kebahagiaan.

Faktor-faktor penunjang kebahagiaan tersebut –dengan meminjam istilah  Al-Imam al-Ghazali rahimahullah dalam tesisnya tentang kebahagiaan- adalah sebagai berikut:
Pertama; al-Ma’rifah (pengetahuan). Orang yang  berpengetahuan luas lebih berpeluang memperoleh kebahagiaan  jauh lebih besar daripada orang yang terbatas pengetahuannya. Faktor penunjang pertama ini tersirat dalam ayat:  ‘wa’allama adamal asma-a kullaha’ yang secara implisit menegaskan bahwa Adam as memiliki pengetahuan yang banyak.
Kedua; al-Jaah (kedudukan). Orang yang punya kedudukan atau status sosial yang tinggi, memiliki peluang relatif besar untuk memperoleh kebahagiaan daripada orang yang tidak punya kedudukan apa-apa. Karena itu ada kecenderungan bertambah tinggi kedudukan seseorang, bertambah berat untuk melepaskan. Faktor kedudukan digambarkan dalam ayat ‘waidz qaala rabbuka lil malaikatisjudu’ dimana sujudnya malaikat merupakan bukti bahwa Adam as memiliki kedudukan tinggi.
Ketiga; ats-Tsarwah (kemakmuran).Adam as mendapatkan kemakmuran yang menunjang kebahagiaan hidupnya. Kemakmuran itu ditandai dengan ‘al-jannah’ yang didiaminya bersama istrinya yang termaktub dalam ayat ‘uskun anta wazajukal jannah’ dimana al-jannah dapat diartikan sebagai tempat tinggal atau hunian elit yang indah dengan fasilitas yang serba cukup dan memadai. Orang yang hidupnya makmur karena banyak memiliki materi tentu lebih berpeluang mendapat kebahagiaan dibanding orang yang miskin tidak memiliki apa-apa.
Keempat; as-Sihhah (kesehatan). Orang yang memiliki kesehatan baik relatif memiliki peluang memperoleh kebahgiaan daripada orang yang terganggu kesehatannya. Faktor terakhir ini secara implisit tercover dalam ayat ‘wakulaa minha raghadan haitsu syi’tuma’ di mana raghadan yang diartikan ‘wasi’an la hijra fiih’ (seluasnya, sebebasnya, tanpa ada pantangan) -dalam menikmati makanan surga- tidak mungkin dapat dilakukan Adam as,  jika ia tidak memiliki kesehatan.

Namun keempat faktor tersebut hanyalah penunjang kebahagian, bukan faktor dominatif yang menentukan kebahagiaan. Maka tidak heran jika dalam realita kehidupan, sering kita temukan orang yang telah memiliki segalanya, pengetahuan luas, kedudukan atau status sosial cukup tinggi, materi melimpah, fasilitas hidup serba lebih, dan tidak ada gangguan pada kesehatannya, tetapi dalam hidupnya tidak merasakan bahagia malah sebaliknya merasakan sengsara. Lalu apa sesungguhnya yang dapat menentukan kebahagiaan seseorang?   

Al-Imam al-Ghazali menyatakan : ‘Laa sa’aadata bila sakinatin’ Tak ada kebahagiaan tanpa ketenangan. Maksudnya:  Faktor dominatif (yang menentukan) kebahagiaan adalah ketenangan hati. Ketenangan hati hanya dapat dicapai melalui ‘al-qurbu minal-Lah’ pendekakatan diri kepada Allah (yang Maha tenang dan sumber ketenangan), yang terbangun dengan ber-dzikir kepada-Nya. ‘Alaa bi dzikril-Lah tathmainnul quluub’ (ingatlah dengan berdzikir kepada Allah, hati akan menjadi tenang). Karena itulah –dalam ending kisah perjalanan hidupnya- yang dicari Adam as bukan lagi kedudukan, pengetahuan, kesehatan dan kemakmuran, melainkan ‘maghfirah’ (ampunan) dan ‘rahmah’ (kasih sayang} sebagai simbol dari kedekatan dengan yang Maha Rahman. Al-Quran melukiskannya pada ayat ke 23 surah al-A’raf : ‘Rabbana dzalamna anfusana wain lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin’
 Wallahu a’lam (jm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar