Selasa, 06 Juli 2010

KEBAHAGIAAN BAGI YANG MENGIKUTI PETUNJUK TUHAN

Tafsir al-Baqarah ayat 38  Part.3

………………..فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ  (البقرة :38)

“……. maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada rasa takut bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” ( al-Baqarah : 38)


Manusia (keturunan Adam as) dalam merespon (menanggapi) petunjuk  Allah swt, terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama –yang dijelaskan pada penghujung ayat ke 38 ini- adalah golongan ‘muhtadiin’ yaitu golongan yang mengikuti petunjuk-Nya, yang melalui lalu lintas kehidupan dunia berdasarkan rambu-rambu yang telah ditetapkan-Nya. Allah menjanjikan balasan bagi mereka puncak kebahagiaan (the great happiness) yang indikasinya hati mereka tenteram, tidak ada rasa takut dan tidak ada pula rasa sedih ‘la khaufun ‘alaihim wa lahum yahzanun’.

Diantara mufassir berpendapat bahwa tidak adanya ‘khauf’ (rasa takut) dan ‘huzn’ (rasa sedih) yang dimaksud ayat diatas adalah khusus di akhirat. Mereka tidak melihat dzahir ayat yang redaksinya menggunakan bentuk ‘ithlaq’ (general) yang mengharuskan untuk diartikan umum, yakni tidak adanya  takut dan sedih tidak cuma di akhirat tetapi juga di dunia. Tetapi mereka memandang pada qarinah kalam (konteks pembicaraan)-nya, dimana ayat ini merupakan muqabalah (perbandingan) ayat setelahnya (ayat 39) yang menjelaskan golongan kedua yaitu golongan yang mengingkari petunjuk Allah yang diancam akan mendapat sangsi berupa kekekalan di neraka ‘walladzina kafaru wa kadzabu bi ayatina ulaika ashabun-nar hum fiha kholidun’. Pendapat mereka juga didasarkan pada realitas (kenyataan) yang ada bahwa tak seorangpun manusia di dunia, termasuk orang-orang mukmin yang mengikuti petunjuk Allah, yang selama hidupnya tidak mengalami atau menghadapi peristiwa atau kejadian buruk (musibah/ujian), yang membuatnya terlepas dari rasa takut dan rasa sedih. Malahan semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar musibah atau ujian yang menimpa. Sebagaimana pepatah menyebutkan:  Semakin tinggi suatu pohon, semakin besar pula angin yang menerpanya. Tentang hal ini Sa’ad ibn Abi Waqqash ra meriwayatkan sabda Rasulullah saw:

إن أشد الناس بلاء الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل ثم سائر الناس على قدر دينهم فمن ثخن دينه اشتد بلاؤه ومن ضعف دينه ضعف بلاؤه
                              
Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling berat ujian nya ialah para nabi, kemudian yang derajatnya seperti mereka, lalu yang dibawahnya,  baru kemudian kebanyakan manusia sesuai kadar agamanya. Barangsiapa yang kokoh agamanya maka beratlah ujiannya, dan barangsiapa yang lemah agamanya maka ringanlah ujiannya”.
Berkenaan dengan hal itu pula, Allah menceritakan ucapan yang dikatakan orang-orang mukmin saat mereka masuk surga pada firman-Nya dengan ungkapan yang mengisyaratkan selama di dunia mereka mengalami kesedihan :
 الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ  ( فاطر : 34)
Artinya : “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita (kesedihan) dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”
Maka menurut penafsiran mereka,  tak adanya rasa takut dan rasa sedih pada golongan muhtadin adalah  kinayah (metonimi) atau sebagai arti dari selamatnya  mereka dari siksa neraka dan bahagianya mereka dengan kenikmatan abadi di surga.

Mufassir lainnya berpendapat bahwa; tidak adanya rasa takut dan sedih  -sesuai dengan dzahir ayat yang mutlak (general) - itu diartikan secara umum. Dalam arti baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, tak adanya rasa takut dan sedih pada hati mereka,  itu sudah barang pasti. Sedang di dunia, tak adanya rasa takut dan sedih pada hati mereka, bukanlah utopia (khayalan belaka) melainkan sesuatu yang nyata. Mengapa? Karena orang yang mengikuti petunjuk Allah, pada hakekatnya ia berada di dalam manhaj (sistem)-Nya. Dan selama dia berada di dalam manhaj itu, dia meyakini seyakin-yakinnya bahwa apapun yang sedang atau akan menimpa, pastilah mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Entah dapat dirasakan seketika, ataukah baru dirasakan setelah berlalunya masa. Keyakinannya didasarkan pada pemikiran bahwa sesungguhnya semua kebaikan terletak  pada manhaj Allah, tidak pada manhaj-manhaj lain. ‘inna kullal-khairi fi manhajil-Lah’. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam perjalan hidupnya sebagai manusia, dia pasti sesekali atau bahkan seringkali bertemu dengan kejadian atau peristiwa yang tidak disukai, yang membuatnya tidak luput dari kesedihan. Tetapi itu tidak berlangsung lama.  Sebab dalam menyikapi kejadian atau peristiwa tersebut, dia tidak hanya melihat dari sisi luarnya saja (yang nampak), melainkan ia berusaha untuk melihat juga sisi dalamnya  (hikmah) di balik yang nampak itu. Sehingga ia tetap menerimanya dengan hati yang rela sebagai taqdir (ketetapan) yang diputuskan untuk dirinya, dengan meyakini adanya hikmah ilahi, terlepas dari apakah hikmah itu telah dapat dimengerti atau belum dapat dimengerti. Analogi-nya semisal orang yang mendatangi Ahli patah tulang untuk terapi sehabis mengalami kecelakaan. Jika sisi luar yang nampak saja yang dilihat, pasti ia akan mengurungkan niatnya, karena yang ia dapati Ahli patah tulang itu akan meremuk-remuk badannya. Akan tetapi yang ia lihat adalah sisi dalam, maka ia tetapkan hati untuk menjalani. Karena ia percaya dan yakin,  terapi yang menyakitkannya itu akan mendatangkan kesembuhan pada dirinya.
Melalui penglihatan pada sisi dalam inilah, maka hati orang yang mengikuti petunjuk Allah  menjadi tenteram, tidak ada kesedihan dan duka cita yang mendalam. Itulah maksud dari ‘la khaufun ‘alaihim wa lahum yahzanun’. Gambaran tentang hal ini dilukiskan dalam pidato pelepasan jenazah yang dilakukan  Rasulullah saw, ketika Sayyid Ibrahim putranya wafat yang mensiratkan  sebuah pengajaran luhur bagi umatnya :
    اِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَنَقُوْلُ اِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَاِنَّا بِفِرَاقِكَ يَااِبْرَاهِيْمُ لَمَحْزُوْنُوْنَ
Artinya : “Sungguh mata ini menangis, hati ini sedih, tapi kami tak akan berkata kecuali yang Tuhan kami rela, walau dengan kepergianmu hai Ibrahim sesunguhnya kami sebagai manusia tetap saja  berduka cita”.
Gambaran serupa dipraktekkan pula oleh para sufi yang telah istiqamah dalam manhaj Allah. Mereka tetap memuji kepada-Nya atas semua taqdir yang di diputuskan untuknya, apapun bentuknya, sebagai implementasi dari kerelaan akan hukum-Nya dan keyakinan akan hikmah-Nya. ‘inna kullal-khairi fi manhajil-Lah’ Salah satu diantaranya diceritakan dalam sebuah kisah. Syahdan ada seorang sufi yang berprofesi menjadi petani.  Dia memiliki anak lelaki dewasa dan seekor kuda. Pada suatu hari ia mendapati kudanya menghilang ke hutan. Sesaat ia sedih karena kuda yang dimiliki untuk membantu mengurus kebutuhan sehari-hari, hanya kuda itu satu-satunya. Terlebih tetangganya tak berempati malah sebaliknya mengolok-olok dan mencemoohnya. Tetapi kesedihan itu tak berlangsung lama. Batinnya berujar. Mengapa aku harus bersedih ? Aku harus tetap gembira dan menerima kenyataan dengan hati yang rela. Aku yakin betapapun buruknya, peristiwa ini adalah bagian dari taqdir yang telah ditetapkan Tuhan yang pastinya akan mendatangkan kebaikan. Benar !  selang beberapa minggu kemudian, kuda yang hilang itu kembali malah dengan membawa serta teman beberapa ekor kuda liar dari hutan.

Selang beberapa hari si Sufi menyuruh anak lelakinya untuk menjinakkan kuda liarnya, agar dapat dijadikan kuda tunggangan. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Karena masih sangat liar, kuda itu tak dapat dikendalikan malah justru anak lelakinya mengalami musibah jatuh dan terinjak, hingga mengharuskannya istirahat total. Si Sufi tabah menghadapi, meski tetangganya kembali mencaci. Dia tetap optimis akan muncul kebaikan di kemudian hari. Toh dia telah melakukan tugas sebagai hamba dan selaku orang tua sesuai dengan manhaj Allah. Optimisme si Sufi terbukti. Suatu hari datang serombongan militer ke desanya  bermaksud merekrut pemuda-pemuda untuk mengikuti wajib militer, berkenaan negara sedang menghadapi peperangan. Semua orang tua dengan berat hati menyerahkan anaknya, tanpa kepastian apakah anaknya akan selamat kembali pulang, atau mati di medan perang. Kecuali anak si Sufi, mereka meninggalkannya, karena didapatinya sedang terluka. Sehingga  dia luput dari perekrutan wajib militer. Memang benar, semua kebaikan benar-benar berada pada manhaj Allah yang Maha Benar !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar