Kamis, 24 Desember 2009

LELAKI BERISTRI MENGAKU SINGLE (BELUM BERISTRI)

S: Ketika Si Á’ (baca: Lelaki beristri), ditanya oleh seseorang; Apakah kamu punya Istri? Kemudian Si Á’ menjawab : “Tidak, saya Single”, maka bagiamanakah status pernikahannya (apakah status istrinya menjadi tertalak/tidak)?
J: Jika dengan kata-kata tersebut si Ä” niat mencerai istrinya, maka istrinya menjadi tertalak, karena ungkapan itu mengandung talak, tapi jika tidak niat mentalak, maka istrinya tidak tertalak, karena ungkapan tersebut bukan ungkapan yang jelas/tegas dalam talak. (GM)

وان قال له رجل الك زوجة ؟ فقال لا, فان لم ينو له الطلاق لم تطلق لانه ليس بصريح, وان نوى به الطلاق وقع لانه يحتمل الطلاق . اه. المهذّب ٦ / ٨٦ ,طه فوترا سمارانج.

DUNIA HANYA WASILAH BUKAN GHAYAH

Tafsir al-Baqarah ayat 36 Part.3

..........وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ اِلَى حِيْنٍ [ البقرة : 36 ]
“..………..dan bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” ( al-Baqarah : 36)
Ujung ayat ke 36 surah al-Baqarah ini merupakan gambaran tentang kehidupan manusia di dunia. Gambaran kehidupan dunia ini dikemukakan Allah swt dengan maksud memberikan tahdzir (peringatan atau wanti-wanti) kepada Adam-Hawa dan anak cucunya (manusia) agar tidak tergiur dan terpesona oleh kesenangan dunia yang akan berakibat pada kelalaian terhadap hadaf (target) hidupnya untuk menggapai mardlatillah dalam menjalankan peran kekhalifahan.
Sungguhpun indah dan gemerlapnya, hingga manusia berlomba untuk meraih dan mendapatkannya, rela mengerahkan semua daya yang dimilikinya, bahkan kadang dengan menghalalkan segala cara, dan tak peduli meski beresiko melahirkan ‘adawah (permusuhan) antar sesama, kehidupan dunia hakikatnya hanyalah sementara, keindahan dan kesenangannya hanyalah setetes air di tengah samudra. Hal ini tergambar dengan jalas lewat dua kata yang terdapat pada ayat diatas.
Pertama kata ‘mustaqar’. Kata mustaqar dalam terjemah diartikan ‘kediaman sementara’. Kata ini merupakan kata benda yang menunjuk kata tempat (isim makan) yang asal artinya adalah ‘tempat menetap’ (maudli’u qaraar) saja. Tetapi kata ‘qaraar’ mengandung isyarat adanya klimaxs atau batas akhir (lahu ghaayah wa nihayaah). Karenanya mustaqar diterjemahkan tempat menetap atau tempat kediaman sementara. Kata pertama ini menggambarkan bahwa kehidupan dunia bukanlah kehidupan abadi. Dunia hanya tempat menetap dalam waktu sementara. Senada dengan kandungan makna kata itu, Rasulullah saw – secara implisit – memberikan perumpamaan kehidupan dunia dengan pengembaraan atau persinggahan seorang musafir dalam sabdanya :
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَ نَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْل
“Jadilah dirimu di dunia seperti seorang pengembara atau seorang musafir yang singgah dijalan”
Kedua kata ‘mata’. Dalam terjemah diatas kata mata’ diartikan ‘kesenangan hidup’. Sebenarnya arti mata’ adalah ‘maa yuntafa’u intifa’an ghaira daaim’ ( kesenangan yang pemanfaatannya dalam waktu terbatas, terputus tidak terus menerus). Dan dari arti itu kata mata’ mengisyaratkan adanya kesenangan lain selain kesenangan yang dimaksud yang lebih baik secara kwalitatif maupun kwantitatif. Dalam konteks ini kesenangan lain itu adalah kesenangan di akhirat. Oleh karenanya dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa akhirat lebih baik ‘wal akhiratu khairun wa abqa’. Selain itu, kata mata’ dalam ayat tersebut menggunakan bentuk indefinitif (isim nakirah) yang berfaidah me-minim-kan (littaqlil) sehingga mengisyaratkan bahwa kesenangan dunia itu hanyalah sedikit bahkan amat sangat sedikit. Tentang ini Rasulullah saw memberi perumpamaan sebagai berikut :
وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الاَخِرَةِ اِلاَّ كَمَا يَغْمِسُ اَحَدُكُمْ اِصْبِعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ اِلَيْهِ
“Demi Allah, Tidaklah kesenangan dunia dibandingkan kesenangan akhirat terkecuali seumpama seseorang yang mencelupkan satu jarinya kedalam lautan. Maka lihatlah seberapa air yang terangkat jari itu”
Tahdzir bahwa kehidupan dunia hanya sementara, kesenangan dunia sedikit, terbatas, terputus tidak terus menerus dipertegas dengan pernyataan bahwa menjalani kehidupannya dan menikmati kesenangannya itu hanya sampai pada waktu yang ditentukan ‘ila hiin’ yakni kematian. Digunakannya kata ‘hiin’ dalam bentuk indefinitif (nakirah) dan tidak adanya spesifikasi (tahdid) sampai kapan waktu yang ditentukan itu, mengandung arti ‘ikhtilafi miqdarihi bikhtilafil ajnas wal afraad’ ( variasi atau keragamaan batas dan ukuran waktu kematian sebab keragaman jenis dan individu manusia itu sendiri. Hal ini mengisyaratkan bahwa waktu kematian adalah misteri tidak bisa dan tidak akan pernah bisa diprediksi kapan terjadi.
Tahdzir Allah swt diatas hendaknya menjadikan kita inshaf (sadar diri) bahwa kita sesungguhnya sedang melakukan perjalanan menuju kehidupan yang abadi, kehidupan yang sesungguhnya yakni kehidupan ukhrawi. Di dunia ini kita hanya singgah untuk sementara sampai pada limit waktu yang mengakhiri, yang boleh jadi datang secara tiba-tiba karena kedatangannya misteri. Kehidupan dunia bukanlah ghayah (tujuan) melainkan hanyalah wasilah (sarana). Dan sebagaimana lazimnya sebuah perjalanan, suksesi perjalanan menuju kehidupan ukhrawi ini ditentukan oleh empat faktor. Pertama, ittikhadzzul hadaf (menetapkan target). Target perjalanan kita tentunya adalah menggapai mardlatillah (keridlaan Allah) seperti yang tertulis dalam firman : ‘ wa minannasi man yasyri nafsahu ibtighaa mardlatillah’, dan sebagaimana yang sering kita nyatakan ketika memulai melakukan perbuatan baik yaitu ungkapan thalaban li ridlailla’, lillah, dan semisalnya. Mardlatillah Kedua, ittikhadzuz zaad (mempersiapkan bekal). Bekal yang dipersiapkan untuk dibawa bukan harta, tahta, kedudukan dimata manusia, bukan pula wanita yang kita puja melainkan taqwa. Fatazawwaduu fainna khairazzadit taqwa. Taqwa mudah diucap sulit diperbuat (enteng kecape abot sanggane). Gambaran taqwa dapat kita fahami dari dialog Umar bin Khattab ra dengan Ubay bin Ka’ab ra. Umar bin Khattab ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab ra : “ Tahukah kamu apa itu taqwa ? “ Ubay bin Ka’ab ra balik bertanya : “ Pernahkah kamu berjalan di suatu jalan yang penuh duri ? Lalu apa yang akan kamu lakukan ? “ Umar menjawab : “ Saya akan berhati-hati. Saya teliti dengan seksama dan saya lihat tempat berpijak. Saya majukan satu kaki dan saya mundurkan kaki lainnya khawatir terkena duri “. Ubay berkata : “ Itulah taqwa “. Ketiga, attamassuk bil huda ( berpedoman pada petunjuk ). Musafir yang melakukan perjalanan dia akan berpedoman pada kompas, peta apabila ia mampu menggunakannya atau tanda alam manakala ia mampu membacanya. Bagi musafir yang tidak mampu menggunakan media petunjuk perjalanan tentu dia harus sering-sering bertanya. Perjalanan ukhrawi pedomannya adalah al-quran- al-hadis. Tentu bagi kita yang mampu membaca dan menelaahnya. Taraktu fiikum amraini. ‘Ma in tamasssaktum bihima lan tadlillu abada kitaballahi wa sunnata rasulihi’. Dan bagi kita yang tidak mengerti tentu saja dengan bertanya. ‘Fasaluu ahladzikri in kuntum la ta’lamun’. Keempat ittikhadzil qariin (memiliki teman perjalanan). Teman sangat diperlukan agar kita bisa saling menjaga dan mengingatkan. Tentu teman yang bisa berperan menjaga dan mengingatkan adalah teman yang baik, teman yang shalih. ‘Ya ayyuhalladziina aamanut taqullah wa kunu ma’as shadiqiin’. Inilah keempat faktor yang mutlak harus ada. Pertanyaannya adalah sudahkah keempat faktor itu kita lakukan ? La quwwata illa billah.

ABORSI

Janin adalah makhluk yang telah memilki kehidupan yang harus dihormati (Hayah Muhtaramah), menggugurkannya berarti menghentikan (menghilangkan) kehidupan yang telah ada. Dan ini hukumnya haram berdasarkan sejumlah dalil, antara lain :
Firman Allah SWT :
وَلَا تََقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتىِ حَرَّمَ اللهُ إِلاَّبِا لْحَقِّ (الإسراء ۳۳)
Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang hak (benar). (Al-Isra’33)
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dinamakan dengan ‘Allati harromallahu’ ialah jiwa manusia yang berpredikat atau menyandang gelar islam. Hal ini terinspirasi dari hadits
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا اَنْ لَاإِلهَ إِلَّااللهُ إلخ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan kalimat Tauhid (la ilaha illallahu)...”
Namun sebagian ulama yang lain mengomentari ayat di atas bahwa jiwa yang dimulyakan oleh Allah adalah jiwa yang memiliki Ubudiyah, yakni sebuah hubungan kontak dengan Allah di mana sang hamba/penyembah meyakini akan ketuhanan Allah dan mengakui kehambaannya. Wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.
Perlu diketahui bahwa dalam Ubudiyah itu sendiri terdapat batasan-batasan yang berkenaan dengan bentuk fisik atau jasmani manusia yang melakukannya. Batasan itu diataranya adalah Mukallaf atau Taklif yaitu seorang manusia yang Aqil (berakal, tidak gila) dan Balig (mencapai batas umur atau gejala fisik tertentu yang telah ditetapkan oleh kaidah fiqh).
Dan untuk aqil dan balig tentunya manusia itu sudah berwujud sempurna atau kamalul jasad, lantas kamalul jasad pun terjadi setelah adanya nafkhir ruh yaitu peniupan ruh yang terjadi pada saat manusia berumur 120 hari dalam kandungan sang ibu. Jadi kronologinya adalah sempurnanya jasad adalah satu bentuk untuk bisa diberi ruh agar dipersiapkan untuk menerima taklif, dan taklif itu sendiri adalah criteria untuk ubudiyah sedangkan Ubudiyah adalah hubungan meditasi kontak dengan Allah, maka pada saat itulah manusia memiliki kemuliaan.
Sehingga menurut perspektif ini kemuliaan manusia adalah ubudiyah di mana ubudiyah merupakan hubungan vertikal dengan Allah. Oleh karenanya apabila belum nafkhir ruh, sehingga taklif pun belum tercapai dan Ubudiyah itu belum terlaksana maka daging tersebut seolah-olah seperti daging biasa, tak bernilai dan tak berharga sehingga boleh untuk digugurkan. inilah bentuk point of view atau sudut pandang dari segi Fiqih.
Namun untuk kalangan ahli tasawuf yang sangat mengindahkan aspek ubudiyah, maka mereka dalam pengerahan capable ijtihad lebih bernuansa ihtiyath atau berhati-hati. Dengan gambaran bahwa agar terjaganya kelangsungan ubudiyah manusia dengan Allah, maka pengguguran dan penghalangan hal-hal yang berkaitan dengan ke-eksisan hidup manusia baik yang berpostur tubuh besar atau kecil, baik sebelum nafkhir ruh (120 hari) atau setelahnya bahkan sekalipun masih dalam bentuk embrio (bentuk awal manusia), aborsi adalah haram secara mutlak.
Hanya saja dalam dunia perhelatan pendapat, tentu saja akan banyak pandangan dan tinjauan serta porspek yang berlainan satu sama lain. Dalam Aborsi yang sebelum Nafkhir ruh juga terdapat perbedaan kacamata yang digunakan oleh masing-masing ahli mujtahid. Berikut deskripsinya:
Pendapat Fuqaha’ tentang hukum aborsi sebelum Nafkhir Ruh atau ditiupnya ruh adalah sebagai berikut:
Pertama, Boleh (mubah) secara mutlak (tanpa harus ada alasan medis), menurut Ulama Zaidiyah, sekelompok Ulama Hanafi, sebagian Ulama Syafi’I, serta sejumlah Ulama Maliki dan Hanbali.
Kedua, Mubah karena ada alasan medis (uzur) yang dikhawatirkan akan membayakan keselamatan sang ibu atau cacatnya janin yang parah dan makruh jika tanpa uzur menurut Ulama Hanafi, dan sekelompok ulama Syafi’I. Kaidah Fiqhiyah الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan).
Ketiga, Makruh secara mutlak menurut sebagian Ulama Maliki.
Keempat, Haram menurut pendapat Mu’tamad Ulama Maliki.
Menurut Imam Al-Ghazali dari kalangan Madzhab Syafi’I, jika Nuthfah (sperma) telah bercampur (ikhtilath) dengan ovum dan siap menerima kehidupanإِسْتِعْدَاُد لِقُبوْلِ الْحَيَاةْ Maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah) ini berarti haram melakukannya. Dan jika dipandang dari hadits Tana kahu Tana saluu ‘menikahlah kalian agar berketurunan’ di mana berketurunan itu bermaksud untuk menghidupkan umat islam agar beribadah kepada Allah yang Nabi Muhammad SAW sendiri sangat membanggakannya, maka menggugurkannya pun haram dilakukan.
Dan setelah melihat semua pendapat, lantas dipilhlah suatu hukum yang paling memiliki akurasi yang tepat dengan maqashidus syariah agar manusia jangan sewenang-wenang dan menghindari sekaligus menutup akses-akses yang berbau criminal maka hukum aborsi adalah haram secara mutlak baik sebelum atau sesudah nafkhir ruh. Dan soslusi ini telah termaktub dalam kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindarkan kerusakan (hal-hal negative) diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan
Dan bagi semua pelaku aborsi, bertaubatlah kepada Allah Sang Pencipta kehidupan atas perbuatan nista ini dan janganlah berburuk sangka terlebih dahulu dengan terlahirnya bayi akan hidup melarat karena takut ketidakjelasan nasib, janganlah berputus asa dari limpahan dan anugerah Allah yang sangat luas. Dia-lah Sang Pemberi rezki bukan pencaci, Dia-lah Maha Penyayang bukan suka menelantarkan. Wallahu A’lam

QURBAN DIGANTI UANG

P ; Dengan pertimbangan efektifitas dan kemasalahatan, bolehkah qurban itu diganti dengan menggunakan uang ?
J : dengan alasan apapun, qurban tidak boleh diganti dengan apapun termasuk uang, sebab keawjiban qurban itu terkait dengan mengalirkan darah hewan qurbantersebut.
هل يقوم غير الأضحية من الصدقات مقامها ؟ لايقوم غير الأضحية من الصدقات مقامها حتى لو تصدق إمسان بشاة حية أو بقيمتها فى أيام النحر لم يكن ذلك مغنيا له عن الأضحية لاسيما إذا كانت واجبة إذا تعلق بفعل معين لايقوم غيره مقامه الموسوعة الفقهية ٥/ ۱٠٧

PERMUSUHAN EKSTERNAL DAN PERMUSUHAN INTERNAL Tafsir al-Baqarah : 36 Part.2

فَاَزَلَّهُمَاالْشَّيْطَانُ عَنْهَافَاَخْرَجَهُمَامِمَّاكَانَافِيْهِ وَقُلْنَااهْبِطُوْابَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِى الْارْضِ مَسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِيْنٍ (۳٦)

Artinya: " Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."

Ayat diatas selain menyatakan intruksi Allah swt kepada Adam dan Hawa supaya turun dari surga akibat pelanggaran yang dilakukannya yang ditunjuk kata 'ihbithu', juga memberi penegasan adanya 'adawah (permusuhan) pada manusia yang ditunjuk kata 'ba'dlukum liba'dlin 'aduw' . Ada dua penafsiran terhadap permusuhan yang dimaksud ayat tersebut yaitu :

Pertama permusuhan eksternal; permusuhan antara syetan dan manusia.
Permusuhan ini berawal dari sikap takabbur Iblis (merasa dirinya memiliki kedudukan lebih tinggi karena tercipta dari api) yang menolak perintah untuk bersujud kepada Adam, hingga berakibat dirinya terusir dari surga dan mendapat laknat (kutukan) Allah swt. Terusirnya Iblis dari surga dan kutukan Allah yang disandangnya, membuat Iblis menyimpan benih permusuhan kepada Adam, sehingga dia berupaya sekuat tenaga memperdaya Adam dan akibat hirshu (ketamakan) dan syahwat (keinginan diri yang berlebihan) dengan berharap mendapatkan keabadiaan, akhirnya Adam-pun melaui tipu dayanya dapat keluar pula dari surga.
Permusuhan ini terus berlanjut sampai kepada anak cucu Adam sesuai dengan misi yang disampaikannya langsung dihadapan Allah swt 'fabima aghwaitani la-aq'udanna lahum shirathakal mustaqim' (karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus). Dan untuk mensukseskan misinya itu, syetan melakukan berbagai strategi tipu daya. Diantaranya adalah :
Tazyin; menghias dan membungkus kemaksiatan dengan keindahan. Dengan strategi ini, segala yang berbau maksiat akan terlihat indah. (Contohnya pacaran akan terasa lebih mesra dibanding hubungan yang terjalin secara sah).Tamanni; memperdaya dengan khayalan dan angan-angan. Tamanni ini membuat manusia selalu berencana akan melakukan kebaikan, tetapi selalu tidak terlaksana. (Misalnya akan bertahajjud tapi tidur terus).Takhwif; menakut-nakuti timbulnya kerugian. Strategi takhwif menjadikan manusia dihinggapi rasa takut untuk melakukan kebaikan. (Umpamanya jika selalu berinfaq akan menimbulkan kemiskinan).Shaddun; menghalang-halangi manusia menjalankan perintah Allah dengan menggunakan berbagai hambatan. (Seperti mata terasa ngantuk ketika membaca al-quran padahal sudah cukup lama tidur). Dan lain sebagainya.
Ayat 36 dan drama permusuhan tersebut diatas memberi irsyad (petunjuk) kepada kita untuk tidak mengikuti kemauan syetan. Karena syetan adalah musuh abadi manusia sampai akhir zaman. Jangan berbaik-baik padanya, karena selamanya dia tidak akan pernah berbuat baik pada kita. Allah swt mempertegas keberadaan syetan sebagai musuh manusia lewat firman-Nya : 'innas-syaithana lakum 'aduwwun fat-takhiduhu 'aduwa' (sesungguhnya syetan adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh).

Kedua permusuhan internal; permusuhan antara anak cucu Adam.
Penafsiran kedua ini dilandaskan pada teori bahwa; sifat seseorang (positif atau negatif) dapat terwariskan (menjalar) kepada orang lain akibat mulabasah (pergaulan) dan mushahabah (kebersamaan). Perbuatan Adam dan Hawa melanggar larangan Allah muncul dari sifat negatif dalam jiwa mereka, yang pada gilirannya –akibat intensitas kebersamaan dan pergaulan di lingkungan keluarga- sifat negatif itu terwariskan (menjalar) kepada anak cucunya.
Sifat negatif yang mendorong pelanggaran Adam dan Hawa adalah hirshu (ketamakan) untuk memperoleh manfaat bagi diri mereka sendiri yakni kekekalan di surga, dan prasangka buruk mereka kepada Allah yang mengira bahwa larangan Allah swt hanya sebuah rekayasa supaya mereka tidak kekal saja. Ketamakan dan prasangka buruk melintas dalam pikiran Adam dan Hawa, kemudian membekas pada jiwa mereka, dan selanjutnya terwariskan pada anak cucunya. Dan warisan berupa keinginan untuk meraih manfaat pribadi serta prasangka buruk pada pihak lain inilah yang menjadi pemicu dan sumber segala macam permusuhan. Di sini dapat difahami bahwa pelanggaran Adam dan Hawa menimbulkan permusuhan antara anak cucunya. Berkata seorang ulama :
ايثار النفس بالخير وسوء الظن بالغير هو منبع العداوات كلها
Permusuhan internal tersebut pertama kali terealisasi pada keturunan Adam pertama yaitu Qabil dan Habil. Qabil memusuhi sampai tega membunuh Habil saudaranya sendiri akibat itsarunnafsi-nya ingin mengawini saudari kembarnya Iklima meski berlawanan dengan keputusan Allah, dan su'udzon-nya yang menyangka bahwa Adam (bapaknya) memihak kepada Habil.
Drama permusuhan internal itu dewasa ini sangat mudah kita temukan dimana-mana dan telah memasuki seluruh profesi dan lapangan kehidupan ummat manusia. Di tempat kerja, di tempat ibadah, di lingkungan masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga terjadi permusuhan. Politisi, birokrat, petani, pedagang, bahkan tokoh masyarakat sekalipun tidak terhindar memendam rasa permusuhan. Maka berhati-hatilah dengan i'tsarunnafsi dan su'udzon.
Wal'iyadz bil-Lah

KORUPSI

Begitu banyaknya himpitan kesulitan yang dihadapi manusia pada zaman sekarang, sehingga menjadikan pada sebagian orang menjadi buta optimis akan limpahan rahmat Allah. Dia-lah sumber segala sesuatu yang akan memberi solusi bagi hamba-Nya yang sabar dan taqwa (wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhroja) dan memberinya rizki dari arah yang tak disangka-sangka (wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib). Namun ironisnya adalah mereka melakukan hal-hal yang dianggap tidak benar oleh syariat yang mereka yakini sebagai solusi yang tepat untuk mengeluarkan mereka dari segala kesulitan dan penderitaan yang menghimpit dan mengkoyak-koyak kehidupannya. Pencurian, perzinaan, pembunuhan, perjudian, korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang mencerminkan Ammal Balwa yang mereka pilih sebagai solusi terbaik yang diyakininya. Namun pada edisi ini kami hanya akan mengulas pembahasan mengenai korupsi.
Korupsi atau dalam bahasa arabnya adalah risywah merupakan pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan sebuah perbuatan yang batil atau tidak benar menurut syariat atau membatilkan perbuatan yang hak. .(الرِّشْوَةُ مَا يُحَقِّقُ الْبَاطِلَ أَوْ يُبْطِلُ الحَقَّ)
Pemberi disebut Rasyi, penerima disebut Murtasyi, dan penghubung antara Rasyi dan Murtasyi disebut Ra-isy. (Ibnu al-Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits wal Atsar, II h. 226). Dan hukumnya adalah haram
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص م الرَّ اشِيَ وَالْمُرْتَشِي رواه الترمذى عن عبد الله بن عمرو , وقال ابوعيسى هذا حديث حسن صحيح السرتج المنير جز۳ حرف الام : ص ۱٩٥ َ
“Rasulullah SAW melaknat Rasyi dan Murtasyi”
Namun menurut beberapa pandangan ulama bahwa ada beberapa kasus dimana hukum dari pemberi atau Rasyi itu tidak haram. Seperti ketika ada seseorang yang akan menerima suatu bantuan dari sebuah lembaga atau perorangan lantas ada sebuah pihak yang menyatakan dengan jelas, berikut argumennya, bahwa bantuan itu tidak bisa turun kecuali dengan bantuan jasa darinya tentunya dengan adanya sebuah uang pelicin yang harus dibayarkan. Maka sebagian ulama diatas membolehkannya (uang pelicin) karena untuk menghindar daripada haknya (mendapat bantuan) itu tak tercapai atau hilang, toh itu bukan merupakan ma yahaqqiqul bathil.
Dari sudut pandang hukum, tindakan korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• memberi atau menerima hadiah penyuapan ;
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Seperti halnya suap, uang pelicin, money politik dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya meluruskan sesuatu yang batil atau membatilkan sesuatu yang hak.
Adapun hukum memberikan hadiah kepada pejabat adalah jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat itu memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya.
Jika pemberian itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan :
1. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
2. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi haram memberikannya apabila pemberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang bathil (bukan haknya);
3. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang bathil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya. (Himpunan Fatwa MUI, hal : 275)
Malapetaka yang ditimbulkan oleh korupsi
A. Pemerintahan
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good govermance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif dapat mengurangi akuntabilitas atau keadaan untuk bertanggung jawab dan memupuskan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan, korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum, dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi atau pengakuan secara hukum pemerintahan dan membantai nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
B. Ekonomi
Korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat pemutarbalikan fakta dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor kerahasiaan, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi (dengan jalan korupsi) dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur, dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Dan akhirnya setelah melihat akan betapa dahsyatnya dampak kehancuran yang ditimbulkan oleh korupsi maka kami tegaskan bahwa korupsi adalah musuh kita bersama yang perlu untuk dibumihanguskan dari mulai dalam diri kita sendiri, dari hal yang kecil dan dari mulai saat ini.
Beberapa dalil yang berkenaan dengan masalah ini :

وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِا الْبَاطِلِ وَتُدْلوُا بِهَا إِلىَ الْحُكاَّمِ لِتَأكْلُوْا فَرِيْقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِا الْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah :188)

وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (ال عمران :۱٦۱)
“Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta (rampasan perang), maka pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatinya”.
Wallahu a’lam wa ahkam.

Rabu, 09 Desember 2009

STATUS HUKUM SHALAT JUMÁT KETIKA BERTEPATAN DENGAN HARI RAYA

S: Ketika hari jumát bertepatan dengan hari raya, maka bagaimankah hukum melaksanakan shalat jumát ? Benarkah shalat jumát itu menjadi tidak wajib karena pelaksanaan shalat hari raya (Shalat ‘Ied) ?
J: Hal itu tidak semua benar, sebab sebenarnya ulama masih berbeda pendapat mengenai masalah ini. Berikut kronologinya:
a. Syafiíyyah berpendapat bahwa shalat jumát tetap wajib bagi orang-orang yang dekat dengan tempat pelaksanaan shalat jumát (masjid) akan tetapi bagi orang yang tempatnya sangat jauh dari masjid maka tidaklah wajib baginya. (Hanya saja untuk zaman sekarang hampir semuanya wajib, sebab hampir di setiap desa sudah ada masjid).
b. Hanabilah berkomentar bahwa shalat jumát itu tidak wajib secara mutlak (baik tempatnya jauh dari masjid atau dekat).
c. Hanafiyah mengemukakan bahwa hukum shalat jumát tersebut tetap wajib secara mutlak (baik jauh atau dekat tempatnya dengan masjid). (GM)
(مسئلة) فيما إذا وافق يوم الجمعة يوم العيد ففى الجمعة أربعة مذاهب فمذهبنا أنه إذاحضر أهل القرى والبوادى العيد وخرجوا من البلاد قبل الزوال لم تلزمهم الجمعة وأما أهل البلد فتلزمهم ومذهب أحمد لاتلزم أهل البلد ولاأهل القرى فيصلون ظهرا ومذهب عطاء لاتلزم الجمعة ولاالظهر فيصلون العصر ومذهب أبى حنيفة تلزم الكل مطلقا إه من الميزان للشعران. (بغية المسترشدين ٩٠ الحرمين)

PRO - KONTRA ZAKAT PROFESI Part. II

Berdasarkan Dirasah Ilmiah Al-Gadier PP KEMPEK yang dilakukan setiap jum’at sore, pembahasan mengenai Pro-Kontra Zakat Profesi masih menyisakan beberapa pertanyaan yang kami terbitkan pada edisi kali ini. Sebagaimana lazimnya tidak mungkin untuk menyatukan antara timur dengan barat atau utara dengan selatan, begitu pula Deferent Perseption atau Perbedaan Persepsi antara Pro & Kontra Zakat Profesi tidak bisa dipersatukan. Namun untuk tidak memperpanjang perseteruan antara kedua pendapat yang tidak berujung, pada edisi ini kami hanya paparkan mengenai berapakah nishab dan bagaimana cara mengeluarkan zakat profesi menurut pendapat yang mewajibkannya.
A. Nishab Zakat Profesi
Terdapat beberapa perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan nishab zakat profesi;
Pertama : Madzhab Empat berpendapat bahwa tidak ada zakat pada harta kecuali sudah mencapai nishab dan sudah memiliki tenggang waktu satu tahun. Adapun nishabnya adalah senilai 85 gram emas dengan kadar zakat sebesar 2,5 % (Al—Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II : 866, 1989)
Kedua : Pendapat yang dinukil dari Syekh Muhammad Ghazali yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, baik dalam nishab maupun persentase zakat yang wajib dikeluarkan, yaitu 10%.
Ketiga : Pendapat yang menganalogikan zakat profesi ini pada dua hal, yaitu dalam hal nishab pada zakat pertanian, sehingga dikeluarkan pada saat diterima, antara lain diambil dari pendapat sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Masúd dan Muáwiyah. Dan juga dari sebagian imam seperti Imam Zuhri, Hasan Bashri, Makhul, Umar bin Abdul Aziz, Baqir, Shadiq, Nashir, dan Daud Dzahiri dan pada zakat uang dalam hal kadar zakatnya yaitu sebesar 2,5% (Al—Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II : 866).
Keempat : Pendapat Madzhab Imamiyah yang menetapakan zakat profesi sebesar 20% dari hsil pendapatan bersih. Hal ini berdasrkan pemahaman mereka terhadapa firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal (8) : 41. Menurut mereka kata-kata Ghanimtum dalam ayat tersebut bermakna seluruh penghasilan, termasuk gaji, honorarium, dan lainnya.
Bagi yang mempersamakan menetapkan prosentase zakatnya sama dengan zakat perdagangan yakni 2,5% dari hasil yang diterima setelah dikeluarkannya segala biaya kebutuhan hidup yang wajar dan selama sisa tersebut dalam masa setahun, telah mencapai batas minimal yakni 20 dinar atau senilai 85 gram emas murni. Sedangkan yang menganalogikan hasil-hasil dari profesi itu dengan zakat pertanian, dalam arti begitu ia menerima penghasilan senilai 5 wasaq atau 653 kg beras hasil pertanian yang harganya paling murah, maka seketika itu juga ia harus menyisihkan 5 atau 10% (tergantung kadar keletihan yang bersangkutan) dan tidak perlu menunggu batas waktu setahun.
Namun menurut sebagian Ulama berkomentar bahwa pendapat yang mempersamakan zakat profesi dengan zakat pedagangan adalah lebih bijaksana, karena hasil yang diterima biasanya berupa uang sehingga lebih mirip dengan perdagangan atau nilai emas dan perak.
B. Cara Mengeluarkan Zakar Profesi
Dalam buku Fiqih Zakat karya DR Yusuf Qardlawi, bab zakat profesi dan penghasilan, dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan yang terklasifikasi dalam tiga wacana :
1. Pengeluaran brutto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, penghasilan yang mencapai nishab 20 dinar atau sama dengan 85 gram emas atau senilai Rp.17.000.000,00 (dengan harga standar emas Rp. 200.000,00/gr) dalam jumlah setahun, maka dikeluarkan 2,5% langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah dikali 12 bulan = 24 juta berarti telah memenuhi nishabnya (Rp.17.000.000,00). Maka dikeluarkan langsung 2,5% dari 2 juta tiap bulan yaitu sebesar 50 ribu rupiah atau dibayar di akhir tahun sebesar 600 ribu rupiah.
Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan Auza’I, menjelaskan : “Bila seseorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya”(Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannif, 4/30). Dan juga mengqiyaskan dengan beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma’dzan dan rikaz.
2. Dipotong operasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nishab, maka dipotong dahulu dengan biaya operasional kerja. Contohnya, seorang memperoleh gaji 2 juta rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000,00 dikali 12 bulan = Rp.18.000.000,00 yang berarti telah mencapai nishab (Rp.17.000.000,00). Maka zakatnya dikeluarkan 2,5% dari Rp. 1.500.000,00 sebesar Rp.37.500,00 tiap bulan atau Rp. 450.000,00 di akhir tahun.
Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapatnya Imam Atho’. Dan lain dari pada itu zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang pengairan dengan hujan yaitu 10% dan melalui irigasi 5%.
3. Pengeluaran Netto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nishab setelah dikurangi kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nishab, maka wajib zakat. Akan tetapi kalau tidak mencapai nishab ya tidak wajib zakat karena ia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi Mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
Hal ini berdasarkan hadits Riwayat Imam Al-Bukhori dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: “….. dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan…..”(lihat: DR Yusuf Qardlawi, Fiqih Zakat : 486).
Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gram emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5% boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih Afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapat azab Allah SWT baik dunia dan akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu Taábbudy (pengabdian kepada Allah) bukan hanya sekedar hak mustahiq. Tapi ada juga sebagian pendapat Ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya operasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.
Terakhir semoga dengan zakat ini, harta menjadi bersih, berkembang, berkah, bermanfaat dan menyelamatkan pemiliknya dari siksa Allah SWT. Amin Ya Mujibas Saílin.

Orang tua membayarkan zakatnya kepada anaknya

Pertanyaan: bagaimanakah hukumnya orang tua memberi zakat pada anaknya?
Jawab: Tafshil, karena hal itu bergantung pada anak. Sudahkah ia balig atau belum?
• Jika sudah balig dan mampu usaha (baca: tidak lumpuh) maka boleh sekalipun ia seorang faqir. Sebab orang tua tidak wajib menafkahinya.
• Jika belum balig atau sudah balig namun tidak mampu usaha (baca:lumpuh), maka selama tercukupi oleh nafkah orang tuanya siapapun (orang tua atau orang lain) tidak boleh memberi zakat pada anak tersebut.
• عبارة مسئلة ك يجوز دفع زكاته لولده المكلف بشرطه إذلاتلزم نفقته ولاتمامهاعلى الراجح وإن كان فقيرا ذاعيلة وكان ينفق عليه تبرعا بخلاف من يستقل بنفسه كصبي وعاجز عن الكسب بمرض أوزمانة اوعمى لوجوب تفقته على الولد فلا يعطيه المنفق قطعا ولاغيره على الراجح حيث كفته نفقة المنفق. إه
(بغية المسترشدين ص:۱٠٦ دار الفكر )

Manhaj Úbudiyyah.

Tafsir Al-Baqarah ayat 35 Part. 2
وَقُلْنَا يَا أَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَاتَقْرَبَا هِذهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ (البقرة : ۳٥)
Dan kami berfirman : “Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang baik lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”(Al-Baqarah :35).
Jika merujuk pada ayat ke-30 ‘Inni jaa’ilun fil ardl khalifah’ (sesunggahnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi), didapat kesimpulan bahwa Adam as adalah makhluk yang diproyeksi-kan (dirancang) untuk menjadi khalifah Allah SWT di muka bumi. Seorang halifah akan dapat melaksanakan tugas kekhalifahannya dengan baik dan benar, mana kala ia teguh berkomitmen untuk tunduk kepada ketinggian dan superioritas (keunggulan) Sang Pemberi tugas (Allah SWT). Dengan kata lain teguh melaksanakan ‘ubudiyyah (pengabdian).
Di dalam ayat 35 ini, didapat gambaran apa dan bagaimana penetapan manhaj ‘ubudiyyah (prosedur pengabdian) -yang kelak harus dilakukan Adam as manakala ia menjalani tugasnya nanti dalam mengemban kekhalifahan di muka bumi – yang sarat dengan i’tibar (pelajaran berharga).
Pertama; Penetapan manhaj ‘ubudiyyah itu tidak cukup dilakukan Allah SWt dengan hanya menyodorkan mabda’ nadhori (prinsip-prinsip dasar yang bersifat teoritis)nya saja sebagaimana tersmpul dalam ayat ‘Wa’allama aadamal asma-a kullaha‘ , tetapi Allah menganggap penting untuk memberikan kesempatan waktu kepada Adam as untuk melakukan tajribah ‘amaliyyah (eksperimen yang bersifat praksis). Ini tersimpul dalam firman ‘Uskun anta wazaujukal jannah’ (diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini). Jadi Adam berdiam di surga itu sebenarnya dalam rangka melakukan training (pelatihan) untuk meng-aplikasikan mabda’ nadhori dari manhaj ‘ubudiyyah supaya kelak pada saat bertugas menjadi khalifah telah memiliki pengalaman. Karenanya menurut ba’dul mufassirin jannah (surga) yang ditempati Adam as bukanlah jannatul ma’wa (surga tempat pembalasan) melainkan jannah tajribah (surga tempat pelatihan).
I’tibar yang dapat dipetik dari gambaran pertama ini adalah, tugas apapun yang diemban, kesukseannya akan sangat bergantung pada sejauh mana prinsip-prinsip dasar tugasnya difahami dan dikuasai (mabda’ nadhori), serta sejauh mana pengalaman yang dimilki dalam melaksanakan tugas itu (tajribah ‘amaliyah).
Kedua; Manhaj ‘ubudiyah yang ditetapkan memuat prinsip dasar yang dirumuskan dengan if’al wa la taf’al yaitu kewenangan-kewenangan yang boleh dilakukan dan larangan yang harus dihindari. Adalah merupakan rahmat (kasih sayang) Allah, jika if’al (kewenangan) ternyata porsinya jauh lebih banyak dibanding la taf’al (larangan). Kata ‘Uskun’ dan kata ‘Wakula minha’ menggambarkan if’al, sedangkan kata ‘Wa la taqraba’ menggambarkan la taf’al. Ayat tersebut mengungkapkan bahwa Adam as diperbolehkan melakukan apa saja, boleh menikmati apapun di surga. Yang dilarang cuma ‘Syajaratun wahidah min baini ulufil asy-jaar’ (satu pohon dari sekian ribu pohon yang ada).
Tidak Cuma berlaku bagi Adam as, hal yang sama juga berlaku bagi semua anak cucunya (manusia). Karena seluruh risalah langit yang Allah turunkan –min ladun adam ila yaumin hadza- sesungguhnya berkisar pada dua prinsip dasar diatas yakni if’al wa la taf’al. Dan pada kenyataannya apa yang diperbolehkan Allah demikian banyak. Sebaliknya apa yang dilarang Allah hanya sedikitbbahkan amat sedikit (aqallu qalil).
Ketiga, Ketika menyatakan larangan, Allah menggunakan redaksi ‘Wa la taqraba hadzihis syajarah’ (janganlah kamu dekati (tempat) pohon ini), meski sebenarnya yang dilarang adalah makan. Hal ini juga wujud rahmat dari Allah, agar Adam as mengambil sikap menjauh sehingga tidak terjerumus dalam larangan. Seandainya –semisalnya- redaksi yang digunakan ‘wa la ta’ kula minha’ (janganlah kalian makan buah pohon ini), maka dalam pikiran Adam: “Yang dilarangkan makan, maka saya boleh mendekat”. Dan jika Adam sudah mendekat, akan timbul rasa penasaran setelah melihat keindahan pohon yang dilarang, terlebih tercium aromanya, terbayang kelezatan rasanya, maka tergerak hatinya untuk menikmatinya. Karena itulah dalam konteks larangan, redaksi yang sering digunakan adalah redaksi yang sama atau redaksi yang konotasinya serupa (contohnya larangan zina, redaksi yang digunakan ‘wala taqrabuz zina’).
Maka terhadap larangan-larangan Allah, sikap yang bijak adalah jangan mendekat supaya tidak terjerembab. Sebagaimana Rasulullah peringatkan : ”Wa man ra’a haulal hima yushiku an yaqa’a fih” (Barang siapa yang mendekati di sekitar larangan, maka ia akan terjerumus kedalam larangan itu).
Keempat; Meski begitu banyaknya yang diperbolehkan, karena potensi syahwat yang dimilikinya dan godaan syaitan yang bertubi-tubi, ternyata Adam as lalai dan tergelincir juga melanggar larangan yang satu itu. Beruntung Adam as segera menyadari dan menyesali diri dengan memohon ampunan, sehingga Adam as dapat kembali lagi ke pangkuan maghfirah dan rahmah Allah SWT. Pelajaran yang dapat dipetik dari gambaran ini adalah kita mesti ektra hati-hati dalam mengelola potensi syahwat dan waspada pada godaan syaitan. Jikapun kita melakukan larangan, bersegeralah melakukan pertaubatan. Wallahu a’lam

PRO – KONTRA ZAKAT PROFESI

Zakat penghasilan atau zakat profesi (Al-Mal Al-Mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau setiap keahlian professional tertentu, baik yang dilakukan sendirian atau bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nishab (batas minimum harta untuk wajib zakat). Contohnya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman dan sejenisnya.
Istilah zakat profesi belum dikenal di zaman Rasulullah SAW bahkan hingga masa berikutnya selama ratusan tahun. Bahkan kitab-kitab fiqih yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan pembahasan bab zakat profesi di dalamnya.
Harus diingat bahwa pada zaman Rasulullah SAW telah ada beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi penghasilan. Di zaman itu penghasilan yang cukup besar dan dapat membuat seseorang menjadi kaya berbeda dengan zaman sekarang. Diantaranya adalah berdagang, bertani dan berternak.
Sebaliknya, di zaman sekarang ini berdagang tidak otomatis membuat pelakunya menjadi kaya, begitu juga bertani dan berternak. Bahkan umumnya petani dan peternak di Negeri kita termasuk kelompok orang miskin yang hidupnya serba kekurangan. Sebaliknya profesi-profesi tertentu yang dahulu sudah ada tapi dari segi pendapatan tidaklah merupakan kerja yang mendatangkan materi besar. Akan tetapi kini menjadi profesi yang membuat mereka kaya dengan harta berlimpah dalam waktu yang singkat. Seperti dokter spesialis, arsitek, computer programmer, pengacara dan sebagainya.penghasilan mereka jauh melebihi pedagang, petani dan peternak dengan berpuluh bahkan ratusan kali lipat.
Perubahan social inilah yang mendasari ijtihad para ulama saat ini dalam menetapkan zakat profesi. Intinya adalah azaz keadilan. Namun dengan tidak keluar dari main frame zakat itu sendiri yang filosofinya adalah menyishkan harta orang kaya untuk orang miskin. Maka diperlukan cara pndang baru untuk menentukan siapakah orang kaya dan siapakah orang miskin di zaman ini?. Di zaman dahulu, orang kaya identik dengan pedagang dan peternak. Tapi di zaman sekarang ini orang kaya adalah para professional yang bergaji besar. Kalau kita rasakan memang terjadi perubahan social namun prinsip zakat tidak berubah. Yang berubah adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya menyisihkan hartanya untuk orang miskin. Dan itulah intisari zakat.
Dengan demikian, zakat profesi merupakan ijtihad para ulama dimasa kin yang nampaknya berangkat dari ijtihad yang cukup memiliki alasan dan dasar yang juga cukup kuat. Akan tetapi tidak semua ulama sepakat dengan hal tersebut.
Bagaiman seungguhnya hukum zakat profesi ? Wajibkah penghasilan setiap profesi dikeluarkan zakatnya? Adakah dalil Al-Qurán dan Sunnah yang menjadi dasarnya? Berapakah nishab dan prosentasenya ? dan Bagaiman cara pembayarannya?
Menanggapi persoalan zakat profesi ini, pendapat ulama terbagi menjadi dua :
Pendapat dan Dalil Penentang Zakat Profesi
Mereka mendasarkan pandangan bahwa masalah zakat sepenuhnya adlah masalah “ubudiyah”. Sehingga segala macam bentuk aturan dan ketentuannya hanya boleh dilakukan kalau ada petunjuk yang jelas dan tegas atau contoh langsung dari Rasulullah SAW. Bila tidak ada maka tidak perlu membuat-buat peraturan baru.
Di zaman Rasulullah SAW dan Salafus Salih sudah ada profesi-profesi tertentu yang mendapatkan nafkah dalam bentuk gaji atau honor. Namun tidak ada keterangan sama sekali tentang adanya ketentuan zakat gaji atau profesi. Bagaimana mungkin sekarang ini dibuat-buat zakat profesi.
Rasulullah SAW bersabda :”barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami lakukan (perintahkan) maka ia tertolak”(HR.Muslim).
Diantara mereka yang berpandangan seperti ini adalah Fuqaha kalangan Zhahiri seperti Ibnu Hazm dan lainnya dan juga jumhur Ulama, kecuali madzhab Hanafiyah yang memberikan kelleluasaan dalam kriteria harta yang wajib dizakati.
Umumnya para Ulama Hijaz seperti Syaikh Muhammad bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan lainnya tidak menyetujui zakat profesi. Bahkan Syaikh DR Wahbah Az-Auhaily pun menolak keberadaan zakat profesi, sebab zakat itu tidak pernah dibahas oleh ulama salaf sebelum ini. Umumnya kitab fiqih klasik memang tidak mencantumkan adanya zakat profesi.
Pendapat dan Dalil Pendukung Zakat Profesi
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Abdurahman Hasan, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahab Khalaf, dan Syaikh Yusuf Qardlawi. Mereka berpendapat bahwa semua penghasilan melalui kegiatan profesi dokter, konsultan, akunting, seniman, notaries, dan sebagainya, apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikenakan zakatnya. Para peserta Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait pada 29 Rajab 1404 H atau 30 April 1984 M juga sepakat tentang wajibnya zakat profesi bila mencapai nishab meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.
Pertama, Ayat-ayat Al-Qurán yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya. Seperti dalam QS. At-Taubat (9) :103, QS.Adz-Dzariyat (51) : 19, dan Al-Baqarah (2) : 267 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah/nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari sebagian apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.
Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa segala hasil usaha yang baik-baik wajib dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini juga termasuk penghasilan (gaji) dari profesi dokter, konsultan, seniman, akunting, notaris dan sebagainya. Imam Ar-Razi berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan “hasil usaha” tersebut meliputi semua harta dalam konsep menyeluruh, yang dihasilkan oleh aktivitas dan kegiatan manusia. Oleh karenanya nash ini mencakup semua harta baik yang terdapat pada zaman Rasulullah SAW baik yang diketahui secara langsung maupun yang diqiyaskan kepadanya. Muhammad bin Sirin dan Qathadah sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Jami’Li Ahkamil Qurán menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata “amwaal”(harta) pada Q.S Adz-Dzariyat(51) : 19, adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat maka harus dikeluarkan zakatnya. (Tafsir Al-Jami’Li Ahkamil Qurán Juz1:hal.310-311).
Sabda Rasulullah SAW “Menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang muslim berzakat (bersedekah)”. Mereka bertanya,”Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak memiliki harta ?. Rasulullah menjawab”Bekerjalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah”, mereka bertanya”Kalau tidak mempunyai pekerjaan?”. Rasul Bersabda: ”Tolonglah orang yang meminta pertolongan”. Mereka bertanya lagi”Bagaimana bila tidak kuasa?” Rasulullah bersabda”Kerjakanlah kebaikan dan tinggalkanlah kejahatan, hal itu merupakan sedekah”.
Kedua, berbagai pendapat para Ulama terdahulu dan sekarang, meskipun menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan menggunakan istilah yang bersifat umum yaitu Äl-Amwaäl”, sementara sebagian lagi secara khusus mengungkapkan dengan istilah”Al-Amwaal Al-Mustafad”seperti dalam fiqih zakat dan fiqih Al-Islamy Wa Adillatuhu.
Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap kewajiban zakat profesi dibayar langsung tak menunggu satu tauhun, terdapat dalm kitab-kitab seperti Al-Muhalla Ibnu Hazm Jilid VI : 83 dan seterusnya, Al-Mughny oleh Ibnu Qudamah Jilid II : 6, Nail Authar Jilid VI : 148, Rudz An-Nadzir Jilid: II : 41, dan Subul As-Salaam Jilid II :129.
Ketiga, dari sudut keadilan yang mrupakan cirri utama ajaran islam. Petani yang sat ini kondisinya secara umum kurang beruntung tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nishab. Karena itu sangat adil pula apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, konsultan, seniman, akunting, notaries dan profesi lainnya.
Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu kewaktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama seperti terjadi Negara-Negara Industri sekarang ini. Penetapan kewajiban zakat padanya menunjukkan bepata hukum islam sangat aspiratif dan responsive terhadap perkembangan. Afif Abdul Fatah Thabari menyatakan bahwa aturan dalam islam itu bukan saja sekedar berdasarkan pada keadilan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu-kewaktu (Ruuh Ad-Dien Al-Islamy, hal: 300).
Bila dikaitkan bahwa zakat berkaitan dengan masalah Ubudiyah, memang benar. Tetapi ada wilayah yang tidak berubah secara prinsip dan ada wilayah operasional yang harus selalu menyesuaikan diri dengan zaman. Prinsip yang tidak berubah adalah kewajiban orang kaya menyisihkan harta untuk orang miskin. Dan adanya mustahik zakat, ketentuan nishab dan Auld an seterusnya adalah aturan “baku”yang didukung oleh nash yang kuat.
Tapi menentukan siapakah orang kaya dan dari kelompok mana saja, harus melihat realitas masyarakat. Dan ketika ijtihad zakat profesi digariskan para ulama pun tidak semata-mata mengarang dan membuat-buat aturan sendiri. Merekapun menggunakan metodologi fiqih yang “Baku” dengan beragam qiyas atas zakat yang sudah ditentukan sebelumnya.
Adanya perkembangan ijtihad justru harus disyukuri karena dengan demikian agama ini tidak menjadi stagnan dan mati. Apalagi metodologi ijtihad itu sudah ada sejak masa Rasulullah SAW dan telah menunjukkan berbagai prestasi dalam dunia islam selama ini. Dan yang paling penting, metode ijtihad itu terjamin dari hawa nafsu atau bidáh yang mengada-ada. Para ulama kemudian merumuskan sebuah pos baru yang pada dasarnya tidak melanggar ketentuan Allah SWT atas kewajiban bayar zakat bagi orang kaya. Hanya saja sekarang ini perlu dirumuskan secara cermat, siapakah orang yang dibilang kaya itu. Dan para professional itu tentu berada dalam urutan terdepan dalam hal kekayaan dibandingkan dengan orang kaya secara tridisional yang dikenal dizaman dahulu. Untuk itu agar mereka juga wajib mengeluarkan zakat, maka pos zakat mereka disebut dengan zakat profesi.

Dosa Iblis L.A. vs Dosa Adam A.S.

واذ قلنا للملائكة اسجدوا لادم فسجدوا الا ابليس ابى واستكبر وكان من الكافرين ( 34)

Barangsiapa yang motifasi dan solusinya
dalam melakukan pelanggaran seperti adam
"Dan renungkanlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka. Tetapi iblis enggan dan angkuh dan adalah ia termasuk golongan kafir".

Ayat ke 24 surah al-Baqarah ini selain menegaskan perbedaan dalam menyikapi perintah Allah antara Iblis dan Malaikat (Tafsir al-baqarah ;34 Part.1), juga menggambarkan perbedaan pelanggaran terhadap perintah Allah antara Iblis dan Adam.
Jika melihat konteks pelanggarannya, pada dasarnya Iblis dan Adam sama-sama melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah. Iblis melanggar dengan tidak mau bersujud kepada Adam, sedang Adam melanggar dengan mendekati pohon terlarang. Namun jika ditelaah lebih dalam, motivasi (dorongan) yang melatar belakangi dan solusi (upaya penyelesaian) yang dilakukan oleh keduanya, sangatlah berbeda. Karena itu sangsi yang diterimanya pun berbeda. Iblis secara hina diusir dari surga 'qala fakhruj minha' (Allah berfirman: Keluarlah dari surga) dan mendapat kutukan selama-lamanya (laknat) 'fainnaka rajiim wa inna 'alaikal la'nata ila yaumid-din' (Sesungguhnya kamu terkutuk dan kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat) . Sedang Adam secara hormat diturunkan dari surga 'ihbitha minha jami'a' (Turunlah kamu berdua bersama-sama) tetapi pada akhirnya diterima kembali dan mendapatkan kasih sayang Ilahi 'fataba 'alaih innahu huwat tawwabur rohim' (maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang).
Perbedaan motivasi dan solusi itu ialah:
Pertama; Iblis melakukan pelanggaran karena dorongan keangkuhan, bahkan bukan sekedar keangkuhan biasa tetapi keangkuhan yang luar biasa. Ini diisyaratkan dari kata 'istakbara' pada ayat diatas yang bermakna attazayud fil-kibr, dimana penambahan 'sin' dan 'ta' bukan berfaidah 'litthalab' melainkan 'lil-mubalaghah' (sebagaimana perbedaan kata 'istajaaba' dan kata 'ajaaba'). Sedang Adam melakukan pelanggaran karena dorongan syahwat (keinginan yang berlebihan) oleh sebab provokasi Iblis yang menggodanya dengan disertai sumpah segala bahwa Iblis bermaksud baik pada Adam 'hal adullukuma 'ala syajaratil khuld'. Karena itu al-quran mengisyaratkan dengan 'faazallahumas syaithan' ( lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan).
Kedua; Iblis -karena keangkuhanya- melakukan pelanggaran secara sengaja. Karena itu dalam ayat diatas redaksinya menggunakan kata 'abaa' yang berarti menolak atau enggan. Sedang Adam melakukan pelanggaran tidak sengaja melainkan lalai sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat 'wa laqad 'ahidna ila adama min qablu, fanasiya wa lam najid lahu 'azma' (dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa akan perintah itu dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat).
Ketiga; Iblis setelah melakukan pelanggaran malah membanggakan dirinya dengan menyebut 'ana khairum minhu' (aku lebih baik dibanding Adam) dan menyatakan alasan rasionya 'khalaqtani min-nar wa khalaqtahu min-thin' ( Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia dari tanah). Sedang Adam mencela dirinya, melakukan upaya mu'atabah dan dengan rendah hati menyatakan 'rabbana dzalamna anfusana' ( Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri)
Keempat; Iblis setelah mendapat teguran atas pelanggarannya, justru menantang Allah dan menyatakan akan melakukan upaya balas dendam melalui pernyataannya 'fabima aghwaitani laaq'udanna lahum shirathaqal mustaqim' (karena Engkau telah menghukum saya telah tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan yang lurus). Sedang Adam menyesali perbuatannya sebagaimana terungkap dalam lanjutan ayat tersebut 'wa inlam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin' (dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang yang merugi)
Kelima; Iblis tidak punya niatan untuk bertaubat sebagaima ditegaskan dengan 'wakaana minal kafirin' (dan ia termasuk orang-orang kafir). Sedang Adam segera bertaubat sebagaima tersirat pada ayat 'fatalaqqa adama mir-rabbihi kalimatin fataaba 'alaih' (kemudiaan adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima taubatnya).
I'tibar yang bisa didapat dari ayat tersebut adalah, hendaknya kita berusaha untuk tidak melakukan pelanggaran. Andaikan kita belum mampu, upayakan pelanggaran apapun yang kita lakukan, janganlah sampai motivasi dan solusinya seperti yang dilakonkan oleh Iblis. Faman kaana haluhu mitsla hali adam qubilat taubatuhu, waman kaana haluhu mitsla hali iblis lam tuqbal taubatuhu ( Barangsiapa yang motifasi dan solusinya dalam melakukan pelanggaran seperti adam, maka akan diterima taubatnya. Sebaliknya barangsiapa yang motifasi dan solusinya dalam melakukan pelanggaran seperti iblis maka tidak akan diterima taubatnya). Naudzubillah.

Al Baqarah:34

واذ قلنا للملائكة اسجدوا لادم فسجدوا الا ابليس ابى واستكبر وكان من الكافرين ( 34)

"Dan renungkanlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka. Tetapi iblis enggan dan angkuh dan adalah ia termasuk golongan kafir".

Ayat ini menegaskan bahwa Adam as karena telah mendapat anugerah ilmu dan kemampuan meng-inba'-kan ilmunya, maka tidak saja layak untuk menjadi khalifah, tetapi juga berhak mendapat penghormatan dari Allah SWT.
Penghormatan itu diaktualisasikan melalui perintah-Nya kepada malaikat dan iblis, supaya bersujud kepada Adam as. Dan penghormatan yang diberikan Allah swt, bukanlah penghormatan biasa melainkan 'penghormatan agung'. Hal ini tercermin dari redaksi ayat yang beralih menggunakan kata 'waidz qulna' yang menunjukkan arti keagungan, yang tersirat dari dlamir 'na' (mu'adzim linafsi ), meskipun ayat ini di-'athaf-kan pada ayat 'waidz qola robbuka' yang hanya menggunakan bentuk persona ketiga.

Ayat ini juga memberi penjelasan dua perbedaan sikap yang sangat kontras dalam merespon perintah Allah swt.
Pertama; sikap Malaikat.
Malaikat dengan ketaatan dan totalitas penyerahan dirinya kepada Allah swt, tidak menunda-nunda dan tanpa berpikir-pikir dulu, segera melaksanakan perintah. Malaikat meyakini karena perintah ini langsung dari Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Benar, maka perintah bersujud kepada Adam pasti benar dan berangkat atas dasar kebijaksanaan. Ini digambarkan dengan kata 'fasajaduu' yang menggunakan huruf athaf 'fa' yang berfaidah 'attartib ma'al ittishal'.
Kedua; sikap Iblis.
Iblis menyikapi dengan keangkuhan (istakbaro). Keangkuhannya kemudian mengantarkan dirinya enggan (abaa) dan bermain logika dengan menyampaikan keberatan 'aasjudu liman khalaqta thina' (apakah pantas aku sujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari unsur tanah), serta menganggap dirinya lebih baik 'ana khairun minhu khalaqtani min-nar wa khalaqtahu min thin' (aku lebih baik dibanding dia. Karena Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah).
Menurut logikanya tidak wajar makhluk yang lebih baik unsur kejadiannya bersujud kepada makhluk yang lebih rendah unsur kejadiannya.
Ironisnya dalam berlogika, Iblis hanya mengandalkan kemampuan pikirnya saja, tanpa mau ber-muraja'ah atau ber-istisyarah kepada Allah. Berbeda dengan sikap malaikat ketika merespon rencana Allah menciptakan Adam, malaikar ber-muraja'ah dengan rendah hati menghaturkan 'ataj'alu man yusfikuddima-a wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu lak' (Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau) .
Sehingga iblis tidak memahami bahwa logikanya keliru. Logika iblis terjebak dalam formalisme yaitu hanya melihat wujud formal Adam yang terbuat dari tanahdan ter-hijab dari pemahaman hakikat dibalik gumpalan tanah yaitu potensi ilmu dan inba dalam diri Adam.
Ayat inipun kiranya menjadi i'tibar kita. Dalam menyikapi perintah Allah swt hendaknya dengan pola malaikatisme tidak dengan cara iblisisme. Wallahu 'alam.

Al Baqarah:33 (2)

                       

Allah berfirman: "Hai Adam, beritakanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitakannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (Al-Baqarah : 33)

Secara tersirat ayat ini -melalui gambaran prototype Adam as- menjelaskan kelebihan kedua yang menjadi penentu kemuliaan manusia sehingga terhantar menjadi khalifatul- Lah fi al-ardl yaitu kelebihan inba' ; yakni mentransfer (memberitakan) pengetahuan ('ilmu) yang telah didapat lewat proses at-ta'lim wa at-ta'allum yang tersirat pada ayat sebelumnya : "wa'allama adamal asma-a kullaha".

Alhasil kemuliaan sesorang dalam berbagai bidang pada konteks kekhalifahan, hanya dapat diraih manakala ia memiliki dua kelebihan. Kelebihan yang pertama adalah ; 'ilmu yakni kelebihan memiliki pengetahuan yang mumpuni terhadap bidang yang menjadi garapannya berikut aspek-aspek yang terkait dengannya. Kelebihan kedua adalah ; inba' yakni kelebihan menyampaikan pengetahuan itu sehingga membudaya dan mendatangkan maslahat bagi ummat.. Tanpa keduanya ('ilmu dan inba') kemuliaan diri tak akan dapat diraih dan tugas kekhalifahan hanyalah akan menjadi utopis belaka.

Meski kata yang menunjuk arti 'memberitakan' banyak (semisal dalam periwayatan hadis kita mengenal kata akhbarana, haddatsana selain anba'ana yang diartikan sama yaitu 'memberitakan'), dipilihnya kata 'anbi'hum' dan 'anba'ahum' yang musytak dari kata inba' dalam ayat tersebut, mengandung suatu isyarah khusus. Isyarah khusus itu dapat ditemukan melalui penelusuran akar kata dari inba'.

Inba' berasal dari akar kata 'nabaun' yang oleh ar-Raghib tidak sekedar diartikan 'al-khabar' (berita) sebagaimana umumnya tertulis dalam kitab kamus, melainkan diartikan sebagai: "al-khabar dzu al-faidah al-'adzimah yahshulu bihi 'ilmun aw ghalabatu dzonn" (beria/informasi penting yang berfaedah yang dapat memunculkan pengetahuan/teori yang yakin atau diduga kuat memiliki kebenaran). Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam upaya inba'/ menyampaikan informasi kepada umat haruslah didasarkan pada pemahaman dan penelaahan pada persoalan yang mendalam lebih dulu, tidak grusa grusu apalagi asal-asalan, sehingga dapat diyakini atau paling tidak diduga kuat merupakan kebenaran. Kata diatas juga bisa dibentuk dari akar kata 'nabwah' yang berarti 'rif'ah' (keluhuran) yang mengisyaratkan bahwa dalam upaya inba' haruslah didasarkan pada keluhuran niat dan keluhuran sikap dalam menyampaikan kebenaran pada umat. Jangan karena kebenaran, lantas kita sampaikan dengan tanpa mempertimbangkan etika. Kebenaran harus disampaikan dengan cara-cara yang benar.

Pada penghujung ayat ini, Allah SWT menegaskan: "Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan". Meski dikhitobkan kepada malaikat tetapi dapat digunakan sebagai pengingat bahwa setelah manusia mampu memiliki dua kelebihan diatas ('ilmu dan inba'), manusia tetap harus sadar jika kelebihannya tetap terbatas. Kesadaran ini akan membuat manusia tidak merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki, melainkan mencari dan mencari lagi, serta menumbuhkan sikap rendah hati karena sesungguhnya pemilik kelebihan sejati adalah Robbul 'izzati. Wallahu 'alam wa ahkam.

TERGELINCIRNYA ADAM AS AKIBAT SYAHWAT KEKUASAAN & SYAHWAT KEABADIAN Tafsir al-Baqarah : 36 Part.1

TERGELINCIRNYA ADAM AS AKIBAT SYAHWAT KEKUASAAN & SYAHWAT KEABADIAN
Tafsir al-Baqarah : 36 Part.1

                     
Artinya: " Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Pembangkangan Iblis terhadap kebijakan Allah swt (bersujud kepada Adam as) dengan mempermasalahkan status dirinya (tercipta dari api) dan senioritas dirinya (lebih lama menjadi hamba) berujung pada permintaan ditangguhkan hidupnya sampai akhir zaman dan menjanjikan seluruh keturunan Adam as akan disesatkan. Iblis menyatakan 'fabima aghwaitani la-aq'udanna lahum shirathaqal mustaqim' (karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus).
Janji menyesatkan manusia benar-benar dibuktikan, dengan keberhasilan Iblis menggoda Adam as sebagaimana diungkapkan ayat 36 diatas. Perseteruannya dengan Adam as yang sejak awal dicanangkan dan dideklarasikan sebagai missi utama dan satu-satunya itu, membuat Iblis mencurahkan segenap daya dan kemampuannya agar berhasil memperdayakan Adam as.
Disisi lain–untuk mengantisipasinya- Adam as telah diberi warning (peringatan) dari Allah swt bahwa Iblis senantiasa akan memperdayakannya dengan berbagai cara. Warning itu diberikannya melalui 'dilalah thabi'iyyah' (petunjuk fisikal) lewat fragmentsi dari sosok Iblis yang diperlihatkan kepada Adam as dari mulai pembangkangan terhadap perintah Tuhan, sikap takabbur yang ditunjukkan' sampai kepada pelecehan terhadap dirinya melalui ucapannya 'aasjudu liman khalaqta thina' (apakah patut aku bersujud pada makhluk yang tercipta dari tanah liat) yang semuanya mengindikasikan tak ada kebaikan pada diri Iblis. Tidak cukup melalui dilalah thabi'iyyah saja, tetapi Allah juga mengukuhkan warning-Nya melalui 'dilalah qauliyyah' (petunjuk verbal) lewat firman-Nya : 'inna hadza 'aduwun laka wa lizaujika fala yukhrijannakuma minal jannati fatasyqa' (sesungguhnya ini Iblis adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga yang menyebabkan kamu menjadi celaka).
Demikian kuat dan ketatnya antisipasi yang dilakukan Adam as, tetapi mengapa Adam as tergelincir juga? Cara apa yang dijadikan jurus dan sasaran apa yang ditembus, hingga Iblis dapat sukses menjalankan misi penyesatannya?
Tidak ditemukan penjelasan tentang cara yang ditempuh Iblis dalam menggoda. Al-Quran hanya menginfomasikan sasaran yang dimasukinya. Sasaran itu adalah kecenderungan hati Adam yang tersembunyi (syahwat) yaitu Adam menginginkan kekal (hidup selamanya) dan menikmati kekuasaan yang tak terbatas. Dengan kata lain Iblis masuk melalui pintu syahwat keabadian dan syahwat kekuasaan. Yang justru keduanya ini merupakan titik kelemahan Adam as. Salah satu riwayat menyebutkan; ketika Adam as dipersilahkan masuk surga dan mendapat takrimah (penghormatan) luar biasa serta kedudukan/ kekuasaan tak terhingga, ia memendam keinginan dalam hatinya dan berujar : 'lau anna khuldan kaana' (andaikan saja kehidupan dan kekuasaan di surga ini dapat aku nikmati selamanya). Iblis kemudian membaca peluang ini dan secara bertahap melakukan langkah-langkah berikut. Langkah pertama secara manipulatif, Iblis memberi informasi palsu kepada Adam as dengan menyampaikan :

             
(Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal dalam surga)
Iblis lewat informasinya itu menyatakan pada Adam as bahwa larangan mendekati pohon adalah rekayasa Tuhan supaya Adam as tidak kekal dan tidak berkuasa selamanya . Dimana menurut satu qiraat kata 'malakaini' bikasratillam sehingga dibaca 'malikaini' yang artinya 'menjadi raja dan ratu' alias penguasa. Qiraat ini diperkuat oleh pernyataan Iblis dalam ayat lain (surah Thaha : 12) yang berbunyi :

       
" Maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"
Langkah berikutnya yang dilakukan Iblis adalah memperkuat informasi dustanya, dengan bersumpah bahwa ia adalah pemberi nasehat yang berlaku jujur, sebagaimana tertera dalam ayat 21 surah al-A'raf:

    •
" Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua"
Langkah itu terbukti mendatangkan kesuksesan. Sehingga Adam as lalai dan bersama istrinya melanggar perintah Tuhan. Hingga akhirnya mereka diturunkan dari surga dan lepaslah segala penghormatan dan fasilitas yang dimilikinya.
Tidak heran apabila anak cucu Adam as terutama mereka yang berlebihan dalam memandang kapasitas kekhalifahannya dan kurang menyadari kehambaannya, begitu mudah tergoda oleh syahwat keabadiaan dan kekuasaan. Agaknya keinginan hidup dan berkuasa terus, merupakan benih yang menyatu dan lahir bersama manusia. Semenjak baru lahir, manusia telah mengungkapkan keinginan hidup dan berkuasa lewat tangisan dan jeritan. Kemudian saat kecil terus menunjukkan keinginan berkuasanya, dengan senjatanya yang ampuh yaitu menangis. Lantas lambat laun meningkat dari sekedar menangis ke tindakan memukul-mukul atau bahkan merusak. Dan keadaan ini berlanjut terus hingga dewasa. Wajar apabila seorang staf (bawahan) –misalnya- yang tawadlu (rendah hati), sebenarnya memendam keinginan suatu saat bisa menjadi seperti pimpinanannya. Karena dimatanya pimpinan berpeluang hidup langgeng dan begitu berkuasa. Jika kemudian cita-cita sang staf kesampaian, apa yang terjadi ? Sang staf yang tawadlu tiba-tiba berubah. Karena sekarang dia adalah khalifah di lingkungan kerjanya. Dia berbuat sesuka hatinya bahkan mungkin dengan menghalalkan segala cara. Hingga ia lalai dan tidak menyadari kehambaannya. Karena yang terlihat hanyalah kehidupan dan kekuasaannya yang diingini kekal itu. Dia telah tergoda sebagaimana dulu Adam as bapaknya tergoda. Padahal mana ada kehidupan yang kekal? Mana ada kekuasaan tak berakhir? Allah mengingatkan : 'Kullu man 'alaiha faan' (semua yang ada di bumi itu akan binasa).
Maka jika kita sedang menikmati hidup dan membanggakan kekuasaan (sebesar atau sekecil apapun) kiranya patut mematrikan dalam hati pesan dari ungkapan syair ini :

واذا حملت الى القبور جنازة فاعلم بانك بعدها محمول
واذا وليت امور قوم ساعــــة فاعلم بانك بعدها معــزول

Jika suatu ketika engkau membawa keranda ke kubur, ingatlah setelah itu engkaupun akan dipikul.
Dan jika engkau diserahi kekuasaan atas kaum, ketahuilah suatu saat engkau akan diberhentikan juga,

Wallahu yahdi ila shirathim mustaqim.

Renungan Al Ghadier

عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : كُلُّ مَعْصِيَةٍ عَنْ شَهْوَةٍ فَإِنَّهُ يُرْجَى غُفْرَانُهَا وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عَنْ كِبْرٍ فَإِنَّهُ لَا يُرْجَى غُفْرَانُهَا لِأَنَّ مَعْصِيَةَ إِبْلِيْسَ كَانَ أَصْلُهَا مِنَ الْكِبْرِ وَزَلَّةَ سَيِّدِنَا أدَمَ كَانَ أَصْلُهَا مِنَ الشَّهْوَةِ . نصائح العباد : ٥
Dari Sufyan Ats-Tsauri r.a, “Setiap maksiat dari hawa nafsu maka ada harapan untuk diampuni dan setiap maksiat dari kesombongan maka tidak ada harapan untuk diampuni karena maksiat yang dilakukan iblis asalnya dari kesombongan, sedangkan keasalahan junjungan kita Nabi Adam a.s asalnya timbul dari hawa nafsu (Nasha-ihul ‘Ibad: 5)

Tindakan kita ketika melihat Najis,,,,

Pertanyaan: Ketika kita tahu ada najis di Masjid, atau melihat orang shalat yang pada pakaian, badan atau tempatnya terdapat najis, maka bagaimanakah tindakan kita seharusnya?
Jawab: Ketika kita tahu ada najis di Masjid maka harus (baca: wajib) segera menghilangkannya. Jika sampai menunda-nunda dan membiarkannya tanpa udzur maka akan berdosa.
Sementara jika mengetahui ada orang shalat yang pakaian, badan atau tempatnya terdapat najis yang tidak di ma’fu maka kita wajib memberitahukannya.
عبارة ... (وسئل) رضي الله عنه عمن علم بنجاسة بمسجد هل يلزم إعلام الناس بها او بمحلها ؟
(فأجاب) بقوله من علم بنجاسة فى المسجد لزمه إزالتها فورا . ومتى قصر فى ذلك أو تراخى فيه من غير عذر أثم , ومن رأى مصليا بنجس لايعفى عنه فى ثوبه أو مكانه لزمه إعلامه . إه. الفتاوى الكبرى ١/١٧٦ دار الفكر

PERCERAIAN MENURUT UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 DAN PP NO. 9 TAHUN1975 TENTANG PELAKSANAAN UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

UU PERKAWINAN No.1 TAHUN 1974
BAB VIII
PUTUSAN PEKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38.
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian, b. Perceraian dan c. Atas keputusan Pengadilan
Pasal 39.
(1). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3). Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
(1). Cukup jelas
(2). Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar keamampuannya.
c. Salah satu pihak maendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekeajaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pada pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewaajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami isteri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
(3). Cukup jelas

PP NO. 9 TAHUN1975
TENTANG
PELAKSANAAN UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
BAB V TATACARA PERCERAIAN
Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan Sidang Pengadilan.
Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar keamampuannya.
c. Salah satu pihak maendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah asatu pihak melakukan kekeajaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pada pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewaajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami isteri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Pasal 34
(1). Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2). Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 36
(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.
(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.
(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setealah diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama.

Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pada dasarnya perceraian terbagi dalam tiga bagian. Pertama, talak. Perceraian dalam kategori ini suamilah yang berinisiatif menceraikan istrinya di depan pengadilan dengan alasan tertentu. Perceraian itu dimaksudkan sebagai jalan terakhir oleh suami dengan lasan yang dibenarkan oleh hukum dan benar-benar tidak mungkin lagi untuk mengembalikan citra rumah tangga yang bahagia. Salah satu alasan perceraian yang dimaksud adalah berdasarkan PP No. 9 tahun 1975 pasal 19 yang berbunyi “…………antara suami dan istri terus menerus berselisih dan bertengkar sehingga tidak ada jalan lain selain cerai.”
Kedua, perceraian adalah karena adanya suatu gugatan. Jenis perceraian ini disebabkan karena adanya gugatan dari pihak istri karena merasa dirugikan oleh pihak suami. Ketiga, cerai karena pembatalan perkawinan. Hal ini terjadi karena adanya pembatalan perkawinan dalam amar fasid Pengadilan Agama yang disebabkan wali nikahnya tidak sah (UU No. 1 tahun 1974 pasal 26 ayat 1), atau perkawinan dibawah ancaman atau paksaan (UU No. 1 tahun 19784 pasal 27 ayat 1), atau terjadinya salah sangka mengenai diri suami atau istri (UU No. 1 tahun 1974 pasal 27 ayat 2).
Pada dasarnya tinggi rendahnya angka perceraian tidak terlepas dari peran Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sebagai perangkat pendukung tujuan perkawinan. Dalam UU ini telah menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian dengan mengharuskan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan. Prinsip tersebut lebih dikenal dengan istilah system pengetatan. Sebagai pendukung prinsip tersebut adalah aturan pelaksanaan yang terdapat dalam peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 14 yang berbunyi ; “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggal termohon, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.” Karena itu segala peristiwa yang terjadi, termasuk perceraian, secara teknis dapat dimonitor oleh system.

FAKTOR DOMINATIF DAN FAKTOR PENUNJANG KEBAHAGIAAN

Tafsir al-Baqarah ayat 35 Part.1
وقلنا يئادم اسكن أنت وزوجك الجنّة وكلا منها رغدا حيث شئتما ولا تقربا هذه الشجرة فتكونا من الظالمين )البقرة: ۳٥(
Jika difahami secara harfiah, teks ayat ini menceritakan takrimah (penghormatan) berikutnya yang diberikan oleh Allah kepada Adam as, karena potensinya memiliki ilmu dan inba serta kapasitasnya sebagai khalifah. Setelah penghormatan pertama yaitu sujudnya malaikat ‘usjuduu liaadam’, Adam as mendapat penghormatan lagi yaitu berhak mendiami surga bersama istrinya dan berhak menikmati semua fasilitas didalamnya sesuka hatinya ‘uskun anta wazaujukal jannah’.

Disisi lain apabila difahami menurut interpretasi metaforis (penafsiran kiasan)-nya, ayat diatas berikut ayat sebelumnya, sejatinya merupakan illustrasi (gambaran) dari faktor-faktor yang menunjang kebahagiaan. Semua orang -tanpa memandang status sosial dan tingkat pendidikannya- pasti memimpikan dan mendambakan memperoleh kebahagiaan. Karena ‘kebahagiaan’ adalah jannatul ahlam (surga impian), dan masalah kemanusiaan yang paling hakiki, dimana tujuan hidup semua manusia tanpa terkecuali adalah memperoleh kebahagiaan.

Faktor-faktor penunjang kebahagiaan tersebut –dengan meminjam istilah Al-Imam al-Ghazali rahimahullah dalam tesisnya tentang kebahagiaan- adalah sebagai berikut:
Pertama; al-Ma’rifah (pengetahuan). Orang yang berpengetahuan luas lebih berpeluang memperoleh kebahagiaan jauh lebih besar daripada orang yang terbatas pengetahuannya. Faktor penunjang pertama ini tersirat dalam ayat: ‘wa’allama adamal asma-a kullaha’ yang secara implisit menegaskan bahwa Adam as memiliki pengetahuan yang banyak.
Kedua; al-Jaah (kedudukan). Orang yang punya kedudukan atau status sosial yang tinggi, memiliki peluang relatif besar untuk memperoleh kebahagiaan daripada orang yang tidak punya kedudukan apa-apa. Karena itu ada kecenderungan bertambah tinggi kedudukan seseorang, bertambah berat untuk melepaskan. Faktor kedudukan digambarkan dalam ayat ‘waidz qaala rabbuka lil malaikatisjudu’ dimana sujudnya malaikat merupakan bukti bahwa Adam as memiliki kedudukan tinggi.
Ketiga; ats-Tsarwah (kemakmuran).Adam as mendapatkan kemakmuran yang menunjang kebahagiaan hidupnya. Kemakmuran itu ditandai dengan ‘al-jannah’ yang didiaminya bersama istrinya yang termaktub dalam ayat ‘uskun anta wazajukal jannah’ dimana al-jannah dapat diartikan sebagai tempat tinggal atau hunian elit yang indah dengan fasilitas yang serba cukup dan memadai. Orang yang hidupnya makmur karena banyak memiliki materi tentu lebih berpeluang mendapat kebahagiaan dibanding orang yang miskin tidak memiliki apa-apa.
Keempat; as-Sihhah (kesehatan). Orang yang memiliki kesehatan baik relatif memiliki peluang memperoleh kebahgiaan daripada orang yang terganggu kesehatannya. Faktor terakhir ini secara implisit tercover dalam ayat ‘wakulaa minha raghadan haitsu syi’tuma’ di mana raghadan yang diartikan ‘wasi’an la hijra fiih’ (seluasnya, sebebasnya, tanpa ada pantangan) -dalam menikmati makanan surga- tidak mungkin dapat dilakukan Adam as, jika ia tidak memiliki kesehatan.

Namun keempat faktor tersebut hanyalah penunjang kebahagian, bukan faktor dominatif yang menentukan kebahagiaan. Maka tidak heran jika dalam realita kehidupan, sering kita temukan orang yang telah memiliki segalanya, pengetahuan luas, kedudukan atau status sosial cukup tinggi, materi melimpah, fasilitas hidup serba lebih, dan tidak ada gangguan pada kesehatannya, tetapi dalam hidupnya tidak merasakan bahagia malah sebaliknya merasakan sengsara. Lalu apa sesungguhnya yang dapat menentukan kebahagiaan seseorang?

Al-Imam al-Ghazali menyatakan : ‘Laa sa’aadata bila sakinatin’ Tak ada kebahagiaan tanpa ketenangan. Maksudnya: Faktor dominatif (yang menentukan) kebahagiaan adalah ketenangan hati. Ketenangan hati hanya dapat dicapai melalui ‘al-qurbu minal-Lah’ pendekakatan diri kepada Allah (yang Maha tenang dan sumber ketenangan), yang terbangun dengan ber-dzikir kepada-Nya. ‘Alaa bi dzikril-Lah tathmainnul quluub’ (ingatlah dengan berdzikir kepada Allah, hati akan menjadi tenang). Karena itulah –dalam ending kisah perjalanan hidupnya- yang dicari Adam as bukan lagi kedudukan, pengetahuan, kesehatan dan kemakmuran, melainkan ‘maghfirah’ (ampunan) dan ‘rahmah’ (kasih sayang} sebagai simbol dari kedekatan dengan yang Maha Rahman. Al-Quran melukiskannya pada ayat ke 23 surah al-A’raf : ‘Rabbana dzalamna anfusana wain lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin’
Wallahu a’lam (jm)

Kontroversi Kurban Untuk Orang yang Sudah Meninggal

Pertanyaan: Bagaimanakah hukum kurban untuk mayit ?
Jawab: Madzahibul Arba’ah (baca: Madzhab 4) berbeda pendapat menaggapi masalah kurban untuk mayit. Berikut deskripsinya:
a) Syafi’iyah berpendapat itu tidak boleh, jika tidak ada wasiat dari mayit. Akan tetapi apabila ada wasiat dari mayit maka hukumnya boleh.
b) Malikiyah berpendapat makruh, jika tidak ditentukan (baca : wasiat) oleh mayit. Jika ada penentuaan dari mayit maka sunah bagi Ahli Waris untuk melaksanakannya.
c) Hanafiyah dan Hanabilah berkomentar: boleh berkurban untuk mayit walaupun tidak ada wasiat atau ketentuan dari mayit.

عبارة : قال الشافعية لايضحى عن الغير بغير إذنه ولاعن ميت إن لم يوص بها لقوله تعالى وأن ليس للإنسان إلاماسعى . فإن أوصى بها جازا وبإيصائه تقع له , إلى قوله ..... وقال المالكية وكره فعلها عن ميت إن لم عينها قبل موته فإن عينها بغير النذر ندب للوارث إنفاذها. وقال الحنفية والحنابلة تذبح الأضحية عن ميت ويفعل بها كعن حيّ من التصدق والاكل والأجر للميت. إه الفقه الاسلامي ۳/٦۳٥-٦۳٦

Pro Kontra Pasal Perceraian

Pada edisi kemarin telah kami paparkan tentang Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaannya. Sengaja kami paparkan terlebih dahulu agar pada edisi ini kami tinggal menjelaskan tentang korelasi atau hubungan antara UU tersebut sebagai wujud dari adanya campur tangan para Umara dengan Ulama sebagai repsesentasi dari kalangan agamis yang selalu mengedepankan nilai-nilai syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Sebagaimana lazimnya suatu Undang-Undang, tentu akan membuahkan beberapa persepsi atau pandangan nalaritas yang berbeda dalam menyikapinya. Hal ini bisa kita lihat dari pihak yang pro dan pihak yang kontra dengan Undang-Undang tersebut, baik pada saat masih menjadi Rancangan Undang-Undang atau bahkan setelah Undang-Undang itu disahkan. Hal ini juga terjadi pada undang-undang pernikahan yang didalamnya memuat tatacara perceraian yang menjadi titik pembahasan kita kali ini.
Menurut kalangan yang menentang, Undang-Undang Perceraian No. 1 tahun 1974 pasal 39 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak” adalah tidak layak untuk digunakan. Karena menyimpang dari ketentuan fiqih islam yang mengatakan bahwa perceraian itu adalah hak bagi suami, artinya jatuh atau tidaknya suatu talak atau perceraian itu ada di tangan suami, bukan ada di depan sidang pengadilan. Dimana penentu jatuh atau tidaknya suatu talak itu ada di bawah kekuasaan Qadli atau Hakim pengadilan sehingga memunculkan norma yang tidak substantif (hakiki) secara islami, melainkan sebuah norma yang interventif (terpengaruhi) oleh Negara yang dominan dan sarat akan muatan politis. Maka menurut golongan ini aturan perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan itu tidaklah patut untuk digunakan.
Sedangkan menurut golongan yang pro dengan aturan perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan mengklaim bahwa aturan tersebut merupakan bentuk implementasi dari kepedulian Negara mengenai tujuan dan kesucian serta keluhuran pernikahan yang telah dibangun oleh pasangan suami isteri agar tidak runtuh dengan sebab kesewenang-wenangan dari suami agar tidak mudah untuk menjatuhkan talak yang berakibat hubungan antara keduanya menjadi terpisah oleh suatu perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. أبغض الحلال إلى الله الطلاق
Dalam istilah ushul fiqih, kebijakan ini disebut dengan Mashlahah Mursalah, yakni suatu ketentuan yang tidak diatur dalam agama (fiqih) tetapi tidak bertentangan dengan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Lagi pula dengan mengikuti aturan perceraian dalam Undang-Undang perkawinan, berarti tidak mengabaikan perintah Al-Qur’an untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat pemerintah (Ulil Amri), sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 59:
يا أيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu sekalian kepada Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul dan Ulul Amri diantara kamu”.
Perkawinan bukan saja bersatunya dua insan berlainan jenis yang saling mencintai, tetapi juga bertemunya dua karakter yang berbeda. Di tengah perbedaan itulah kita dituntut untuk saling mempelajari watak satu sama lain, agar dengan perbedaan, dinamika rumah tangga menjadi lebih aktif dan hidup. Namun demikian, tak banyak orang yang pandai mengelola perbedaan di dalam rumah tangga. Sehingga, banyak yang harus mengakhiri hubungan rumah tangganya di meja pengadilan.
Seperti contoh jika pertengkaran sudah teramat sengit antara suami isteri dimana keduanya saling mencaci dan memukul, maka menurut pendapat yang disahkan oleh kitab Ar-Raudlah adalah wajib untuk mengirim juru damai kerena sesuai dengan perintah Al-Qur’an (Al-Mahalli ‘Alal Minhaj fi Bab An-Nikah). Sedangkan dalam kitab Syarqawi ‘ala at-Tahrir disebutkan bahwa jika masing-masing dari suami isteri saling menuduh dan keadaan sudah sedemikian rumit, maka hakim wajib mengutus dua juru damai yang sesuai dengan kehendak suami isteri, agar kedua juru damai tersebut dapat melihat dan mengetahui persoalan yang menimpa mereka, kemudian menetapkan hukum bagi kepentingan mereka, apakah didamaikan atau dipisah. Allah swt. Berfirman: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah dua juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari keluarga perempuan” (An-Nisa : 35)
Mengamati realitas ini, peranan sistem hukum dalam perkawinan sangat penting, terutama dalam mewujudkan tujuan perkawinan yakni membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada dasarnya, tinggi rendahnya angka perceraian tidak terlepas dari peran Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sebagai perangkat pendukung tujuan perkawinan. Dalam UU ini telah menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian dengan mengharuskan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan. Prinsip tersebut lebih dikenal dengan istilah sistem pengetatan. Sebagai pendukung prinsip tersebut adalah aturan pelaksanaan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 14 yang berbunyi ; “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggal termohon, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.” Karena itu segala peristiwa yang terjadi, termasuk perceraian, secara teknis dapat dimonitor oleh sistem.
Penyempurnaan sistem pengetatan terhadap perceraian disiasati dengan membuat skenario tenggang waktu dan penasehatan. Mengenai tenggang waktu, Pengadilan Agama dalam menjatuhkan putusan memproses perkara lebih lama dengan mengharuskan penggugat untuk mengisi berbagai kelengkapan administrasi, seperti pendaftaran di kepaniteraan, panggilan sidang pertama, kedua, dan selanjutnya yang praktis memakan waktu cukup panjang. Adanya tengang waktu ini memiliki tujuan memberikan kesempatan bagi pihak yang berperkara untuk berfikir jernih agar dalam pengambilan inisiatif cerai tidak dikuasai oleh emosi yang merugikan sehingga, kemungkinan damai bisa terjadi.
Penasehatan merupakan tindak lanjut dari sistem pengetatan. Agar penasehatan ini dapat berjalan efektif, Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud cerai tersebut, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan biasanya meminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat agar suami isteri tersebut dinasehati untuk dapat hidup rukun kembali dalam rumah tangga.
SAH DAN RESMI
Pernikahan dianggap sah menurut agama apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Dan dianggap resmi apabila dicatat di kantor KUA.
Begitupun dengan perceraian dianggap sah apabila suami telah menjatuhkan talak. Dan dianggap resmi apabila talak itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Istilah itulah yang sering dipakai di tengah-tengah masyarakat.

Al Baqarah:33

قَالَ ياٰ أٰدَمُ أَنْبِِئهْمُ ْبِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهمُ ْبِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ
“Qaala Yaa Adamu anbi’hum bi asma-ihim falammaa anba-ahum bi asma-ihim qaala alam aqul lakum innii a’lamu ghaibas samawati wal ardli wa a’lamu ma tubduna wama kuntum taktumun”.

“Allah berfirman: “Hai Adam, beritakanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitakannya keada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (Al Baqarah : 33)
Secara tersirat, ayat ini -melalui gambaran prototype Adam as- menjelaskan kelebihan kedua yang menjadi penentu kemuliaan manusia sehingga terhantar menjadi khalifatul-Lah fi al ardl yaitu kelebihan inba’; yakni mentransfer (memberitakan) pengetahuan (‘ilmu) yang telah didapat melalui proses at-ta’lim wa at-ta’allum yang tersirat pada ayat sebelumnya : “wa’allama adamal asma-a kullaha”.
Alhasil kemuliaan seseorang dalam berbagai bidang pada konteks kekhalifahan, hanya dapat diraih manakala ia memiliki dua kelebihan. Kelebihan yang pertama adalah ; ‘ilmu, yakni kelebihan memiliki pengetahuan yang mumpuni terhadap bidang yang menjadi garapannya berikut aspek-aspek yang terkait dengannya. Kelebihan kedua adalah ; inba’, yakni kelebihan menyampaikan pengetahuan itu sehingga membudaya dan mendatangkan maslahat bagi umat. Tanpa keduanya (‘ilmu dan inba’) kemuliaan diri tak akan dapat diraih dan tugas kekhalifahan hanyalah akan menjadi utopia belaka.
Meski kata yang menunjukkan arti ‘memberitakan’ banyak (semisal dalam periwayatan hadits kita mengenal kata akhbarana, haddatsana, selain ‘anbi’hum’ dan ‘anba’ahum’ yang musytak dari kata inba’ dalam ayat tersebut, mengandung suatu isyarah khusus. Isyarah khusus itu dapat ditemukan melalui penelusuran akar kata dari inba’.
Inba’ berasal dari kata ‘nabaun’ yang oleh ar-Raghib tidak hanya diartikan ‘al-khabar’ (berita) sebagaimana umumnya tertulis dalam kitab kamus, melainkan diartikan sebagai : “al-khabar dzu al-faidah al-‘adzimah yahshulu bihi ‘ilmun aw ghalabatu dzonn” (berita/informasi penting yang berfaedah yang dapat memunculkan pengetahuan/teori yang yakin atau diduga kuat memiliki kebenaran). Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam upaya inba’/ menyampaikan informasi kepada umat haruslah didasarkan pada pemahaman dan penelaahan pada persoalan yang mendalam terlebih dahulu, tidak grusa grusu apalagi asal-asalan, sehingga dapat diyakini atau paling tidak diduga kuat merupakan kebenaran. Kata diatas juga bisa dibentuk dari akar kata ‘nabwah’ yang berarti ‘rif’ah’ (keluhuran) yang mengisyaratkan bahwa dalam upaya inba’ haruslah didasarkan pada keluhuran niat dan keluhuran sikap dalam menyampaikan kebenaran pada umat. Jangan karena kebenaran, lantas kita sampaikan dengan tranpa mempertimbangkan etika. Kebenaran harus disampaikan dengan cara-cara yang benar.
Pada penghujung ayat ini, Allah SWT menegaskan : “Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” Meski di khitobkan pada malaikat, tetapi dapat digunakan sebagai pengingat setelah manusia mampu memiliki dua kelebihan diatas (‘ilmu dan inba’), manusia tetap harus sadar jika kelebihannya tetap terbatas. Kesadaran iniakan membuat manusia tidak merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki, melainkan mencari dan mencari lagi, serta menumbuhkan sikap rendah hati karena sesungguhnya pemilik kelebihan sejati adalah Robbul ‘izzati.
Wallaho a’lam wa ahkam.

Hukum Membuka Al-Qurán dengan jari yang ditempeli ludah

Pada terbitan buletin kali ini kami juga menyediakan rubrik tentang pertanyaan singkat yang kami jawab dengan simple dan padat dengan referensi dari kitab kuning klasik karya para Salafuna as-Shalih yang tidak perlu diragukan lagi keabsahannya. Hal ini dilatar belakangi karena dalam dialeka kehidupan, kita sering menemui hal-hal yang mungkin terbilang sepele tapi perlu kita ketahui hukumnya. Seperti pertanyaan berikut ini:
* Pertanyaan: Bagaimanakah hukumnya membuka Al-Qur’an dengan jari yang dijilati ludah?
* Jawaban: Hukumnya adalah tidak boleh karena akan mengotori Al-Qur’an dan merupakan tindakan yang mencerminkan tidak menghormatinya.
Dalil: Sebuah ibarat
يَحْرُمُ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِأُصْبُعٍ عَلَيْهِ رِيْقٌ إِذْيَحْرُمُ إِيْصَالُ شَيْئٍ مِنَ الْبُصَاقِ إِلَى شَيْئٍ مِنَ أَجْزَاءِ الْمُصْحَفِ
‘’Yahrumu massul mushafi bi ushbu’in ‘alaihi riiqun idz yahrumu ishalu syai-in minal bushaaqi ila syai-in min ajza il mushafi”.
Haram memegang mushaf (Al-Qur’an) dengan jari yang dijilati air liur hal ini kerena tidak boleh menemukan sesuatu yang berlumuran ludah pada sesuatu dari bagian-bagian mushaf.
(I’anah at-Thalibin Juz: 1 hal: 6)

Dua Cara Yang Berbeda Dalam Menyikapi Perintah Allah

Tafsir Al-baqarah: 34

وَإِذْقُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِأدَمَ فَسَجَدُوا اِلَّاإِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْن
َ
“(Dan renungkanlah) Ketika Kami berfirman kepada malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka. Tetapi Iblis enggan dan angkuh dan adalah ia termasuk golongan kafir”.
Ayat ini menegaskan bahwa Adam as karena telah mendapat anugerah ilmu dan kemampuan meng-inba’-kan ilmunya, maka tidak saja layak untuk menjadi khalifah, tetapi juga berhak mendapat penghormatan dari Allah SWT.
Penghormatan iu diaktualisasikan melalui perintah-Nya kepada malaikat dan iblis supaya bersujud pada Adam as. Dan penghormatan yang diberikan Allah SWT, bukanlah pengormatan biasa melainkan ‘pengormatan agung’. Hal ini tercermin dari redaksi ayat yang beralih menggunakan kata ‘waidz qulna’ yang menunjukkan arti keagungan, yang tersirat pada dlamir 'na' (mu’azhim linafsih), meskipun ayat ini di-athaf-kan pada ayat ‘waidz qola robbuka’ yang hanya menggunakan benuk personal ketiga.
Ayat ini juga memberi penjelasan perbedaan sikap yang sangat kontras dalam merespon perintah Allah swt.
Pertama: Sikap Malaikat. Malaikat dengan ketaatan dan totalitas penyerahan dirinya kepada Allah SWT, tidak menunda-nunda dan tanpa berpikir-pikir dulu, segera melaksanakan perintah. Malaikat meyakini karena perintah ini langsung dari Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Benar, maka perintah bersujud pada Adam pasti benar dan berangkat atas dasar kebijaksanaan. Ini digambarkan dengan kata ‘Fasajaduu’ yang menggunakan hurfa ‘athaf ‘fa’ yang berfaidah ‘At-tartib ma’al ittishal’.
Kedua: Sikap iblis. Iblis menyikapi dengan keangkuhan (istakbara). Keangkuhannya kemudian mengantarkan dirinya enggan (abaa) dan bermain logika dengan menyampaikan keberatan “Aasjudu liman khalaqta thina’ (apakah pantas aku sujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari unsur tanah), serta menganggap dirinya lebih baik ‘ana khoirun minhu kholaqtani min-nar wa kholaqtahu min thiin’ (aku lebih baik dibanding dia. Karena Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah).
Menurut logikanya tidak wajar makhluk yang lebih baik unsur kejadiannya bersujud kepada makhluk yang lebih rendah unsur kejadiannya.
Ironisnya dalam berlogika, iblis hanya mengandalkan kemampuan pikirannya saja tanpa mau ber-muraja’ah atau ber-istisyarah kepada Allah. Berbeda dengan sikap malaikat ketika merespon rencana Allah menciptakan Adam, malaikat ber-muraja’ah denagn rendah hati menghaturkan ‘Ataj’alu fiha man yufsidu fiha wa yasfikud dima-a wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka’ (mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah, orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau).
Sehingga logika iblis tidak memiliki substilitas intelegensi (ketepaan pemahaman). Logika iblis terjebak dalam formalisme yaitu hanya melihat wujud formal Adam yang terbuat dari tanah, dan ter-hijab dari pemahaman hakikat dibalik gumpalan tanah yaitu potensi ilmu dan inba’ dalam diri Adam.
Ayat inipun kiranya menjadi I’tibar kita. Dalam menyikapi perintah Allah SWT, hendaknya dengan pola malaikat-isme tidak dengan cara iblis-isme. Wallahu a’lam

NITIP SALAM

Pertanyaan: Apa hukumnya nitip salam? Bagaimana hukum menyampaikan dan menjawabnya berikut caranya?
Jawab: Hukum nitip salam adalah sunnah. Menyampaikan dan menjawabnya adalah wajib. Adapun sistematis cara menyampaikannya adalah tidak cukup hanya berkata “Kamu mendapat salam dari Si “A”. Akan tetapi orang yang dititipi berkata السلام عليك dari Si “A”. Cara menjawabnya adalah dengan mengucapkan وعليك السلام atau وعليك وعليه السلام atau وعليكما السلام .
(قوله ويسن ابتداؤه اى السلام على المسلم ) فإن قال له سلم لى على فلان أوحملتك السلام على فلانوجب على الرسول أن يقول السلام عليك من فلان ولايكفى فلان يسلم عليك ويجب الردبقوله وعليك السلام او عليك وعليه السلام او عليكماالسلام ولايكفى غير ذلك (المحلى:٤/ ٢١٥-٢١٦)