Selasa, 06 Juli 2010

Harta Gono-Gini

Istilah harta gono-gini merupakan sesuatu yang mungkin tak kita ketahui karena esensinya yang kurang populer di dalam kitab mu'tabarah yang sering kita telaah. Lain halnya jika kita melihat dari side (sisi) yang lain, maka lain pula hipotesa yang terkuak dengan pandangan sebelumnya. Apabila kita melihat persoalan harta gono-gini dalam istilah kitab-kitab Turats (kitab-kitab mu'tabarah/kitab kuning) jelas kita tidak akan menemukannya. Tapi dilihat dari indikasi-indikasi objektif  yang  mengarah pada masalah ini, menggiring persoalan harta gono-gini untuk dicari pengqiyasannya  terhadap 'ibarat-'ibarat (istilah-istilah) dalam Kutub al-Turats.
Penelusuran riset secara eksplisit (gamblang/ jelas) mendefinisikan bahwa fenomena harta gono-gini adalah sebuah pembagian harta hasil perkongsian atau kejasama pada satu masa setelah terjadinya putus hubungan antara  dua pihak atau lebih.
Pihak-pihak yang bersimbiosis mutualisme di sini misalnya antara  ayah dan anak, sesama saudara atau antara  orang yang tak punya hubungan kekerabatan. Putusnya hubungan korelasi bisa diakibatkan oleh perceraian, kematian, pemutusan dari satu pihak atau lainnya. Dengan definisi demikian, ta’bir yang kami analogikan bersumber dari kitab Hamisyi As-Syarqawi  ‘alat Tahrir : 2/ 109
Pembagian hasil tersebut tentunya apabila dimungkinkan. Maksudnya jika transparan/ jelasnya prosentase jumlah yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Apabila didapati alasan yang tidak mendukung transparansi saldo prosentase masing-masing pihak,  maka solusi yang ditempuh hendaknya dengan cara ‘Shuluh’ atau perdamaian, tentunya dengan kesepakatan dan kesepahaman peran dan fungsional masing-masing pihak atau dengan dibagi sama rata.
 Solusi yang lain, untuk permasalahan tak ditemukannya transparasi prosentase kepemilikan, bisa kita up date dari kitab Bughyatul Mustarsyidin : 159 yakni dengan saling memberi, baik dengan jumlah yang sama atau dengan selisih “Tahawubin bi tasawin au tafawutin” tentunya kembali lagi sesuai dengan kesepahaman sebagaimana tersebut di atas.
Untuk istilah harta gono-gini sendiri, rupanya merupakan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa jawa. Yakni Gono artinya laki-laki sedangkan Gini itu perempuan, Sehingga dengan demikian banyak khalayak masyarakat yang mengidentikkan/ menisbatkan masalah harta gono-gini sebagai masalah pembagian harta antara dua pasangan suami isteri yang bercerai. Padahal jika kita merujuk pada definisi, tentu cakupannya lebih luas lagi.
Sedang istilah pengadilannya ialah harta Syarikah, yaitu harta bersama antara suami isteri atau isteri-isteri bagi yang berpoligami. Pada tahun 1977 Pengadilan Tinggi Negeri Medan menyikapi maslah harta gono-gini  dengan mengaplikasikanTafsiran Ibnu Ábbas dalam kitabTafsir Futuhatul Ilahiyah juz 1 : 377 , bahwa “Pembagian warits atau harta kasab (hasil usaha) adalah sama rata bagi  laki-laki. Adapun bagi perempuan menggunakan kaidah Lidzakari mitslu hadhdhil untsayain (Perempuan mendapatkan setengah bagian laki-laki.
Adapun dalam KHI (Kumpulan Hukum Islam) di Indonesia Pasal 97 menyatakan : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Ada lagi yang menisbatkan masalah gono-gini ke dalam pembagian harta menjelang dibagikannya harta warisan. Semisal seorang ayah dan ibu dengan menggabungkan modal untuk bekerjasama sehingga menghasilkan keuntungan yang besar. Kemudian  di saat sang ayah meninggal maka sebelum dibagi harta warisannya, harus dipisahkan terlebih dahulu bagian sang ibu saat masih melakukan kerjasama bisnis dengan sang ayah, setelah itu barulah harta peninggalan/ warisan dibagi pada ahli warits.

Harta gono-gini bisa dimasukkan dalam makna umumnya Firman Allah SWT
 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4
Bagi laki-laki berhak atas bagian dari yang mereka kerjakan dan bagi perempuan barhak atas  bagian dari apa yang dilakukannya (An-Nisa’ : 32)

Permaslahan harta gono-gini merupakan tuntunan syariat islam untuk umat manusia yang terputus berkongsi dalam sebuah bisnis yang mereka geluti. Dan jelas pula kalau harta gono-gini itu bukanlah terklasifikasi dalam bab Faraidl atau harta warisan, di mana kalau pembahasan bab Faraidl juklak-jukliknya sudah tercover dan termaktub dalam kitab suci Al-Qurán.
Qiraatul Quran Indal Muhtadlar
Memutarkan  kaset Al-Qurán mengiringi orang yang sakaratul maut

Hukum memperdengarkan kaset/ As-Syarid al Musajjal dari Al-Qurán secara umum hukumnya boleh, karena untuk perantara/ media supaya hati menjadi lembut. Layaknya dalam Fatawi Ismail : Wa lil wasail hukmul maqashid : Kalau  tujuannya  baik maka hukum perantaranya juga baik.
Ada pula yang mengharamkan secara mutlak seperti Syaikh Ali al Maliki dalam Anwarúl syuruth fi Ahkami Shunduq, karena nantinya akan terjadi  merendahkan al-Qur’an, dengan misal seseorang sedang memutar kaset al-Qurán  tapi oleh yang lainnya disuruh diganti karena lebih menyenangkan bila mendengar musik.
Tapi untuk spesifikasi memutarkan kaset di sisi orang yang muhtadlar (sakaratul maut) itu hukumnya khilaful masyru’/ sunnah menyimpang dari apa yang disyariatkan ketika disamping orang saat sakaratul maut, yakni dengan mentalqin (menuntun) membaca kalimah tauhid dan dibacakannya surat Yasin bagi orang yang berada di sampingnya.
            Fenomena pembacaan Surat Yasin atau al-Qurán baik oleh kaset atau oleh orang indal muhtadlar, sebenarnya dapat ditarik ibrah dengan melihat ayat :
#sŒÎ)ur ˜Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó$$sù  çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 t bqçHxqöè?

 Apabila diperdengarkan Alqurán, maka dengarkan dan diamlah karenanya. Agar  kamu diberi rahmat.
 Sebagian ulama menyaratkan wujudul qari’ (adanya orang yang membaca) demi hasilnya ghayah (tujuan) di akhir ayat tersebut dan sebagian ulama lainnya tidak mewajibkan wujudul qari’ karena yang mathlub (yang dikehendaki) adalah wujudul qiraáh (adanya bacaan) baik yang membaca itu hadir atau tidak.
Namun jika masalahnya orang-orang di sekeliling muhtadlar itu tak ada yang bisa membaca Alqurán maka bolehlah hal demikian dilakukan meski yang lebih utamanya adalah dibacakan oleh orang hidup.
Terlepas dari permaslahan siapakah pembacanya (baik orang atau kaset), pembacaan Alqurán terhadap orang yang sedang sakaratul maut tentu bisa memberi kemanfaatan. Tapi hendaknya jangan sampai pembacaan al-Qurán dengan kaset ini menjadi masyru’ (disyariatkan) karena yang lebih utamanya adalah oleh orang yang masih hidup yang berada disamping si Muhtadlar karena di situ jelasnya amal pekerjaan membaca ayat Al-Qurán, sedangkan kaset mungkin orang yang membacanya itu sudah mati.
Wallahu a’lam

#sŒÎ)ur ˜Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó$$sù  çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 t bqçHxqöè?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar