tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. (#qç/¤x.ur !$oYÏF»t$t«Î/ y7Í´¯»s9'ré& Ü=»ptõ¾r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù tbrà$Î#»yz ÇÌÒÈ
Artinya “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Ayat ke- 39 ini adalah ayat Muqabalah (perbandingan) dari ujung ayat sebelumnya yakni “”Faman tabi’a hudaya fala khoufun ‘alaihim walahum yahzanun” . Sebagaimana terbaca pada texnya, ayat ini menceritakan kebalikan dari golongan pertama, yaitu orang-orang (al-ladzina) yang enggan mengikuti petunjuk Allah SWT. Karena mengingkari dan menolak (kafaru) serta mendustakan ayat-ayatnya (Wakadzdzabu bi ayatina), sekilas redaksi ayat ini kurang pas untuk dijadikan sebagai muqabalah ujung ayat sebelumnya. Karena ayat sebelumnya menggunakan redaksi “”Faman tabi’a hudaya”. Mestinya redaksi yang pas adalah Wal-ladzina lam yattabiú hudaya”. Tetapi manakala ditelusuri kandungannya, justru redaksi tersebut di atas menunjukkan betapa Al-Qurán memiliki ketelitian dan kejelian redaksi yang amat tinggi. Mengapa demikian? Karena seandainya menggunakan redaksi Wal-ladzina lam yattabiú hudaya” (orang-orang yang tidak mengikuti petunjuk), maka akan memasukkan ‘Man lam taglubh hu ad-da’wah’, (orang-orang yang tidak menerima penyampaian dakwah). Dan juga memasukkan Ghoiru mukallafin (orang-orang yang tidak dibebani tanggung jawab seperti anak kecil dan orang yang bisu, tuli) serta memasukkan pula Faqiduul Aqli (orang-orang yang tidak punya/hilang ingatan). Karena orang-orang yang memiliki ketiga latar belakang tersebut, -secara kebahasaan- termasuk kedalam “lam yattabiú hudaya” (yang tidak mengikuti petunjuk) juga. Sementara di ujung ayat ada penjelasan tentang akibat atau resiko yang akan diterima mereka yaitu penghuni neraka selamanya. (Ula-ika ash-habun nari hum fiiha kholidun). Tentu saja ketiganya –atas dasar prinsip keadilan- tidak mungkin dan tidak dapat digolongkan penghuni neraka apalagi selamanya. Oleh karena itu sangatlah tepat apabila Al-Qurán memaparkan muqabalah dengan menggunakan redaksi “Wal-ladzina kafaru wakadz-dzabu bi ayatina”. Untuk menegaskan bahwa yang menhuni neraka adalah orang-orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah, karena pengingkaran dan penolakan (kafaru) serta pendustaan terhadap ayat-ayatnya (wakadz-dzabu bi ayatina). Sedangkan orang-orang tidak mengikuti petunjuknya karena faktor tidak menerima penyampaian dakwah, dan faktor tidak menanggungjawab, serta faktor ketiadaan/kehilangan ingatan, tentu saja tidak menjadi Ashabun-nar.
Mayoritas ahli tafsir menggunakan kerangka textual oriented dalam menafsirkan ujung ayat di atas. Karena mereka mempersepsikn Än-Nar” (Neraka) sebagai tempat penderitaan, penyiksaan yang menyeramkan, penuh kobaran api, dijaga oleh malaikat yang galak, sangar, kejam dan seterusnya. Sehingga akibat buruk/sanksi yang menimpa orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, terkesan hanya akan dialami mereka diakhirat saja. Tetapi seorang pakar tafsir kontemporer memilih menggunakan kerangka kontextual oriented dalam penafsirannya. Maka menurutnya, An-Nar (neraka) sebagi sanksi bagi mereka selain akan dialami di akhirat juga terjadi di dunia. Neraka di akhirat adalah sebuah tempat sebagimana yang dideskripsikan di atas. Dan neraka di dunia dimaksudkan sebagi penderitaan, ketersiksaan yang akan dilalui selama mereka hidup di dunia. Penafsirannya ini didasarkan pada hujjah (argumentasi) sebagai berikut:
Pertama, sebagimana dijelaskan di muka, kedudukan “Wal-ladzina kafaru wakadz-dzabu bi ayatina” (orang-orang yang mengingkari dan mendustakan ayat-ayat-Nya : golongan kedua) ini, adalah sebagai muqabalah dari faman tabiá hudaya (orang-rang yang mengikuti petunjuk-Nya: golongan pertama). Jika golongan pertama mendapat kebahagiaan yang digambarkan dengan “la khoufun álaihim walahum yahzanun” secara mutlak baik di dunia maupun di akhirat, maka logikanya golongan keduapun mendapat sanksi yang sama, berupa penderitaan yang mutlak juga. Dalam arti tidak cuma di akhirat tetapi juga di dunia.
Kedua, kata “bi ayatina” yang menggunakan bentuk jamak menegaskan bahwa ayat yang Allah perlihatkan kepada manusia tidaklah tunggal. Ada dua jenis ayat-ayat Allah. Yang pertama, Ayat Qauliyah yaitu ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kitabnya. Yang kedua Ayat Kawniyah yaitu ayat-ayat Allah dalam bentuk segala ciptaan-Nya berupa alam semesta dan semua yang ada di dalamnya, baik yang besar (Makrokosmos) maupun yang kecil (mikro\kosmos). Bahkan diri manusia sendiri secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat Allah yang kedua ini. Terhadap keduanya, Allah turunkan perintah yang harus diikuti dan dipatuhi manusia, dengan bentuk perintah yang berbeda yang berkaitan dengan ayat Qauliyah, perintahnya di sebut Syariátullah (hukum-hukum agama) dan yang behubungan dengan ayat Kawniyah, perintahnya disebut Sunnatullah( hukum-hukum alam dan hukum-hukum kemasyarakatan). Karena bentuk perintahnya berbeda, maka konsekwensinya ganjaran atau sanksinya juga berbeda. Perintah yang berkaitan dengan Syariátullah,ganjaran dan sanksinya ditunda di akhirat. Kalaupun ada yang dapat dirasakan di dunia, itu hanya sekedar panjeran saja. Dan perintah yang berhubungan dengan sunnatullah, ganjaran dan sanksinya dirasakan dalam kehidupan dunia. Sampai di sini dapat dipahami bahwa siapapun yang mendustakan ayat-ayat Allah yang berkenaan dengan syariátullah, seperti enggan mengerjakan shalat, menunaikan zakat, tidak berpuasa, pasti akan mendapat sanksi penderitaan di akhirat berupa menghuni neraka jahannam. Dan siapapun yang mendustakan ayat-ayat Allah yang berkenaan dengan sunnatullah, seperti mengeksplorasi alam dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan, mengganti daerah resapan dengan villa atau penginapan, juga pasti akan mendapat sanksi penderitaan di dunia berupa bersahabat dengan neraka kehidupan. Allah Maha Adil. Dia tidak memilih-milih, tetapi meilah-milah, Dia juga tidak lalai atau tidur, hanya seringkali menunda atau mengulur waktu.
Kiranya penjabaran pengertian yang semacam ini yang sepatutnya kita ungkap agar tidak terjadi kedangkalan pemahaman dan kegersangan penghayatan agama di kalangan umat, kita merumuskan taqwa janganlah hanya sebatas menyampaikan definisi taqwa dengan Ïmtitsalu awamirillah”(melaksanakan perintah-perintah Allah) saja, tanpa diklasifikasikan awamir (perintah)-Nya. Sekaligus konsekwnsinya lebih lanjut sehingga masih saja di kalangan kita yang mempertanyakan masalah sebagai berikut : “Mengapa non muslim hebat, sedangkan mereka tidak puasa dan tidak shalat?”. Padahal wajar saja mereka hebat, karena mereka telah mampu mengaplikasikan sunnatullah secara baik, sedangkan kita tidak. Atau mempertanyakan persoalan berikut : “Mengapa rizqi tak kunjung tiba, masih saja nestapa, sedangkan i’tikaf dan tahajjud telah membuat punggung mereka tertekuk?”. Padahal ganjaran Syariátullah tidak patut diharap untuk diterima di dunia, karena akan diberikan di akhirat.
Akhirnya, kita mesti menyadari bahwa mayoritas umat kita baru mengamalkan setengah dari taqwa. Sementara setengah taqwa lainnya dilaksanakan baik oleh umat lain. Dan nampaknya tidak sedikit diantara kita yang bukan saja belum menghayati, tetapi mengertipun belum, mengenai makna taqwa yang sesungguhnya. Padahal kerap kali perintah ini disampaikan, di khutbah-khutbah atau di pengajian-pengajian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar