Tafsir al-Baqarah ayat 40 Part 5
..........وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ ( البقرة : 40)
Artinya : “ …………… dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk)” ( al-Baqarah : 40)
Ujung ayat ini adalah ungkapan terakhir argumentasi yang dikemukakan sebagai tambahan pengukuhan terhadap ide (ajakan) kepada kaum Yahudi agar menerima kehadiran al-Quran sekaligus kerasulan Muhammad saw. Setelah lebih dulu mereka diseru dengan seruan yang menisbatkan mereka pada leluhurnya yang saleh Israil (Ya’qub as) supaya tergerak hati mengikuti jejak-jejak baiknya ‘ya Bani Israil’, kemudian mereka disuruh mengingat nikmat yang tak terkira, yang telah diterima leluhur mereka yang imbas positif nya mereka rasakan juga ‘udzkuru ni’matiyallati an’amtu ‘alaikum’, lantas mereka diperintah untuk memenuhi janji yang telah mereka ikat sendiri dengan Allah ‘wa aufu bi’ahdi’, maka kini mereka dimantapkan kembali, supaya mereka tidak perlu merasa takut kepada pemuka-pemuka agama mereka, yang demikian kuat dan memiliki kuasa, untuk tegas bersikap reliable (memenuhi janji) beriman kepada al-Quran dan Muhammad saw ’waiyyaya farhabun’. Allah menegaskan lewat argumentasi ini –yang menggunakan ungkapan ikhtisas (pengkhususan)- bahwa kalaupun mereka takut, mestinya mereka takutnya hanya kepada Allah saja, tidak patut untuk takut kepada selain-Nya. ‘Khafuni wala takhafu siwaya’ demikian dijelaskan dalam salah satu tafsirnya. Karena betapapun pemuka-pemuka mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan, pada dasarnya kekuatan dan kekuasaannya bersifat nisbi belaka. Pemilik kekuatan dan kekuasaan hakiki hanyalah Allah swt sendiri.
Dalam pandangan pakar ahli balaghah (rethorika), ungkapan ikhtisas (pengkhususan) ayat diatas berada pada martabat (level/posisi) tertinggi. Menurut mereka ada empat martabat (posisi/level) dalam ungkapan ikhtisas (pengkhususan). Pertama merupakan level terendah adalah ungkapan ikhtisas بمجرد التقديم للمفعول (dengan hanya mendahulukan kata yang menjadi obyek) seperti ungkapan اياك نعبد. Pada level kedua adalah ungkapan ikhtisas بتقديمه على فعله العامل في ضميره (dengan mendahulukan obyek atas kata kerja yang mempengaruhi kata ganti obyek itu) seperti ungkapan زيدا رهبته . Sedang level yang ketiga adalah ungkapan ikhtisas بتقديمه على فعله مع اقتران الفعل بالفاء (dengan mendahulukan obyek atas kata kerja, beserta menyertakan kata kerja dengan ‘fa’) seperti ungkapan وربك فكبر. Dan menduduki level yang tertinggi adalah ungkapan seperti ayat di atas[واياي فارهبون] yaitu ungkapan ikhtisas بتقديمه على فعله العامل في ضميره مع اقتران الفعل بالفاء (dengan mendahulukan obyek atas kata kerja, yang mempengaruhi kata ganti obyek, beserta menyertakan kata kerja dengan ‘fa’). Digunakannya level tertinggi dalam mengungkapkan ikhtisas, dan kedudukan ujung ayat tersebut sebagai takmilah (penyempurna) bagi ungkapan-ungkapan sebelumnya, mensiratkan peneguhan yang luar biasa mendalam, bahwa layaknya dan seharusnya ‘takut kepada Allah’ menempati posisi tertinggi dan satu-satunya rasa takut yang menguasai hati dan jiwa mereka. Dimana tanpa dengan hal ini, mereka tidak akan dapat merealisasikan ‘ahdur-risalah (perjanjian menyatakan keimanan serta menyatakan kesiapan memberikan dukungan dan pembelaan terhadap Nabi Muhammad saw).
Ayat diatas secara tekstual ditujukan kepada kaum Yahudi Madinah. Tetapi secara kontekstual, terarah pula pada diri kita. Jika pada kaum Yahudi ikhtishasur-rohbah lil-Lah (pengkhususan rasa takut hanya kepada Allah semata) terkait dengan ‘ahdur-risalah, maka pada diri kita ikhtishasur-rohbah lil-Lah terkait dengan ‘ahdul-fitrah. Artinya perjanjian primordial kita dengan Allah untuk mempertuhankan-Nya dan mentaati segala perintah-Nya, tidak akan dapat terealisasi manakala rohbah tidak menguasai hati kita, dan menempati pada posisi tertinggi mengalahkan ketakutan-ketakutan pada selain-Nya. Kita patut terus menerus mengkaji sejarah keagungan salafunas-shalih yang mulia, yang memiliki kwalitas rohbah luar biasa, dalam posisi sebagai pejabat yang berkuasa maupun hanya sebagai rakyat jelata. Jangankan di tempat yang terang-terangan, di tempat yang tersebunyi sekalipun mereka takut untuk melakukan kesalahan dan pelanggaran. Salah satunya kita dapat membaca keagungan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab ra. Saking takutnya kepada Allah swt, Umar bin Khattab ra hampir setiap malam ngeluyur ke tengah-tengah kampung, keluar masuk lorong melakukan sidak untuk mengetahui langsung apa yang terjadi pada rakyatnya.Kalau-kalau ada rakyatnya yang kelaparan, atau ada yang kena wabah penyakit atau tertimpa musibah lain. Suatu malam menjelang subuh saat sedang sidak, langkah kaki beliau terhenti demi mendengar dialog dari sebuah rumah gubug antara seorang ibu janda dengan putrinya. Si Ibu menyuruh putrinya mencampur susu yang akan dijual besok dengan air, karena hasil perahan yang diperoleh tadi siang sedikit. Menurut ibunya jika tidak dicampur air, hasil penjualannya tidak dapat mencukupi kebutuhan makan keluarga hari ini. Si anak tidak setuju dengan pendapat ibunya dengan alasan Khalifah melarang keras berlaku curang. Si Ibu mengemukakan alasan : “ Khalifah tidak akan mengetahui perbuatan kita ini “. Anaknya dengan serius mencoba meyakinkan : “ Khalifah Umar memang tidak mengetahui, tapi Tuhan Yang Maha Tahu pasti mengetahuinya. Aku minta ibu jangan sampai berbuat demikian”. Akhirnya mereka bersepakat untuk tidak mencampurkan air, dan akan menjual esok hari, susu perahannya yang murni berapapun hasil yang akan mereka dapatkan nanti. Umar bin Khattab haru mendengar dialog itu. Rakyatnya yang miskin dan dalam keadaan memprihatinkan tetap taat aturan, tidak melakukan pelanggaran, karena takutnya kepada Allah ta’ala. Umar juga merasa kagum terhadap keteguhan hati putri ibu janda itu. Selanjutnya Umar memberi mereka bantuan sebagai rasa tanggungjawabnya sebagai seorang khalifah, dan Umar meminang putri itu untuk dinikahkan dengan putranya ‘Ashim. Umar berharap dengan menikahkan anaknya dengan wanita yang memiliki rohbah kepada Allah swt, kelak akan lahir keturunan yang shalih yang menjadi pemimpin di masa nanti. Harapan Umar menjadi kenyataan. Dari pernikahan mereka lahir seorang putri bernama Laila yang kemudian menikah dengan Abdul ‘Aziz bin Marwan, yang kemudian melahirkan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz seorang cucu yang mewarisi kepemimpinannya dan menjadi khalifah yang ternama, yang dalam serjarah digambarkan sebagai Khalifah yang di kepalanya terdapat akal bijak, di dadanya terdapat hati pahlawan dan di mulutnya terdapat lidah sastrawan.
Kisah diatas menggambarkan betapa baik dan indahnya kehidupan di masa silam. Pejabatnya bertanggung jawab dan selalu memperhatikan nasib rakyat. Rakyatnya walau dalam keadaan terdesak tidak melanggar aturan tetap taat. Karena semua bersikap dan bertindak, dengan berpijak pada ‘rohbah’ kepada Sang Penguasa Jagat. Bandingkan kini dengan kondisi yang kita hadapi. Apakah pejabat-pejabat kita memiliki tanggung jawab? Merasa bahwa di pundak mereka terdapat beban penderitaan rakyat? Dan apakah rakyat-rakyat kita patuh terhadap aturan dan perundang-undangan? Memiliki kesadaran untuk tidak melakukan pelanggaran? Bukankah kita telah punya banyak sistem, mekanisme atau apapun namanya untuk melakukan pengawasan? Lalu bagaimana hasilnya? Mengapa? Karena pada prinsipnya kita harus jujur mengakui, bahwa ‘rohbah’ sudah tidak lagi menghiasi jiwa dan hati anak-anak negri ini. Shadaqal-Lahul ‘adzim Yang telah berfirman ‘wa iyyaya farhabuun’.
PINJAM KAIN DI KEMBALIKAN DENGAN UANG
Pert: Bagaimanakah hukumnya seseorang yang meminjam sepotong kain, kemudian ia mengembalikan uang seharga kain tersebut. Bolehkah hal tersebut dianggap sebagai jual beli?
Jwb: Boleh (sah) karena demikian itu kinayah jual beli.
ما كان صريحا في بابه ولم يجد نفاذا في موضعه كان كناية غيره {القليوبي على المنهاج}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar