Rabu, 19 Agustus 2009

Isra Mi'raj

Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya supaya kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS al Isra:1).
Umat islam Indonesia setiap tahun selalu tergugah untuk menyelanggarakan peringatan hari besar Isra Mi'raj Baginda Nabi besar Muhammad Saw dengan bukti banyaknya pengajian-pengajian atau acara-acara islami lainnya yang diselenggarakan dalm rangka mengambil 'ibrah dari peristiwa isra mi'raj.
Menurut keterangan yang paling kuat dan yang paling populer dikalangan islam Negara tercinta kita, bahkan seluruh dunia, bahwa peristiwa Isra Mi'raj Nabi besar Muhammad Saw. terjadi pada tanggal 27 Rajab, sesudah pengangkatan beliau sebagai Rasulullah atau kira-kira setahun sebelum hijrah ke Madinah.
Menjelang peristiwa Isra Mi'raj itu, Nabi Saw. beserta para pengikutnya baru saja mengalami pemboikotan total oleh kaum jahiliah Quraisy selama tiga tahun dilembah Syi'b, suatu tempat yang terletak diluar kota Makkah.
Tahun itu merupakan tahun yang banyak mengalami kesulitan dan kesedihan serta duka nestapa, bukan hanya pukulan dari musuh-musuhnya, tetapi juga beliau pribadi berturut-turut menerima cobaan yang sangat berat :
Pertama : meninggalnya paman beliau yang bernama Abu Thalib. Abu Thalib adalah seorang tokoh Quraisy yang disegani, yang mengasuh Muhammad sejak kecil, serta selalu siap membela keponakannya dari setiap serangan dan ancaman musuh-musuhnya meskipun dia sendiri meninggal belum masuk islam.
Kedua : wafatnya siti khadijah, Istri Nabi Saw. Beliau wafat hanya berselang beberapa hari dari wafatnya Abu Thalib. Siti Khadijah bukan sekadar istri biasa saja dalam kehidupan Rasulullah Saw.,tetapi beliau juga sebagai tulang punggung yang tangguh, pembela yang gigih dalm membantu perjuangan Rasulullah Saw. Khadijah adalah orang pertama yang membenarkan dan beriman kepada Rasulullah yang selanjutnya menyerahkan dan mengorbankan semua harta bendanya untuk perjuangan suaminya.
Ketiga : penghinaan dan penganiayaan yang dialami Nabi di Thaif. Setalah ditinggal wafat oleh kedua pembantu utamanya, Rasulullah sangat sedih, teror dari kaum Jahiliah semakin membabi buta. Dalam kedaan ini, Nabi mencoba mengajak orang-orang Thaif dengan pertimbangan di Thaif masih terdapat beberapa kepala suku yang masih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Nabi, dengan harapan bisa membantu beliau. Tetapi kenyataannya adalah sebaliknya, Thaif malah mengusir dan melempari Nabi dengan batu sehingga beliau bersama anak angkatnya, Zaid bin Haritsah menderita luka-luka. Walaupun demikian beliau tetap berdoa: Allahumma ihdi qaumi fa innahum la ya'lamun. Ya Allah tunjukanlah pada kaumku, karena mereka (melakukan demikian) disebabkan mereka tidak mengetahui .
Inilah salah satu tanda kebesaran jiwa Nabi Muhammad Saw. Disaat Krisis menimpa dirinya beliau masih tetap mendoakan agar mereka (orang-orang yang berbuat jahat padanya) mendapatkan petunjuk .(Subhanallah ).
Pada saat-saat yang gawat itulah terjadi peristiwa Isra Mi'raj sebagai jawaban dari allah Swt. terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi Nabi Saw. dan pengikut-pengikutnya. Dalam peristiwa Isra Mi'raj itu dapat disimpulkan bahwa Nabi Saw mendapatkan injeksi tenaga baru, yaitu tambahan kekuatan jiwa dan kekuatan keyakinan. Sehingga lebih mantap dalam melanjutkan perjuangan bersama para shahabat yang setia, untuk menegakkan kebenaran yang akan ditugaskan Allah kepadanya, ditengah-tengah kegelapan umat manusia di permukaan bumi pada waktu itu.
Namun sekalipun peristiwa ini sudah berlangsung lama yaitu sekitar 1431 tahun yang lalu masih terjadi beberapa hal yang menjadi kontroversial diantaranya adalah yang akan kita bahas pada edisi Al Ghadier kali ini, yaitu tentang "apakah Rasul ber-isra mi'raj ruhan wa jasadan am la ?(dengan ruh dan jasad atau tidak ).
Mengenai apakah rasul ber-isra mi'raj ruhan wa jasadan am la (dengan ruh dan jasad atau tidak ). Ada tiga pendapat :
Pertama: Bahwa Isra dan Mi'rojnya Rasulullah dengan ruh saja dan jasadnya tidak beranjak dari tempat tidur Rasulullah saw. Pendapat ini merupakan maqalahnya sahabat Mu'awiyah bin Abi Sufyan, siti Aisyah binti Abi Bakar, Hasan Bashri, dan Ibnu Ishaq radhiyallahu 'anhum.
Diriwayatkan dari siti Aisyah: Demi Allah, jasadnya Rosulullah selalu ada disisiku, tetapi Rosulullah mi'raj dengan ruhnya.

Kedua: Sekelompok yang berpendapat Rasulullah Isra dengan jasadnya dalam keadaan sadar ke Baitul maqdis dan mi'raj dengan ruh. Mereka berhujjah dengan ayat: "Subhana alladzi asra bi'abdihi lailan min almasjidi al harami ila almasjidil al aqsha…" Kemudian masjid Aqsha menjadi tempat pemberhentian Isra.

Ketiga: Mayoritas ulama dan ahlussunah wal jama'ah berpendapat bahwa Isra dan mi'rajnya nabi Muhammad Saw dengan jasad dan ruhnya dalam keadaan sadar tidak dalam keadaan tidur. Adapun dalilnya yang pertama Firman Allah " Bi 'Abdihi". Kata al- 'abdu menunjukkan pada jasad dan ruh. Yang kedua Isra' dengan buroq. Sedangkan yang namanya buroq ialah kendaraan. Dan kendaraan merupakan sesauatu yang dinaiki oleh jasad bukan ruh.
.
Apabila isra dan mi'raj dilakukan dengan tanpa jasad dan dalam keadaan tidur maka hal itu bukan merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah dan bukanlah Mu'jizat, karena hal itu adalah sesuatu yang biasa. Sedangkan Isra dan Mi'raj adalah suatu Mu'jizat yang diberikan Allah pada Nabi Muhammad Saw., dan bukankah Mu'jizat adalah Ma Khoriqun Lil 'Adat, sesuatu yang keluar dari kebiasaan?
Ulama Salaf dan ulama kontemporer berselisih mengenai isra mi'raj, apakah dilakukan dengan ruh dan jasad atau tidak. Sekelompok golongan berpendapat bahwa Isra dengan ruh dan badannya tidak terpisah dari tempat tidurnya. Diceritakan dari Hasan dan Ibnu Ishaq dan sekelompok golongan berpendapat bahwa: Isra nya Nabi dengan jasad pada Baitul Maqdis dan ketika mi'roj dengan ruh. Para pembesar ulama salaf berpendapat bahwa Nabi saw isra dengan jasad dan ketika bangun beliau menaiki buroq sampai di Baitul Maqdis dan shalat di Baitul Maqdis kemudian isra dengan jasadnya. ( Tafsir Qurthubi Juz 10 hal 180 )
Adapun apa yang disampaikan oleh Sayidah 'Aisyah dan sayid Mu'awiyah r.a. bahwa Nabi dalam kedaan tidur seolah-olah hal itu tidak lah dibenarkan. Kalau hal itu dibenarkan maka hal itu bukan merupakan hujjah. Karena keduanya tidak menyaksikan, siti Aisyah masih kecil waktu itu, dan Mu'awiyah masih dalam kedaan kafir.
Diluar dari pada perdebatan sengit tadi baik yang mengatakan isra mi'raj itu dengan ruh saja, dengan mimpi atau dengan ruh beserta jasadnya, harus kita akui dan yakini bahwa peristiwa Isra Mi'raj adalah Sunatullah, yaitu cara Allah menyalurkan kehendak dan kekuasaan-Nya terhadap para makhluk. Sunatullah ini sesuai dengan ilmu-Nya yang tak terbatas, sedangkan kita umat manusia hanya sedikit mengetahui ilmu dan sunatullah itu. Katakanlah tak seorangpun dilangit dan dibumi mengetahui urusan ghaib kecuali allah dan mereka tak mengetahui kapan mereka itu akan dibangkitkan. (QS an Naml 65)
Dalam islam, akal dan iman saling mengisi dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas manusia untuk mengabdi kepada Allah dan mengharapkan keridhoan-Nya.
Sebagai contoh yang menyangkut urusan isra mi'raj ini adalah tentang kecepatan Nabi Saw. dalam menjelajahi langit. Menurut ilmu alam berdasarkan teori realitivitas khusus dari Einstein, kecepatan materi tidak dapat melampaui kecepatan cahaya dalam vacuum (hanpa udara), yaitu 300.000 kilometer perdetik. Misalnya ketika Nabi Saw. mi'raj kelangit dengan kecepatan cahaya tersebut, maka untuk mencapai bintang terdekat kepada matahari (tatasurya) kita saja yaitu bintang proxima Centauri harus diperlukan waktu 4.27 tahun.
Oleh karena itu Nabi Muhammad mi'raj tidak dengan kecepatan materi, tetapi dengan sunatullah yang tak terjangkau oleh kekuatan akal manusia.

Shalat Tarawih

Agama merupakan tali yang menghubungkan manusia dengan tuhannya. Lewat agama, manusia melakukan komunikasi subjektif dalam momen-momen spiritual yang mediumnya disediakan dalam kegiatan ritual. Melalui agama, manusia menyerahkan kepasrahan terakhir dan sekaligus manjadikannya sebagai tempat untuk mengadu dan meminta perlindungan ketika menghadapi kemelut yang menimpa perjalanan kehidupannya. Termasuk disini, agama adalah tempat yang memiliki dan menjanjikan kemenangan spiritual bagi orang yang dalam kondisi paling kritis sekalipun.
Sebagai jalan yang mengatur rel komunikasi dan interaksi ini, Allah menggariskan ajaran syariat sebagai garis yang menuntun manusia untuk melakukan kewajiban dirinya selaku makhluk. Ketentuan Allah ini digambarkan dalam ketentuan-ketentuan syariat, yang substansinya merupakan jalan yang membimbing manusia agar tidak melenceng, tetapi tetap dalam rel yang telah digariskan oleh-Nya. Agama merupakan tali yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Lewat agama, manusia melakukan komunikasi subjektif dalam momen-momen spiritual yang mediumnya disediakan dalam kegiatan ritual.
Kejadian ini juga terjadi pada pembahasan kita kali ini (shalat tarawih), dimana pada bulan Ramadahan, seperti yang telah kita ketahui bersama, merupakan saat penggodogan dan pematangan seoarang hamba dengan berusaha semaksimal mungkin untuk memerangi hawa nafsu melalui puasa, shalat tarawih, tadarus alqur’an, memuraja’ah kutub mu’tabarah dan amalan-amlan lainnya yang masih dalam lingkup tema mensucikan diri yang mengarah pada libtigha-i mardlatillah di dalam bulan yang penuh keagungan dan keutamaan.
Shalat tarawih bagi umat islam adalah sudah tak asing lagi, baik dalam ruang lingkup nasional Indonesia maupun internasional dunia islam di seluruh Dunia. Hampir seluruh muslim menjalankan dan mengamalkan Sholat Tarawih. Pada awal Ramadhan (malam-malam pertama) biasanya masjid-masjid akan penuh, begitu juga mushalla pun penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang berbaur dan bercampur untuk melakukan shalat sunat yang dilakukan setiap tahun ini. Mereka datang ke masjid atau mushalla untuk melakukan shalat isya sekaligus shalat tarawih. Shalat tarawih menyisakan sebuah polemik yang akan kita bahas pada dirosah ilmiah al Ghadier kali ini.
Terpapar dalam kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjid al-Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rakaat dan 3 rakaat Witir.
Golongan NU yang memilih Tarawih 20 rakaat ini berdasar pada beberapa hadits,
Dalil pertama: Madzhab kita (Syafiiyah) menyatakan: Shalat Tarawih itu dijalankan 20 rakaat. Ini berdasar pada hadits nabi yang diriwayatkan Imam Baihaqi dengan Sanad Shahih, dari Saib bin Yazid as-Shababy, ia mengatakan: kita mengerjakan shalat tarawih pada masa Umar bin Khatab dengan 20 rakaat ditambah witir. ( Al-Hawy li al-Fatawa li al-Suyuthi juz I hlm 350; dan Fath al-Wahhab, juz I hlm 58 )
Dalil kedua: Betul bahwa kaum Muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Ustman dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan ini pendapat sebagian mayoritas pakar-pakar hukum islam.( Fiqh as-Sunnah,juz II, hlm 54 )
Dalil ketiga: “Ibnu Abbas mengatakan: Rasul shalat di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 rakaat ditambah witir. (HR. Baihaqi dan Thabrani, dari Abd bin Humaid)
Dalil ke empat: Dari Malik, dari Yazid bin Rumman, ia mengatakan: Orang-orang mengerjakan (shalat Tarawih) pada zaman Umar bin Khattab sebanyak 23 rakaat. ( HR. Imam malik, dalam kitab al-Muwaththa’ juz I, hlm 138 )
Alasan Imam Syafi’i memilih jumlah raka’at shalat Tarawih 20 rakaat tersebut, karena Ijma’ as-Shohabah sejak zaman Umar bin Khatab r.a. sampai masa-masa berikutnya. Juga kesepakatan ulama-ulama Ahlu al-Madinah selama ini (sampai hari ini), bahwa shalat Tarawih di Masjid Nabawi di Madinah dilakukan dengan 20 rakaat, juga di Masjid al-Haram Makkah, dan Masjid al-Aqsha di alQuds (Yerusalem).
Memang ada sumber-sumber lain, yang menyebutkan jumlah raka’at shalat Tarawih itu bukanlah 20 rakaat akan tetapi ada yang 8 raka’at, 12 raka’at, 36 raka’at, 40 raka’at, dan 46 raka’at, masing-masing mempunyai alasan. ( Baca lebih jelas fathu al-Bari oleh Al as-Qolani, Syarakh az-Zarqoni, oleh Sayidi Muhamad Az-Zarqoni)
Para Imam menetapkan akan kesunahan melaksanakan shalat Tarawih berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Syaykhani, bahwa Rasulullah Saw. keluar pada malam-malam Ramadhan, yakni 3 hari yang yang berbeda-beda: pada malam tanggal 23, 25, dan 27, Nabi saw shalat di Masjid dan para sahabat shalat beserta beliau dan Nabi shalat beserta para sahabat 8 rakaat (dengan 4 salaman) dan para sahabat menyempurnakan shalat Tarawih di rumah mereka masing-masing. Maka disitulah terdengar dari rumah mereka seperti suara lebah. Dan dari sinilah Nabi menjelaskan bahwa beliau mensunahkan shalat Tarawih kepada para sahabat dan jama’ah akan tetapi Nabi tidak shalat beserta sahabat dengan 20 rakaat seperti apa yang dikerjakan oleh sahabat dan sahabat yang setelahnya sampai masa-masa sekarang. Dan Nabi tidak shalat beserta sahabat dengan 20 rakaat karena khawatir akan difardlukan (dianggap fardlu) oleh para sahabat. ( Hujjah Ahli Sunnah wal Jamaah hlm 25-26)
Sampai sekarang masalah ini ternyata masih menarik, meskipun mayoritas ulama-ulama fiqih sependapat, bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu tidak ada batas tertentu yang ditetapkan, shalat Tarawih itu merupakan shalat sunnah, yang rokaatnya tidak ditentukan jumlahnya secara pasti, tujuannya untuk menghidupkan kegiatan ibadah di malam hari pada bulan Ramadhan. Adapun Khalifah Umar bin Khattab dengan imamnya Ubay bin Ka’ab melakukan sholat tarawih dengan jumlah 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat, sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz menganjurkan shalat Tarawih sebanyak 36 rakaat (sebagai kompensasi dengan ahlu makkah yang melaksanakan thawaf di Baitullah setiap 4 rakaat).
Adapun dalil mengerjakan shalat tarawih berjama’ah berdasarkan hadits : 'Alaykum bisunnati wa sunnatil khulalafai ar Rosyidiina min ba'di…
dan juga hadits HR Ahmad dan Tirmidzi dan Ibnu Majjah
Iqtadu billadzayni min ba'di, abu bakrin wa 'Umaro… Yang artinya: Nabi Saw bersabda : Ikutilah 2 orang setelah aku yakni Abu Bakar dan Umar. (HR. Ahmad dan Tirmidzi dan Ibnu Majjah
Adapun ulama yang merealisasikan sholat Tarawih sampai 8 rakaat mereka bertendensi pada haditsnya Siti Aisyah r.a :
عن عا ئشة رضي الله عنها قالت : ماكان رسول الله ص م يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا
فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة قلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر ؟ قال: ياعائشة إن عيني تنامان ولاينام قلبي . متفق عليه
Diriwaytakan dari Aisyah r. a berkata : Rasulullah tidak menambahi pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya atas melaksanakan shalat 11 rokaat dengan 4 kali salaman. Jangan menanyakan akan kebaikan dan panjangnya rokaat,kemudian Rasulullah shalat dengan 4 salaman, kemudian Jangan menanyakan akan kebaikan dan panjangnya rokaat, kemudian Rasulullah shalat 3 rokaat. Aisyah berkata : ya Raulullah Apakah engkau tidur sebelum melaksankan shalat witir. Nabi menjawab : wahai Aisyah bahwa kedua mata saya tidur akan tetapi hatiku tidak tidur ( Muttafaqun Alaih )

Hanya saja bertendensi dengan hadits ini menurut Ahli Sunni itu dianggap tidak sah , karena maudu’nya (penempatan sasaranya) adalah shalat witir. Dan telah kita ketahui bersama bahwa minimal shalat witir itu dilakukan satu rakaat dan maksimalnya 11 rakaat. Dan pada saat itu nabi melakukan shalat setelah tidur sebanyak 4 rakaat dengan dua salam secara berturut-turut kemudian melakukan 4 rakaat lainnya dengan dua salam pula dan mengerjakan 3 rakaat dengan dua salam juga. Shalat ini diketahui sebagai shalat witir bukan shalat tarawih dengan bertendesikan beberapa hujjah .
Pertama:Pertanyaan Aisyah ra. Yakni Atanamu qabla an tutira(apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir?)menunjukkan shalat yang dilakukan Nabi adalah shalat witir karena shalat tarawih itu dilakukan setelah shalat Isya dan sebelum tidur.
Kedua :Imam Bukhori menempatkan hadits diatas kedalam bab shalat witir. Oleh karena demikian maka hilanglah kontradiksi dan sempurnalah kumpulan beberapa dalil yang telah disebutkan .
Dengan tidak menghilangkan asumsi umum tentang bulan Ramadhan sebagai bulan yang penuh keberkahan yang diisi dengan berbagai amaliah ibadah baik itu denagan puasa,shalat tarawih ,shalat witir,tadarus al Quran ataupun dengan amaliah ibadah lainnya Namun secara umum ibadah kepada Allah merupakan kewajiban manusia kepada Allah selaku makhluk dan menjadi pilar keagamaan atau keislaman seseorang . Ibadah pada dasarnya adalah proses latihan yang agung dalam character building (pembanginan akhlak)dan meluruskan akhlak
Pelaksanan ibadah juga didalamnya mengandung asas pengakuan manusia sebagai hamba dan pengakuan manusia pada Allah sebagai tuhan dzat pencipta segala sesuatu (al iqrar bi rububiyatillah wa bi ‘ubudiyatinnafsi). Pencipta dan pemberi kepada semua ciptaan-Nya. Maka wajib bagi manusia untuk menyembah dan bersyukur atas nikmat yang diberikan dalam kehidupan manusia sehari hari.
Ibadah juga merupakan salah satu jalan yang mendekatkan kepada Allah dan mengalahkan segala rintangan duniawi yang timbul dan menghadang setiap gerak langkahnya .

Mengenai Nishfu Sya'ban,,,

NISHFU SYA’BAN

Fiqh di Indonesia itu masuk bukan dalam keadaan murni tetapi fiqh yang masuk di Indonesia yaitu sudah tercampur dengan tasawuf (bukan fiqih ansikh, tapi fiqih mansukh bittashowwuf ) seperti seorang santri yang belajar ilmu-ilmu fiqh dibarengi dengan ilmu tasawuf, seperti belajar kitab taqrib diiringi dengan kitab ihya ‘ulumuddin ,dan seperti keberadaan kiyai yang harus punya thariqat. Oleh karena begitu kentalnya nilai-nilai tasawuf maka banyak sekali ditemukan sikap-sikap yang mencerminkan tasawuf dari para mutasawwifun sedangkan para mutasawwifin ketika mereka mendapatkan sesuatu maka mereka melakukan sujud (shalat). Hal ini Karena mereka meenginginkan memahami kebenaran dari Allah Swt. Dan sebagai amaliyah qurbah mereka kepada Allah swt. Sebagaimana Rasulllah saw ketika mendapatkan sesuatu maka beliau melakukan sholat .Idza ashobahu syai un shalla rak’ataini.
Diantara shalat-shalat itu ialah sholat nishfu sya’ban yang pelaksanaannya sudah masyhur ditengah-tengah masyarakat kita lantas bagaimana kita menyikapinya dan apa esensi dari sholat tadi hal ini kita akan bahas dalam dirasah ilmiah al-ghadhier MTM Kempek. Sebagian ulama mengambil dalil dari surat ad-Dukhon ayat 3 yang berbunyi
ِإنَّا أَنْزِلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ
Artinya: “ Sesungguhnya kami menurunkan al-qur’an pada malam yang diberkahi dan sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang memberi peringatan. Sekalipun menurut mayoritas ulama tafsiran dari lailatin mubarakatin tapi ada yang menafsiri bahwa lailatun Mubarakatun adalah malam nisfu sya’ban dan ini merupakan pendapatnya ‘Ikrimah dan golongannya yang beralasan bahwa malam nisfu sya’ban memiki empat nama yaitu lailatul mubarokah, lailatul baroah, lailatul rohmah, lailatul shokk. Dan didalamnya terdapat keutamaan ibadah yang tercantum dalam hadits: Barang siapa yang shalat pada malam itu sebanyak 100 rokaat maka Allah mengutus 100 Malaikat padanya 30 memberitakan gembira dengan suarga dan 30 menjaganya dari siksa neraka dan 30 menolak bencana dan bahaya dunia dan 10 membentenginya dari tipu muslihat syaython. Dan didalamnya juga diturunkan rahmat yang tertera dalam hadits sesungguhnya Allah merahmati umatku pada malam ini sebanyak bulu kambing bani kalb. Dan didalamnya juga terhasilkannya maghfiroh sesuai dengan hadits sesungguhnya Allah Swt. Mengampuni seluruh umat muslim pada malam itu terkecuali orang pembohong, penyihir, peminum arak, orang yang menyakiti orang tua dan orang yang berzina.(lih Hasiat Showi ‘ala tafsir jalalain juz 4 hlm 76)
Adapun dalil shalat nisfu sya’ban ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال قال رسول الله ص. م. أََتََانِيْ جِبْرِيْلَ لَيِلَةَ نِصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ يا محمد هذِهِ لَيْلَةٌ تُفْتَحُ فِيْهَا اَبْوَابُ السَّمَاءِ وَأَبْوَابُ الرَّحْمَةِ فَقُمْ وَصَلِّ وَارْفَعْ رَأْسَكَ وَيَدَيْكَ إِلى السَّمَاءِ. فَقُلْتُ يَا جِبْرِيْلُ مَا هذِهِ الَليْلَةُ. فَقَالَ هذِهِ لَيْلَةٌ يفتح فيها ثلاث ما ئة أبواب الرحمة فيغفر الله جميع من لا يشرك بالله إلخ
Artinya : “ Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. berkata: bahwa Rasulullajh Bersabda Jibril datang kepadaku pada malam nishfu sya’ban kemudian Jibril berkata: “ ya Muhamad malam ini adalah dibukanya pintu-pintu langit dan pintu rahmat maka berdirilah, shalatlah, dan angkatlah kepala dan kedua tanganmu ke langit kemudian aku berkata wahai Jibril malam apa ini maka Jibril berkata malam ini adalah malam dibukakannya 300 pintu rahmat maka Allah mengampuni seluruh manusia yang tidak musyrik ……… Selanjutnya Nabi melakukan shalat dan menagis dalam sujudnya dan berdoa Allahuma Inni a’udzubika … .
Ditambah lagi dengan salah satu sufi terkemuka yang terkenal dengan julukan Hujjatul Islam yakni Imam Ghohzali berkata dalam kitab Ihya Ulumdin yang menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Hasan al-Bashri Rahimahumullah bahwa 30 orang sahabat Nabi menceritakan padaku bahwa barang siapa melakukan shalat (100 rakaat yang setiap dua roakaat diakhiri dengan salam dan setiap selesai fateha membaca surat ikhlas 11 kali) pada malam 15 sya’ban (nishfu sya’ban) maka Allah memendangnya sebanyak 70 pandangan dan setiap pandangan Allah menetapkannya baginya 70 hajat yang paling rendahnya adalah maghfiroh. (lih I’anatuththolibin juz I hlm 271)
Dan banyak lagi hadits yang berbilangan dari tabiin kota syam seperti Khuwaild bin Maydan dan lain-lain mereka mengaggungkan dan memulyakan malam nishfu sya’ban dan bersungguh-sungguh ibadah didalamnya. Namun setelah hal itu masyhur terjadi perbedaan persepsi tentang hal itu, ada yang menerima dan sesuai dengan pendapat ini dan ada lagi yang mengingkarinya seperti ahli hijaz yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah ibadah. akan tetapi qoul yang haq adalah apabila seorang mukmin menyibukkan diri pada malam tertentu seperti nishfu sya’ban dengan shalat, dzikir, baca al-qur’an dan ibadah-ibadah mulya lainnya maka hal itu tidaklah mengapa. Namun apabila disertai dengan berlebih-lebihan (isrof) dalam medianya seperti menyalakan lampu dan lilin yang berlebihan maka ini adalag bid’ah syayyiah menurut imam Awza ‘i diantara hadits yang lain adalah يرفع الله أعمال العباد كلها فى هذا الشهر artinya Allah mengangkat seluruh amal hamba pada bulan ini (Durrotun Nasihin)
Adapun dalil-dalil yang menolak shalat nishfu sya’ban ialah perkataan imam Shohibul I’anah pada juz I 270 menyebutkan bahwa yang termasuk dalam bid’ah madzmumah dimana melakukannya adalah berdosa dan wajib untuk mencegahnya ialah sholat nishfu sya’ban 100 rokaat. Adapun hadits-haditsnya maudu’ yang batil hal senada disampaikan pula oleh Imam Nawawi dalam kitab majmu’nya bahwa shalat nishfu sya’ban adalah bid’ah qabihah.
Hal serupa juga dipaparkan dalam kitab tuhfatul muhtaj juz II.”Dan tidak sah niat shalat dengan niat yang dianggap baik oleh kalangan para sufi tanpa dasar sunnah sama sekali”
Dengan demikian oleh karena banyaknya pendapat yang tidak memperbolehkan shalat nisfu sya’ban maka sebagian ulama berfatwa bahwa shalat nishfu sya’ban adalah bid’ah qabihah karena untuk berhati-hati dalam perkara yang tidak memiliki dalil seperti hal ini,namundengan tidak menutp mata bahwa shalat ini pernnah dilakukan olehimam Ghozali dan hal ini termaktub dalam kitab maha karyanya yaitu Ihya Ulumudin sebagai sikap ta’dhim dan tabarruk kepada beliau dan dengan tidak menampik realita yang sudah merambah dikehidupan masyarakat yang mengisi malam nisfu sya’ban dengan berbagai acara amaliah maka dikompromikan sebsgai jalan tengah sebagaimana yang talah diputuskan oleh mu’tamar NU ke-6 di Pekalongan bahwa jika seseorang memutlakkan shalat kemudian berdoa sesudahnya dengan sesuatu yang mengandung semisal isti’adzah atau istikharah secara mutlak maka shalat tersebut boleh saja (kitab tuhfatul muhtaj juz II).
Hanya saja terlepas dari dua pendapat oposisi yang saling berlawanan satu sama lainnya yakni pendapat yang mendukung adanya shalat nishfu sya’ban lantas dihantam oleh pendapat yang membantahnya ,Imam al ‘Allamah al Kurdy berkata bahwa pada masalah ini para ulama terjadi perbedaan pendapat (menganggap masalah ini khilaf ) dan diantara mereka adayang berkata bahwa hadits –haditsyang dianggap maudu’ memiliki beberapa alur yang apabila berkumpul maka hadits itu akan mencapai sebuah batasan ynag dengannya fadlail a’mal dilakukan
Adapun alasan yang paling mendasar yang menjadi latar belakang dari perbedaan ini ialah bahwa ulama nash (hanya berdasrkan dalil) itu tidak melakukan perkara-perkara yang tidak manshush (tidak meiliki dalil) bahkan cenderung menolak dan mencegahnya sedangkan para ulama kasyaf (sufi) melakukan hal-hal yang tidak ada nashnya seperti melakukan shalat, dzikir, dan ibadah lainnya sebagai bentuk munajat pada Allah Swt. Yang ingin mendapatkan petunjukNya atas ssemua perkara yang menimpanya dan sebagai amal qurbah mereka (mendektkan diri) pada Allah dan sikap mereka ini (sufi) itu tidak bergantung dengan nash selagi tidak menentangnya.

NISHFU SYA'BAN II

Agama merupakan tali yang menghubungkan manusia dengan tuhannya.Lewat agama ,manusia melakukan komunikasi subjektif dalam momen-momen spiritual yang mediumnya disediakan dalam kegiatan ritual . Melalui agama manusia menyerahkan kepasrahan terakhir dan sekaligus tempat untuk mengadu dan meminta perlindungan ketika menghadapi kemelut yang menimpa perjalanan kehidupannya .Termasuk disini, tempat yang memiliki dan menjanjikan kemenangan spiritual bagi orang yang dalam kondisi paling kritis sekalipun .
Jalan untuk mengatur rel komunikasi dan interaksi ini , Allah menggariskan ajaran syariat sebagai garis yang menuntun manusia untuk melakukan kewajiban dirinya selaku makhluk . Ketentuan Allah ini digambarkan dalam ketentuan-ketentuan syariat ,yang substansinya merupakan jalan yang membimbing manusia agar tidak melenceng tatapi tetap dalam garis yang telah digariskan oleh-Nya.
Kejadian ini terjadi juga pada pembahasan kita dimana para ulama ahli kasyaf yang menjadi orientasi dan objek (pada pembahasan ini) yang selalu melakukan amaliyah taqrrub ilallah guna mengadu dan mohon perlindungan dalam setiap permasalahan yang menyertai ditengah hikayat masa hidupnya . Seperti yang telah dijelaskan pada edisi kemarin bahwa yang mereka lakukan adalah dengan sujud (shalat) yang kemudian melahirkan sebuah tinggalan atau warisan yang diantaranya sedang kita bahas yaitu shalat nishfu sya’ban . maksud dari pernyataan shalat nishfu sya’ban ini ialah shalat yang dilakukan pada malam ke-15 bulan Sya’ban bukan berarti sebuah nama dari macam-macam shalat .pada malam itu kebanyakan orang islam mengisinya dengan berbagai amaliyah ibadah pada Allah .Namun secara umum ibadah kepada Allah merupakan kewajiban manusia selaku makhluk kepada Allah dan menjadi pilar keagamaan atau keislaman seseorang . Ibadah pada dasarnya adalah proses latihan yang agung dalam character building (pembanginan akhlak)dan meluruskan akhlak
Pelaksanan ibadah juga didalamnya mengandung asas pengakuan manusia sebagai hamba dan pengakuan manusia pada Allah sebagai tuhan dzat pencipta segala sesuatu (al iqrar bi rububiyatillah wa bi ‘ubudiyatinnafsi). Pencipta dan pemberi kepada semua ciptaan-Nya. Maka wajib bagi manusia untuk menyembah dan bersyukur atas nikmat yang diberikan dalam kehidupan manusia sehari hari.
Ibadah juga merupakan salah satu jalan yang mendekatkan kepada Allah dan mengalahkan segala rintanga duniawi yang timbul dan menghadang setiap gerak langkahnya .
Sementara bagi zat Allah swt.tersendiri ,kecacatan dan kemaaksiatan atau kebaikan ibadah yang ilakukan oleh makhluk ,tidaklah menyababkan terganggunya kaagungan Allah . Dalamsebuah Hadits Qudsi Aallah berfirman ,”Apabila diantara kalian kompak akan membangkang kepada- Ku maka tidak akan berkurang sediktpun keagungan-Ku, dan seandainya yang awal dan yang akhir daintara kamu mereka kompak taat kepada-Ku maka tidak akan menambah keagungan-Ku sedikitpun .”
Hadits Qudsi ini,jelas mengisyaratkan dan menegaskan bahwa keagungan Allah tidak akan terusik dan terganggu dengan kegiatan manusia . Apakah ia menjalankan perintah atau menentangnya . Keeksisan zat Allah tidak akan terganggu oleh perilaku makhluk-Nya dan tentu saja apa yang dilakukan oleh manusia tidak akan mengubah gravitasi keagungan Allah yang memang tidak bisa diusik dan diganggu .
Kembali lagi pada pembahasan awal (shalat nishfu sya’ban) yaknibahwa amaliyah pada malam nishfu sya’ban itu mukhtalaf . hal ini berawal dari perbedaan pentakwilan surat ad – Dukhon ayat 3. kebanyakan mufasirin menafsiri lailatin mubarokatin adalah malam lailautul qadar dan sebagian mufasir ialah malam nishfu sya’ban
Adapun hadits tentang hal ini ialah seperti yang telah diriwayatkan imam Tsa’labi yakni
وعن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إذاكانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلتها وصوموانهارهافإن الله ينزل لغروب الشمس إلى سماء الدنيا يقول ألا من مستغفر فاغفر له ألامن مبتلي فأعى فيه ألا من مسترزق فأرزقه الا كذا حتى يطلع الفجر . ذكره الثعلبى

“ Dari Nabi Saw. beliau berkata ketika pada malam nishfu sya’ban maka shalatlah pada malamnya dan berpuasalah pada siang harinya karena sesungguhnmya Allah turun pada saat terbenamnya matahari ke langit dunia dan berfirman adakah yang meminta ampunan maka saya ampuni ada yang terkena musibah maka saya sembuhkan adakah yang meminta rizqi maka sayaberi rizqi dan seterusnya sampai terbit fajar”.dituturkan oleh imam Tsa’labi .(lihat al Qurthubi juz 16 hal.126-128) . Dari hadits ini kita diperintahkan untuk berdoa dan memohon pada Allah ,hanya bagaiman caranya agar doa kita terkabul dengan cepat ,diisi dengan shalat silahkan ,dengan dzkir silahkan ,dengan membaca alquran tentunya silahkan juga . lantas apakah boleh pada malam itu (nishfu sya’ban) umur untuk beribadah, minta rizqi yang halal untuk ibadah dan minta ditetapkan iman. Seorang ulama ahli hadits terkenal yang bermadzhab Syafii yaitu syaikh Muhamad Darwisy al Bairuti dalam kitabnya asnal matholib hal 271 menejekaskan :
“ Adapun membaca surat yasin pada malam nishfu sya’ban setelah shalat maghrib dan membaca doa nishfu yang sudah terkenal, adalah boleh hukumnya hal itu merupakan karya dari sebagian orang shaleh yang konon penyusunnya adalah Imam Al-Buni kesimpulan malam nishfu sya’ban ialah

Mushofahaturrijal Wannisa

Dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini.
Pertama diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj) atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat, ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.
Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannnya dan membersihkan kepalanya dari kutu.
Maka apakah dalil untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?
Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah nampak tanda-tandanya. Tetapi ketika dalam kondisi aman -dan ini sering terjadi-, dimanakah letak keharamannya?
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi Saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai’at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai’at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiya al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai’at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengungkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhori meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
Yaa ayyuhannabiyyu idza jaa akalmu’mianaatu yubaayi’naka ‘alaa alla yusyrikna billahi syayawwalaa yusyriqna wala yaqtulna awlaa dahunna walaa ya’tiina bibuhtaanin yaftariinahu bayna aydiyahinna waar julihinna walaa ya’shiinaka fi ma’ruufin fabaayi’hunna wastaghfirlahunna Allaha. Inna allaha ghofururur rohim (12) ya ayuhaldzinaa aamanuu laa tatawallaw qawman ghadiba allahu ‘alaihim qad yaisuu minal aakhirati kamaa yaisailkuffaaru min ashhaabil qubur(13)
“ Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mencuri tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzinah, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka dan tidak akan mendurahakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtanahah: 12)
Ayat ini turun pada hari pembukaan kota makkah ,yaitu setelah nabi membaiatlaki-laki lantas beliau membaiat perempuan .Imam Bukhori meriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair.Aisyah berkata,” Maka barang siapa diantara wanita-wanita beriman yang beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya,” Aku telah membaiatmu dengan perkataan saja. Dan demi Allah tangan belaiu sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak membai’at dengan tangan (musthofahah) mereka melainkan dengan mengucapkan, “ Aku telah membaiatmu tentang hal itu.” (HR Bukhori dalam shahihnya, dalam kitab Tafsir Al Munir:528 juz 14 surat al-Mumtanahah,”)
Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …..”,al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagai berikut : Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah(Shahih BUKHORI hadits ke 4512). Menurut Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiya, mengenai kisah baiat, Ummu Athiya berkata:
“ famadda yadahu min khoorijil bayti wamadadnaa aydiinaa min daakhililbayti, tsummma qoola : Allahumma ashadd
“ Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,kemudian beliau berucap,” Ya Allah, saksikanlah,”
Demikian pula hadits sesudahnya yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhori, dimana Aisyah mengatakan: “Faqabadlat imraatun yadaha” seorang wanita menggenggam tangannya.”
Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan baiat dengan tangan mereka. al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata: “ Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai’at meskipun tidak sampai berjabat tangan …….. Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan ……. Atau bai’at itu terjadi dengan menggunkan lapis tangan(Fathul Bari’ li Ibni Hajar juz :13 :494).
Abu Dawud meriwayatkan dalam al-marasil dari asy-Sya’bi bahwa Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya diatas tangan beliau, seraya berkata: “ Laa ushoofihunisaai” .Aku tidak berjabat tangan dengan beliau.
Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita, dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw beliau bersabda:
Laan yutha’na fii ra’si ahadikum bimikhyathin min hadiidin khoyrun lahu min an yamassa imratan la tahillu lahu.
“ Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik dari pada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya “
Ditambah lagi atas pengharaman bersalaman atau bersentuhan laki-laki dan perempuan dari ulama yang mensupport hal ini yaitu bersentuhan kulit antara suami istri (lamsu) pada saat-saat tertentu tidak diperbolehkan yaitu pada saat ihram. Sebagai sebuah langkah muqaddimah yang mengarah pada jima’ (syaikh Muhamad Nawawi al-Jahidi dalam kitab Riyadul Badi’ah : 74) Padahal antara pasutri tadi itu sudah memiliki ikatan resmi secara syari’ah, yaitu hubungan pernikahan.
Dari sini bisa dibandingkan kalau suami istri saja yang punya ikatan resmi secara syara’ itu tidak boleh lamsu apalagi seseorang laki-laki dan perempuan yang tidak punya iktan pernikahan. Berbeda lagi kasusnya apabila antara laki-laki dan perempuan yang punya hubungan mahrom maka hal ini boleh dengan tanpa adanya syahwat dan ladzat (mengambil kenikmatan)

Dan ketentuan ini berlaku secara mutlaq, entah apapun posisi dari si perempuan tadi, entah itu posisinya sebagai ibu angkat (dengan catatan, tidak memiliki hubungan Mushoharoh), ataupun atasan, atau yang lainnya.
Akan tetapi sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam ilmu fiqih terdapat perkara yang disebut dengan konsep. Dalam konsep islam, tidak ada satupun yang memperbolehkan mushofahah bilajnabiyyah. Sekarang, hal itu banyak terjadi. Bagaimanakah sikap kita??? Apakah kita tetap bersikukuh untuk menegakkan konsep, maka akan terkesan hukum islam itu kaku.
Jadi, dalam hal ini, kita sudah tidak lagi membahas konsep. Melainkan posisi kita disini adalah tahkim, karena sudah jelas bahwa konsep telah dilanggar. Ketika pembahasan itu berupa tahkim, makakita harus kembali pada alasan terciptanya konsep, dalam hal ini maqoshidussyari’ah. Dan maqoshidussyari’ah atas tidak diperbolehkannya mushohafah bil ajnabiyyah adalah khawatir terjerumus dalam lembah perzinahan. Bisa ditarik kesimpulan, ketika kehawatiran akibat dari bentuk pelanggaran tadi tidak tercipta, maka setidaknya hal ini bisa meringankan hukum.
Jadi secara keumuman hukum mushahafatunnisa adalah tidak boleh,hanya saja kita harus memperhatikan situasi dan kondisi. Hal inilah yang dalam istilah fiqih disebut dengan Dorurat .artinya segala sesuatu yang berbau /berstatus ketidakbolehan maka selagi kita masih mampu untuk menghindari dan meninggalkan nya itulah langkah yang harus kita tempuh . tapi ketika tidak mampu , lalu kita langgar maka inilah yang kita kenal dengan darurat.

Hubungan Agama dan Negara (Part II)

DAPUR REDAKSI
Memisahkan antara politik dan agama, seperti yang ungkapkan oleh KH. Wahab Hasbullah, salah satu ulama kharismatis dan pernah menjabat sebagai Rais ‘Am NU, hampir suatu kemustahilan, seperti kita memisahkan gula dengan rasa manisnya. Begitu pula membahas Negara yang dipisahkan dari kaitannya dengan agama hampir sama mustahilmya. Terlebih di Negara yang mayoritas warganya beragama Islam seperti di Indonesia. Maka diskursus antara agama dan Negara terus menjadi bahan perdepatan yang seakan tidak mengenal kata akhir.

Negara adalah hukum dengan penguasanya, agama adalah aturan dengan Tuhanya. Maka bila terjadi dua pertentangan dan perlawanan hukum antara keduanya niscaya akan terjadi konflik dari dua kepentingan tersebut.

Kita mencari jawaban-jawaban yang bijak dan arif untuk kemaslahatan dan kemajuan bangsa sekaligus ummat Islam yang mayoritas ini tanpa menghilangkan dasar-dasar kebangsaan kita dalam Negara NKRI.

Semoga dialog keduanya bukan merupakan petaka tapi rahmat yang saling menguatkan.
Setelah mendeskripsikan tentang adanya hubungan yang begitu rekat antara agama dan Negara, dalam diskusi lanjutan ini akan dikaji lebih dalam tentang korelasi antara keduanya. Mas’alah yang paling mendasar yang menjadi bahan diskusi adalah seputar pertanyaan, “Apakah dengan kita menjalankan peraturan Negara berarti juga sebagai tindakan ta’abbud (bernilai ibadah) atau tidak ?” Terus apa yang dimaksud dengan Ulil Amri? Adakah ketaatan kita sebagai muslim terhadap Ulil Amri meski Negara kita bukan Negara Islam? Dimanakah kita memposisikan hukum syariat Islam dalam Negara Pancasila yang agama bukan sebagai dasar Negara?

Hal-hal diatas menjadi pertanyaan dalam diskusi mingguan Al Ghadier Pondok Pesantren MTM Kempek Cirebon. Sebuah dirasah Ilmiyah dengan referensi dari kitab kuning yang menjadi rujukan diskusi yang tentu saja diambil dari sudut pandang Ahlussunah Waljamaah.

Ulil amri adalah seseorang yang sedang diserahi suatu urusan untuk kemaslahatan ummat termasuk kemaslahatan seluruh warga masyarakat yang tinggal pada wilayah/daerah kekuasaanya. Dalam kitab adab ad dunya wa addin, halaman 47, dijelaskan bahwa ulul amri adalah orang yang dipasrahi kepemimpinan atas perkara-perkara yang umum dan kemaslahatan-kemaslahatan yang penting. Maka termasuk golongan ini juga, yaitu setiap orang yang dijadikan wali atas suatu perkara dari orang muslim, sepertihalnya Raja, Wazir, Rois, Menteri, dan sebagainya.

Ulil Amri kalau disederhanakan dengan bahasa sekarang adalah pemerintah. Dan untuk memastikan tertib dan terlaksananya suatu kehidupan masyarakat yang aman, tentram, adil dan sejahtera maka pemerintah dengan perangkat Negara lainnya membuat tata aturan yang wajib diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh warga bangsa didalamnya, tak terkecuali adalah ummat Islam. Tata aturan itu kita kenal dengan nama Undang-Undang.

Secara garis besar terdapat tiga jenis perundang-undangan di pandang dari persepsi fiqh. Pertama, undang-undang yang sesuai atau tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pada undang-undang ini kita ummat Islam wajib secara mutlak untuk mengikuti/mentaatinya secara lahiriah maupun bathin (dzohiron wa batinan). Kedua, undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang pasti dari segi penetapan dan penunjukkannya (qath’iyyutsubut wad dilalah). Pada undang-undang ini ummat Islam hanya diperkenankan untuk mengikutinya secara lahiriah saja (dzohiran), dengan alasan untuk mencegah timbulnya fitnah yang bisa menimbulkan perpecahan dan pergolakan yang berdasarkan sara, dalam hal ini agama. Dan jenis perundang-undangan yang ketiga dan merupakan mayoritas dari produk-produk hukum Negara adalah undang-undang yang berada dalam wilayah ijtihadiyyah, dalam arti tidak ada ketetapan hukum yang pasti dalam sumber-sumber hukum Islam yang utama (ghair qath’iyyutsubut wad dilalah). Pada undang-undang jenis ini, ummat Islam, secara pribadi, diperbolehkan memilih antara mengikuti aturan Negara yang dibuat oleh pemerintah atau meninggalkannnya. Hanya saja dalam paham Ahlussnah Waljamaah ketaatan terhadap pimpinan merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari warga negara, ummat Islam wajib mematuhi aturan-aturan tersebut, terlebih lagi bila ketidak patuhannya mengancam kemaslahatan dan ketertiban umum. Dalam hal ini, sunni memilih untuk berkompromi dengan Negara sejauh tidak masuk pada wilayah paling pokok dalam agama yaitu aqidah dan kita ummat Islam tidak ditempatkan pada posisi dimana kita terpaksa harus menggadaikan keimanan kita.

Timbul pertanyaan, bagaimana kita harus menyikapi perintah agama untuk melakukan resistansi terhadap perbuatan-perbuatan mungkar? Apakah hadits: man ra’aa minkum munkaraan fal yughairhu bi yadih dan seterusnya itu bisa diterapkan diluar konteks hukum negara? Merupakan kewajiban umat Islam untuk merubah kemungkaran dengan tahapan-tahapan yang dijelaskan dalam hadist tersebut, dengan ataupun tanpa negara. Akan tetapi terdapat kesalahan persepsi yang umum bahwa merubah kemungkaran dengan tangan (biyadih) adalah identik dengan cara-cara kekerasan seperti yang selama ini dipraktikan oleh kelompok-kelompok Islam tertentu. Sebenaranya biyadih dalam hadits tersebut bisa diartikan sebagai tindakan-tindakan yang konkrit. Yaitu berupa solusi-solusi kemasyarakatan yang dapat mengurangi ketimpangan-ketimpangan social yang menjadi lahan yang subur bagi timbulnya kemungkaran. Dengan mensejahterakan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan kebodohan serta menyediakan lapangan kerja maka sebenarnya kita telah merubah kemungkaran dengan tangan kita. Ini bahkan lebih efektif karena tidak hanya bersifat artifisial (kelihatannya saja) akan tetapi langsung memberantas akar-akar kemungkaran dari dasarnya.

Penafsiran lain terhadap biyadih adalah bahwasanya tangan adalah symbol kekuatan (power), apa yang membuat power efektif, bukan pelaksanaannya, melainkan sistemnya, yaitu supremasi hukum. Merubah kemungkaran dengan tangan (biyadih) disini dimaknai dengan menegakkan aturan-aturan hukum dan terciptanya supremasi hukum. Kalau pejabatnya kita beri tugas untuk mencegah kemungkaran secara personal, nanti akan memunculkan penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang diperlukan adalah system, bukan individu. Jangan lagi terpaku pada kesalehan dan kapasitas pribadi seorang pemimpin. Apa yang dilakukan harus dalam rangka konstutionalisme, keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia. Memang system hukum nasional kita belum terbangun dengan baik. Meskipun demikian, tidak serta merta kita mengajukan alternatif hukum Tuhan, karena supremasi hukum juga bagian dari hukum Allah. Hak Asasi Manusia juga hukum Allah. Hanya saja pelaksanaannya yang berbeda-beda.

Bagaimana juga kita harus menyikapi ayat waman lam yahkum bima anzalalloh faulaaika humul kafirun, atau dalam ayat lain fasiqun atau dholimun? Bukankah ma dalam bahasa arab digunakan sebagai kata yang cakupannya itu umum untuk semua hal, tidak spesifik pada satu hal saja? Dengan ini dapatkah kita bisa menafsiri bahwa barangsiapa yang tidak menghukumi dengan hukum tuhan, maka orang itu adalah kafir, fasik serta dzalim?
Terdapat penjelasan-penjelasan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan ayat-ayat diatas, pertama, ayat-ayat tersebut diturunkan untuk mengomentari kaum Yahudi dan Nashrani yang enggan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kitab suci mereka (lihat Tafsir Ibnu katsir), oleh karena itu tidak bisa secara sembrono diterapkan kepada kita ummat Islam dalam hubungannya dengan perundang-undangan negara. Dan kalau pun ayat-ayat itu mempunyai makna yang umum (sesuai dengan kaidah: al ‘Ibratu bi umum al lafdi la bi husus as sabab, yang menjadi acuan adalah umumnya lafad bukan khususnya sebab) maka kita harus memaknai ma anzalalloh dalam konteks yang lebih luas. Karena, ma anzalalloh itu fenomena kemanusiaan. Tuhan tidak mungkin menurunkan kitab suci untuk kepentingan diri-Nya, tetapi untuk kepentingan umat manusia, rohmatan lil ‘alamien. Artinya, siapa yang tidak menghukumi dengan hukum rohmat, yaitu menghukumi dengan mempertimbangkan kemaslahatan manusia, keadilan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat, maka mereka adalah orang-orang kafir, fasik serta dzalim.

Dalam tafsir Taisirul Karim Ar Rohman, halaman 184, dipaparkan bahwa dalam surat An Nisa ayat 59, terdapat perintah Alloh untuk mentaati-Nya, mentaati Rosul-Nya, dengan jalan menjalankan segala perintah-perintahnya yang wajib dan sunnah, serta menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Dan Allah juga memerintahkan kita untuk to’at pada ulul amri, yaitu para wali manusia, dari para pemimpin, para hakim, dan para mufti, karena sesungguhnya, segala urusan agama manusia dan urusan agamanya tidak bisa selaras / berimbang kecuali dengan mentaati ulil amri. Adapun mengikuti atau mematuhi mereka adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah, dan merupakan sesuatu yang disukai oleh Allah. Tapi dengan syarat mereka tidak menyuruh untuk bermaksiyat kepada Allah, Laa tho’ata limakhluqin fi ma’shiyat al kholiq. Artinya ketika mereka menyuruh pada perbuatan yang menjurus pada kedurjanaan, maka kewajiban taat kita otomatis gugur.

Dan sesungguhnya banyak sekali kewajiban-kewajiban syariat yang bergantung pada kebijaksanaan pimpinan atau pemerintahan, dan telah kita ketahui bersama bahwa “ma la yutimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun”, bahwasannya suatu hal yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengan adanya hal yang lain, maka hal yang lain tadi juga hukumnya wajib. Seperti halnya dalam pengangkatan imam, hal ini bisa menghalau bahaya, dan menghalau bahaya itu wajib syar’an hukumnya. Maka bisa disimpulkan bahwa mengangkat imam (baca: pemimpin) itu wajib hukumnya. Dan juga dalam pengangkatan imam ada unsure kepatuhan, hal ini dapat menarik kemanfaatan bagi umat, dan juga wajib hukumnya.

Terlebih lagi terdapat hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim dan nasa’i , mengungkapkan bahwa:” Man khoroja min at tho’at wa farroqo al jama’ah, maata maytatan jahiliyyatan. ”Barang siapa yang keluar dari ketaatan pada pimpinan dan memisahkan dari jamaah maka bila mati, ia mati secara jahiliyah.

NKRI adalah Final

Dalam diskusi kali ini juga dibahas mengenai status dari Negara kesatuan Repuplik Indonesia /NKRI. KH Ahmad Siddiq, seorang ulama kharismatis yang sangat dihormati oleh Nahdliyin, pada tanggal 11 desember 1984 dalam Muktamar NU ke XXVII di Situbondo Jawa Timur mengatakan bahwa bentuk Negara Kesatuan RI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 adalah sudah “final”. KH. Ahmad Siddiq berkata demikian dalam statusnya sebagai Rais ‘Aam (pemimpin tertinggi) Jamiyah Nahdlatul Ulama, sehingga perkataannya itu menjadi semacam keputusan yang mengikat bagi NU.
Pernyataan beliau waktu itu memang merupakan renspon seorang ulama yang berpandangan luas dan tajam dalam menyikapi sikap otoriter penguasa Orde Baru yang ketika itu dipimpin oleh Soeharto. Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1983 menggulirkan tentang “Asas Tunggal” Pancasila. Rencana Soeharto ini kemudian ditanggapi sikap pro dan kontra. Bagi ummat Islam timbul kehawatiran bila Pancasila akan menjadi semacam “Agama Baru”. Maka banyak ormas-ormas Islam ketika itu terang-terangan menolak gagasan Asas Tunggal ini.

Akan tetapi sikap Soeharto yang didukung tentara dengan dalih stabilitas dan keamanan sulit untuk dibendung, maka dengan kewenangannya sebagai pengguasa tunggal Orde Baru mengancam akan membubarkan setiap ormas yang tidak mau menerapkan asas tunggal, maka KH. Ahmad Siddiq dengan ketajaman politik dan keluasan ilmunya mengambil insiatif untuk menerima Pancasila sebagai asas jamiyah NU.
Meskipun kesannya bersifat politis, keputusan itu keluar setelah melalui pemikiran yang mendalam baik dari aspek historis, sosiologis dan dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sampai saat ini NU tetap menyakini bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah solusi terbaik untuk mengayomi pluralitas dan kebhinekaan masyarakat di Indonesia. Dalam tataran legalitas dan aplikasinya lah ummat Islam Indonesia masih mempunyai ruang untuk bermanuver agar produk perundang-undangan Negara sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Islami.

Demikian hasil diskusi dari dirasah mingguan Al-Gadier. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam.

Hubungan Agama dan Negara (Part I)

Selalu menarik membahas hubungan antara Negara dan agama, dari sisi manapun pembahasan ini. Hubungan antara keduanya selalu tumpang tidih, tarik-ulur dan saling mempengaruhi. Negara adalah organisasi tertinggi, sementara agama adalah keyakinan dan ajaran yang sempurna, mencakup dan menyeluruh. Maka sepertinya akan sulit, jika kita meletakan suatu permasalahan antara hubungan agama dan Negara hanya sepotong-sepotong, sebagian atau hanya dari satu kepentingan saja, katakanlah kepentingan Negara atau kepentingan agama.
Dalam sejarah atau tata Negara dunia, kita mengenal bentuk Negara sekuler dan Negara teokrasi. Dalam Negara sekuler antara Negara dan agama ada ‘pemisahan’ yang jelas; mana kekuasaan dan kewenangan Negara, mana yang menjadi bagian agama. Dalam Negara sekuler agama dianggap masalah pribadi dan masuk wilayah prifat, sehingga tidak bisa ‘seenaknya’ masuk dalam ranah Negara (baca politik, hukum dan kekuasaan), Negara membatasi agama.
Sementara dalam Negara teokrasi, agama merupakan bagian yang tak terpisahlkan dari agama. Hukum yang berlaku adalah hukum agama, kebijakan publik didasarkan pada pertimbangan agama, dan politik dijalankan atas dasar kepentingan agama pula. Sederhananya Negara hampir identik dengan Agama dimana tujuan bernegara adalah tegaknya ajaran agama yang dianutnya.
Maka ada perbedaan yang amat jelas, Negara sekuler menempatkan agama ‘hanya’ sebagai pelengkap, Negara teokrasi menjadikan agama sebagai penentu utama.
Dalam sejarah Islam kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan/Negara. Zaman Rasulullah SAW di Madinah, Al-Khulafa Al Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah, Bani fatimiyah, Bani Umayah di Andalusia, sampai Turki Ustmani adalah contoh-contoh Negara yang pernah mengukir sejarah dalam peta politik dunia Islam.
Contoh Negara teokrasi yang kini menempatkan Islam sebagai dasar Negara adalah Repuplik Islam Iran dan kerajaan Arab Saudi, juga beberapa Negara kecil di timur tengah. Contoh Negara sekuler yang paling populer adalah Negara-negara barat, semacam Inggris dan AS yang kini menjadi kiblat dunia. Lalu apa setatus Negara kita?
Indonesia adalah merupakan Negara kesatuan yang di dalamnya terdapat berbagai macam etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah merupakan bentuk final dari sebuah negara yang dapat mengayomi pluralitas masyarakat Indonesia. Pendiriannya pun melibatkan seluruh kompenen bangsa dari berbagai etnik dan agama, bahu membahu mengusir penjajah dari bumi pertiwi yang tercinta. Butir-butir sila dalam Pancasila sebagai dasar bernegara pun tidak ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Indonesia memang bukan Negara Agama akan tetapi para ulama pendahulu kita bersepakat bahwa dalam bernegara, Indonesia dijiwai oleh spirit universal dari agama yang tumbuh didalam masyarakatnya. Tentunya, Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia diharapkan dapat berperan dalam membentuk nilai-nilai yang mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia. Pandangan ini dapat diterima karena beberapa alasan:
Pertama, meski memiliki perbedaan, hubungan antara agama dan negara diyakini memiliki misi yang sama dalam kehidupan “profan”, yakni merealisasikan kebahagian hidup di dunia, menciptakan kemaslahatan bersama serta mengatur hubungan sesama umat manusia (hablu-minan-naas). Titik temu misi keduanya dapat dilihat dari corak kebudayaan pada suatu bangsa. Persamaan juga terdapat dalam hal kekuasaan. Dalam hal kekuasaan Negara, dalam pandangan Islam, seorang penguasa dalam menegakkan keadilan (al-‘adalah) adalah satu keharusan, Tasharrul imam manuthun bimashlahatir ra’iyyah artinya kewenangan penguasa itu haruslah selaras dengan kemaslahatan publik. Imam Muhamad Idris As-Syafi’i (w. 204 H) menegaskan, bahwa : Manzilatul imam min mar’iyyihi manzilatul waly (Abul-Faidl Muhamad Yasin ibn Isa al-Fadani, al-fawaid al-janniyah juz. II Darul Basyir al-Islamiyah).
Kedua, Islam menekankan pada konsep musawah yaitu perlakuan yang sama terhadap warga Negara di depan hukum tanpa pandang bulu dan menjujung tinggi al-syura (musyawarah). Begitu pula Islam memilki lima prinsip (kuliyatul al-khams) yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip pertama adalah jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan bersewenang-wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua, perlindungan dan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional (hifdz al-aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas harta benda sebagai hak milik (hifdz al-mal). Prinsip keempat. Jaminan atas kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz al-din). Sedang prinsip kelima, jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz al-nasl wal-‘irdl). Sepanjang konsep dan prinsip-prinsip diatas dapat diaplikasikan dengan baik, maka bentuk Negara dan pemerintahan bagaimanapun dipandang sebagai Islami dan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Ketiga, dari sudut pandang fiqh, negara Indonesia adalah merupakan kawasan Islam (Dar al Islam) dimana setiap warga negara yang beragama Islam wajib mempertahankan eksistensi dan kedaulatannya. Penguasa penjajah ataupun kafir bahkan tidak menghilangkan status Indonesia sebagai kawasan Islam (lihat keputusan Muktamar NU di Banjarmasin). Setelah kemerdekaan, status ini diperkuat dengan ditetapkannya kepala negara atau pemerintah Indonesia sebagai penguasa yang sah (waliyy al amri adh dhoruriyy bi as syaukah) yang keputusan-keputusan hukumnya mengikat dan wajib ditaati oleh setiap warga negara.
Timbullah kemudian pertanyaan, bagaimanakah status keberadaan hukum Negara yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, manakah yang harus kita pegang?
Hukum-hukum syariat diantaranya adalah dalam masalah ‘ubudiyah, muamalah, munakahah (atau ahwaal as sahsiyyah) dan jinayah. Untuk masalah ubudiyah ternyata hampir tidak ditemukan adanya pertentangan dengan hukum negara, kita diberikan keleluasan dan bahkan dilindungi dalam mengamalkan amal ibadah yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang kita yakini. Demikian pula dalam masalah mu’amalah kita temukan hal yang sama. Bahkan akhir-akhir ini, sudah banyak diakomodasinya praktek-praktek muamalah yang Islami dalam system ekonomi di Negara kita, seperti mulai banyaknya berdiri bank-bank Syariah dan lain sebagainya. Sedangkan untuk masalah munakah, hukum-hukum Islam sudah sangat dominan terutama setelah di undang-undangkannya UUD perkawinan dan di berlakukannya kompilasi Hukum Islam yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian wakaf, wasiat dan waris. Barangkali hanya dalam masalah jinayah (kriminal seperti hukum qisas dan hudud) lah kita masih mempunyai banyak persoalan. Tapi itu sebenarnya merupakan cerminan dari problematika perundang-undangan hukum Islam dalam dunia yang mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya yang terbaik.
Terlepas dari semua itu tadi tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan juga keselarasan antara agama dan negara pada bagian masalah lain. Undang-undang yang dibuat oleh anggota dewan dan pemerintah bisa mengatur hubungan antara keduanya, sehingga ruang lingkup dari kepentingan Negara dan agama yang diatur oleh undang-undang menjadi sangat menyeluruh pada semua aspek kehidupan.
Lantas ketika negara memberikan sebuah ketetapan-ketetapan maka sebagai muslim pijakannya adalah “ Ya ayuhaldzina amanauu ‘athii’ullaha wa athi urrasula wa ulil amri minkum. “ Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian. Terma ulil amri minkum menurut sebagian ulama adalah sebuah istilah yang diartikan dengan orang-orang yang berhak mengatur dan menghukum ditengah-tengah kehidupan masyarakat, yaitu pemerintah.
Dalam syarah Ihya Ulumudhin, Juz I dijelaskan bahwa ittiba’ kepada pemimpin (negara), meskipun pemimpin itu seorang fasis, itu boleh, Imam Rofii pun membenarkan pendapat ini, dari At Tuhfa Libni Hajar Al-Haytami, Juz I, hlm: 72 dijelaskan bahwa kita boleh mengangkat pemimpin dari ahli dzimmy, asalkan dalam keadaan darurat, karena dalam bidang kepemimpinan tidak ada orang muslim yang kompeten atau cakap mengurus Negara/pemerintahan. Atau misalnya ada, tapi tidak amanat, juga diperbolehkan asal bisa dipastikan dibawah kepemimpinannya, ada kemanfaatan bagi muslim. Artinya pendapat diatas itu sesuai dengan yang dijelaskan dalam kitab At-Tasyri Al-Jinayah yang menyebutkan bahwa: Suatu hukum atau aturan (baca pemimpin) itu sah atau diikuti, selama tidak bertentangan dengan syariat kecuali ketika aturan-aturan tadi sudah melenceng ( baca bertentangan ) dengan syariat.
Maka seandainya setelah kita mengangkat seorang pemimpin dari kalangan ahli dzimmy kemudian ternyata berbuat atau kebijakannya bertentangan dengan syariat Islam maka kepemimpinannya menjadi batal. Bahkan wajib bagi kita untuk mendobraknya, sehingga terciptanya langkah prefentif untuk menghalau dan mencegah dua pola yang sangat kita takuti, yaitu terciptanya generasi dekadensi moral dan adanya konspirasi tingakat tinggi yang menjurus pada penjauhan nilai-nilai Islami.
Hal ini sejalan dengan hadits “Man raa minkum munkaran fal yughoyir biyadih faillam yastati’ fabilisaanihi faillam yastati’ fabi qobihi fahuwa adh’aful imaani “. Untuk yang dalam kategori bil yad adalah orang yang punya kekuatan atau mengubah adanya peraturan, untuk yang dalam kategori bil lisan adalah orang-orang yang punya pengaruh akan ketetapan-ketetapan peraturan yang berlaku, atau yang dalam kategori bil qalbi adalah orang-orang yang tak punya kekuatan dan pengaruh. Hal diatas juga dijelaskan dalam As-Syarwani at Tuhfah, Juz 9, hlm: 72-73 dan juga dalam Al-Mahally al-Manhaj, Juz 4 hlm: 172.
Implemetasi (kaifiyah) sikap kita menghadapi ketetapan sang imam ( baca: Pemerintah ) juga dipaparkan dalam kitab al-Bajuri, Juz 2 hlm: 260 “fatajibu tha’athal imam walau jairan fiima la yukhalifus syar’a min amrin aw nahyin ,bikhilafi ma yukhalifus syar’a li annahu latha’ata limakhluqin fima’shiyatil khaliq.kama fil hadis…………isma’uu wa athi’uu wa in ammara ‘alaikum khabasiyyun mujdi’u al athraaf. Liannal maqshuda al it tihadul kalimati wala tahshulu illa biwujudit tha’ati. Wajib mentaati imam walaupun imam yang menyeleweng selagi perintah dan larangannya tidak bertentangan dengan syari’at, berbeda apabila bertentangan dengan syari’at maka tidak ada ketaatan pada makhluk dalam melakukan kedurjanaan /kemaksiatan pada sang khaliq (Allah SWT), seperti keterangan dalam hadits: “Dengarkanlah dan ta’atillah pemimpin kalian meskipun kalian dipimpin oleh seorang ethopia yang bodoh lagi jahat”. Karena tujuannya adalah persatuan ummat . Dan target ini bisa tak bisa tercapai kecuali dengan adanya ketaatan .
Spesifikasinya, jika perkara itu adalah putusan yang hukumnya wajib, sunnah dan mubah maka wajib mengikuti secara dhahiran wa bathinan. Lalu untuk perkara yang putusannya berupa haram dan makruh maka wajib mengikuti secara dhahiran saja, tapi hati kita tatap ingkar (menolak).
Ditambahkan dalam kitab Ad-Durarul Bahiyah bahwa ittiba’ kepada pemerintah itu harus, baik negara Islam atau bukan, dengan pendekatan Ittiba’ul imamah, iqamatul haq dan Iqamatul amar ma’ruf nahi munkar.