DAPUR REDAKSI
Memisahkan antara politik dan agama, seperti yang ungkapkan oleh KH. Wahab Hasbullah, salah satu ulama kharismatis dan pernah menjabat sebagai Rais ‘Am NU, hampir suatu kemustahilan, seperti kita memisahkan gula dengan rasa manisnya. Begitu pula membahas Negara yang dipisahkan dari kaitannya dengan agama hampir sama mustahilmya. Terlebih di Negara yang mayoritas warganya beragama Islam seperti di Indonesia. Maka diskursus antara agama dan Negara terus menjadi bahan perdepatan yang seakan tidak mengenal kata akhir.
Negara adalah hukum dengan penguasanya, agama adalah aturan dengan Tuhanya. Maka bila terjadi dua pertentangan dan perlawanan hukum antara keduanya niscaya akan terjadi konflik dari dua kepentingan tersebut.
Kita mencari jawaban-jawaban yang bijak dan arif untuk kemaslahatan dan kemajuan bangsa sekaligus ummat Islam yang mayoritas ini tanpa menghilangkan dasar-dasar kebangsaan kita dalam Negara NKRI.
Semoga dialog keduanya bukan merupakan petaka tapi rahmat yang saling menguatkan.
Setelah mendeskripsikan tentang adanya hubungan yang begitu rekat antara agama dan Negara, dalam diskusi lanjutan ini akan dikaji lebih dalam tentang korelasi antara keduanya. Mas’alah yang paling mendasar yang menjadi bahan diskusi adalah seputar pertanyaan, “Apakah dengan kita menjalankan peraturan Negara berarti juga sebagai tindakan ta’abbud (bernilai ibadah) atau tidak ?” Terus apa yang dimaksud dengan Ulil Amri? Adakah ketaatan kita sebagai muslim terhadap Ulil Amri meski Negara kita bukan Negara Islam? Dimanakah kita memposisikan hukum syariat Islam dalam Negara Pancasila yang agama bukan sebagai dasar Negara?
Hal-hal diatas menjadi pertanyaan dalam diskusi mingguan Al Ghadier Pondok Pesantren MTM Kempek Cirebon. Sebuah dirasah Ilmiyah dengan referensi dari kitab kuning yang menjadi rujukan diskusi yang tentu saja diambil dari sudut pandang Ahlussunah Waljamaah.
Ulil amri adalah seseorang yang sedang diserahi suatu urusan untuk kemaslahatan ummat termasuk kemaslahatan seluruh warga masyarakat yang tinggal pada wilayah/daerah kekuasaanya. Dalam kitab adab ad dunya wa addin, halaman 47, dijelaskan bahwa ulul amri adalah orang yang dipasrahi kepemimpinan atas perkara-perkara yang umum dan kemaslahatan-kemaslahatan yang penting. Maka termasuk golongan ini juga, yaitu setiap orang yang dijadikan wali atas suatu perkara dari orang muslim, sepertihalnya Raja, Wazir, Rois, Menteri, dan sebagainya.
Ulil Amri kalau disederhanakan dengan bahasa sekarang adalah pemerintah. Dan untuk memastikan tertib dan terlaksananya suatu kehidupan masyarakat yang aman, tentram, adil dan sejahtera maka pemerintah dengan perangkat Negara lainnya membuat tata aturan yang wajib diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh warga bangsa didalamnya, tak terkecuali adalah ummat Islam. Tata aturan itu kita kenal dengan nama Undang-Undang.
Secara garis besar terdapat tiga jenis perundang-undangan di pandang dari persepsi fiqh. Pertama, undang-undang yang sesuai atau tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pada undang-undang ini kita ummat Islam wajib secara mutlak untuk mengikuti/mentaatinya secara lahiriah maupun bathin (dzohiron wa batinan). Kedua, undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang pasti dari segi penetapan dan penunjukkannya (qath’iyyutsubut wad dilalah). Pada undang-undang ini ummat Islam hanya diperkenankan untuk mengikutinya secara lahiriah saja (dzohiran), dengan alasan untuk mencegah timbulnya fitnah yang bisa menimbulkan perpecahan dan pergolakan yang berdasarkan sara, dalam hal ini agama. Dan jenis perundang-undangan yang ketiga dan merupakan mayoritas dari produk-produk hukum Negara adalah undang-undang yang berada dalam wilayah ijtihadiyyah, dalam arti tidak ada ketetapan hukum yang pasti dalam sumber-sumber hukum Islam yang utama (ghair qath’iyyutsubut wad dilalah). Pada undang-undang jenis ini, ummat Islam, secara pribadi, diperbolehkan memilih antara mengikuti aturan Negara yang dibuat oleh pemerintah atau meninggalkannnya. Hanya saja dalam paham Ahlussnah Waljamaah ketaatan terhadap pimpinan merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari warga negara, ummat Islam wajib mematuhi aturan-aturan tersebut, terlebih lagi bila ketidak patuhannya mengancam kemaslahatan dan ketertiban umum. Dalam hal ini, sunni memilih untuk berkompromi dengan Negara sejauh tidak masuk pada wilayah paling pokok dalam agama yaitu aqidah dan kita ummat Islam tidak ditempatkan pada posisi dimana kita terpaksa harus menggadaikan keimanan kita.
Timbul pertanyaan, bagaimana kita harus menyikapi perintah agama untuk melakukan resistansi terhadap perbuatan-perbuatan mungkar? Apakah hadits: man ra’aa minkum munkaraan fal yughairhu bi yadih dan seterusnya itu bisa diterapkan diluar konteks hukum negara? Merupakan kewajiban umat Islam untuk merubah kemungkaran dengan tahapan-tahapan yang dijelaskan dalam hadist tersebut, dengan ataupun tanpa negara. Akan tetapi terdapat kesalahan persepsi yang umum bahwa merubah kemungkaran dengan tangan (biyadih) adalah identik dengan cara-cara kekerasan seperti yang selama ini dipraktikan oleh kelompok-kelompok Islam tertentu. Sebenaranya biyadih dalam hadits tersebut bisa diartikan sebagai tindakan-tindakan yang konkrit. Yaitu berupa solusi-solusi kemasyarakatan yang dapat mengurangi ketimpangan-ketimpangan social yang menjadi lahan yang subur bagi timbulnya kemungkaran. Dengan mensejahterakan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan kebodohan serta menyediakan lapangan kerja maka sebenarnya kita telah merubah kemungkaran dengan tangan kita. Ini bahkan lebih efektif karena tidak hanya bersifat artifisial (kelihatannya saja) akan tetapi langsung memberantas akar-akar kemungkaran dari dasarnya.
Penafsiran lain terhadap biyadih adalah bahwasanya tangan adalah symbol kekuatan (power), apa yang membuat power efektif, bukan pelaksanaannya, melainkan sistemnya, yaitu supremasi hukum. Merubah kemungkaran dengan tangan (biyadih) disini dimaknai dengan menegakkan aturan-aturan hukum dan terciptanya supremasi hukum. Kalau pejabatnya kita beri tugas untuk mencegah kemungkaran secara personal, nanti akan memunculkan penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang diperlukan adalah system, bukan individu. Jangan lagi terpaku pada kesalehan dan kapasitas pribadi seorang pemimpin. Apa yang dilakukan harus dalam rangka konstutionalisme, keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia. Memang system hukum nasional kita belum terbangun dengan baik. Meskipun demikian, tidak serta merta kita mengajukan alternatif hukum Tuhan, karena supremasi hukum juga bagian dari hukum Allah. Hak Asasi Manusia juga hukum Allah. Hanya saja pelaksanaannya yang berbeda-beda.
Bagaimana juga kita harus menyikapi ayat waman lam yahkum bima anzalalloh faulaaika humul kafirun, atau dalam ayat lain fasiqun atau dholimun? Bukankah ma dalam bahasa arab digunakan sebagai kata yang cakupannya itu umum untuk semua hal, tidak spesifik pada satu hal saja? Dengan ini dapatkah kita bisa menafsiri bahwa barangsiapa yang tidak menghukumi dengan hukum tuhan, maka orang itu adalah kafir, fasik serta dzalim?
Terdapat penjelasan-penjelasan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan ayat-ayat diatas, pertama, ayat-ayat tersebut diturunkan untuk mengomentari kaum Yahudi dan Nashrani yang enggan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kitab suci mereka (lihat Tafsir Ibnu katsir), oleh karena itu tidak bisa secara sembrono diterapkan kepada kita ummat Islam dalam hubungannya dengan perundang-undangan negara. Dan kalau pun ayat-ayat itu mempunyai makna yang umum (sesuai dengan kaidah: al ‘Ibratu bi umum al lafdi la bi husus as sabab, yang menjadi acuan adalah umumnya lafad bukan khususnya sebab) maka kita harus memaknai ma anzalalloh dalam konteks yang lebih luas. Karena, ma anzalalloh itu fenomena kemanusiaan. Tuhan tidak mungkin menurunkan kitab suci untuk kepentingan diri-Nya, tetapi untuk kepentingan umat manusia, rohmatan lil ‘alamien. Artinya, siapa yang tidak menghukumi dengan hukum rohmat, yaitu menghukumi dengan mempertimbangkan kemaslahatan manusia, keadilan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat, maka mereka adalah orang-orang kafir, fasik serta dzalim.
Dalam tafsir Taisirul Karim Ar Rohman, halaman 184, dipaparkan bahwa dalam surat An Nisa ayat 59, terdapat perintah Alloh untuk mentaati-Nya, mentaati Rosul-Nya, dengan jalan menjalankan segala perintah-perintahnya yang wajib dan sunnah, serta menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Dan Allah juga memerintahkan kita untuk to’at pada ulul amri, yaitu para wali manusia, dari para pemimpin, para hakim, dan para mufti, karena sesungguhnya, segala urusan agama manusia dan urusan agamanya tidak bisa selaras / berimbang kecuali dengan mentaati ulil amri. Adapun mengikuti atau mematuhi mereka adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah, dan merupakan sesuatu yang disukai oleh Allah. Tapi dengan syarat mereka tidak menyuruh untuk bermaksiyat kepada Allah, Laa tho’ata limakhluqin fi ma’shiyat al kholiq. Artinya ketika mereka menyuruh pada perbuatan yang menjurus pada kedurjanaan, maka kewajiban taat kita otomatis gugur.
Dan sesungguhnya banyak sekali kewajiban-kewajiban syariat yang bergantung pada kebijaksanaan pimpinan atau pemerintahan, dan telah kita ketahui bersama bahwa “ma la yutimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun”, bahwasannya suatu hal yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengan adanya hal yang lain, maka hal yang lain tadi juga hukumnya wajib. Seperti halnya dalam pengangkatan imam, hal ini bisa menghalau bahaya, dan menghalau bahaya itu wajib syar’an hukumnya. Maka bisa disimpulkan bahwa mengangkat imam (baca: pemimpin) itu wajib hukumnya. Dan juga dalam pengangkatan imam ada unsure kepatuhan, hal ini dapat menarik kemanfaatan bagi umat, dan juga wajib hukumnya.
Terlebih lagi terdapat hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim dan nasa’i , mengungkapkan bahwa:” Man khoroja min at tho’at wa farroqo al jama’ah, maata maytatan jahiliyyatan. ”Barang siapa yang keluar dari ketaatan pada pimpinan dan memisahkan dari jamaah maka bila mati, ia mati secara jahiliyah.
NKRI adalah Final
Dalam diskusi kali ini juga dibahas mengenai status dari Negara kesatuan Repuplik Indonesia /NKRI. KH Ahmad Siddiq, seorang ulama kharismatis yang sangat dihormati oleh Nahdliyin, pada tanggal 11 desember 1984 dalam Muktamar NU ke XXVII di Situbondo Jawa Timur mengatakan bahwa bentuk Negara Kesatuan RI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 adalah sudah “final”. KH. Ahmad Siddiq berkata demikian dalam statusnya sebagai Rais ‘Aam (pemimpin tertinggi) Jamiyah Nahdlatul Ulama, sehingga perkataannya itu menjadi semacam keputusan yang mengikat bagi NU.
Pernyataan beliau waktu itu memang merupakan renspon seorang ulama yang berpandangan luas dan tajam dalam menyikapi sikap otoriter penguasa Orde Baru yang ketika itu dipimpin oleh Soeharto. Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1983 menggulirkan tentang “Asas Tunggal” Pancasila. Rencana Soeharto ini kemudian ditanggapi sikap pro dan kontra. Bagi ummat Islam timbul kehawatiran bila Pancasila akan menjadi semacam “Agama Baru”. Maka banyak ormas-ormas Islam ketika itu terang-terangan menolak gagasan Asas Tunggal ini.
Akan tetapi sikap Soeharto yang didukung tentara dengan dalih stabilitas dan keamanan sulit untuk dibendung, maka dengan kewenangannya sebagai pengguasa tunggal Orde Baru mengancam akan membubarkan setiap ormas yang tidak mau menerapkan asas tunggal, maka KH. Ahmad Siddiq dengan ketajaman politik dan keluasan ilmunya mengambil insiatif untuk menerima Pancasila sebagai asas jamiyah NU.
Meskipun kesannya bersifat politis, keputusan itu keluar setelah melalui pemikiran yang mendalam baik dari aspek historis, sosiologis dan dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sampai saat ini NU tetap menyakini bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah solusi terbaik untuk mengayomi pluralitas dan kebhinekaan masyarakat di Indonesia. Dalam tataran legalitas dan aplikasinya lah ummat Islam Indonesia masih mempunyai ruang untuk bermanuver agar produk perundang-undangan Negara sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Islami.
Demikian hasil diskusi dari dirasah mingguan Al-Gadier. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar