Rabu, 19 Agustus 2009

Mushofahaturrijal Wannisa

Dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini.
Pertama diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj) atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat, ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.
Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannnya dan membersihkan kepalanya dari kutu.
Maka apakah dalil untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?
Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah nampak tanda-tandanya. Tetapi ketika dalam kondisi aman -dan ini sering terjadi-, dimanakah letak keharamannya?
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi Saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai’at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai’at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiya al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai’at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengungkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhori meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
Yaa ayyuhannabiyyu idza jaa akalmu’mianaatu yubaayi’naka ‘alaa alla yusyrikna billahi syayawwalaa yusyriqna wala yaqtulna awlaa dahunna walaa ya’tiina bibuhtaanin yaftariinahu bayna aydiyahinna waar julihinna walaa ya’shiinaka fi ma’ruufin fabaayi’hunna wastaghfirlahunna Allaha. Inna allaha ghofururur rohim (12) ya ayuhaldzinaa aamanuu laa tatawallaw qawman ghadiba allahu ‘alaihim qad yaisuu minal aakhirati kamaa yaisailkuffaaru min ashhaabil qubur(13)
“ Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mencuri tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzinah, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka dan tidak akan mendurahakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtanahah: 12)
Ayat ini turun pada hari pembukaan kota makkah ,yaitu setelah nabi membaiatlaki-laki lantas beliau membaiat perempuan .Imam Bukhori meriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair.Aisyah berkata,” Maka barang siapa diantara wanita-wanita beriman yang beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya,” Aku telah membaiatmu dengan perkataan saja. Dan demi Allah tangan belaiu sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak membai’at dengan tangan (musthofahah) mereka melainkan dengan mengucapkan, “ Aku telah membaiatmu tentang hal itu.” (HR Bukhori dalam shahihnya, dalam kitab Tafsir Al Munir:528 juz 14 surat al-Mumtanahah,”)
Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …..”,al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagai berikut : Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah(Shahih BUKHORI hadits ke 4512). Menurut Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiya, mengenai kisah baiat, Ummu Athiya berkata:
“ famadda yadahu min khoorijil bayti wamadadnaa aydiinaa min daakhililbayti, tsummma qoola : Allahumma ashadd
“ Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,kemudian beliau berucap,” Ya Allah, saksikanlah,”
Demikian pula hadits sesudahnya yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhori, dimana Aisyah mengatakan: “Faqabadlat imraatun yadaha” seorang wanita menggenggam tangannya.”
Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan baiat dengan tangan mereka. al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata: “ Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai’at meskipun tidak sampai berjabat tangan …….. Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan ……. Atau bai’at itu terjadi dengan menggunkan lapis tangan(Fathul Bari’ li Ibni Hajar juz :13 :494).
Abu Dawud meriwayatkan dalam al-marasil dari asy-Sya’bi bahwa Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya diatas tangan beliau, seraya berkata: “ Laa ushoofihunisaai” .Aku tidak berjabat tangan dengan beliau.
Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita, dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw beliau bersabda:
Laan yutha’na fii ra’si ahadikum bimikhyathin min hadiidin khoyrun lahu min an yamassa imratan la tahillu lahu.
“ Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik dari pada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya “
Ditambah lagi atas pengharaman bersalaman atau bersentuhan laki-laki dan perempuan dari ulama yang mensupport hal ini yaitu bersentuhan kulit antara suami istri (lamsu) pada saat-saat tertentu tidak diperbolehkan yaitu pada saat ihram. Sebagai sebuah langkah muqaddimah yang mengarah pada jima’ (syaikh Muhamad Nawawi al-Jahidi dalam kitab Riyadul Badi’ah : 74) Padahal antara pasutri tadi itu sudah memiliki ikatan resmi secara syari’ah, yaitu hubungan pernikahan.
Dari sini bisa dibandingkan kalau suami istri saja yang punya ikatan resmi secara syara’ itu tidak boleh lamsu apalagi seseorang laki-laki dan perempuan yang tidak punya iktan pernikahan. Berbeda lagi kasusnya apabila antara laki-laki dan perempuan yang punya hubungan mahrom maka hal ini boleh dengan tanpa adanya syahwat dan ladzat (mengambil kenikmatan)

Dan ketentuan ini berlaku secara mutlaq, entah apapun posisi dari si perempuan tadi, entah itu posisinya sebagai ibu angkat (dengan catatan, tidak memiliki hubungan Mushoharoh), ataupun atasan, atau yang lainnya.
Akan tetapi sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam ilmu fiqih terdapat perkara yang disebut dengan konsep. Dalam konsep islam, tidak ada satupun yang memperbolehkan mushofahah bilajnabiyyah. Sekarang, hal itu banyak terjadi. Bagaimanakah sikap kita??? Apakah kita tetap bersikukuh untuk menegakkan konsep, maka akan terkesan hukum islam itu kaku.
Jadi, dalam hal ini, kita sudah tidak lagi membahas konsep. Melainkan posisi kita disini adalah tahkim, karena sudah jelas bahwa konsep telah dilanggar. Ketika pembahasan itu berupa tahkim, makakita harus kembali pada alasan terciptanya konsep, dalam hal ini maqoshidussyari’ah. Dan maqoshidussyari’ah atas tidak diperbolehkannya mushohafah bil ajnabiyyah adalah khawatir terjerumus dalam lembah perzinahan. Bisa ditarik kesimpulan, ketika kehawatiran akibat dari bentuk pelanggaran tadi tidak tercipta, maka setidaknya hal ini bisa meringankan hukum.
Jadi secara keumuman hukum mushahafatunnisa adalah tidak boleh,hanya saja kita harus memperhatikan situasi dan kondisi. Hal inilah yang dalam istilah fiqih disebut dengan Dorurat .artinya segala sesuatu yang berbau /berstatus ketidakbolehan maka selagi kita masih mampu untuk menghindari dan meninggalkan nya itulah langkah yang harus kita tempuh . tapi ketika tidak mampu , lalu kita langgar maka inilah yang kita kenal dengan darurat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar