Selasa, 06 Juli 2010
DUNIA HANYA WASILAH BUKAN GHAYAH
Tafsir al-Baqarah ayat 36 Part.3
..........وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ اِلَى حِيْنٍ [ البقرة : 36 ]
“……………………..………..dan bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” ( al-Baqarah : 36)
Ujung ayat ke 36 surah al-Baqarah ini merupakan gambaran tentang kehidupan manusia di dunia. Gambaran kehidupan dunia ini dikemukakan Allah swt dengan maksud memberikan tahdzir (peringatan atau wanti-wanti) kepada Adam-Hawa dan anak cucunya (manusia) agar tidak tergiur dan terpesona oleh kesenangan dunia yang akan berakibat pada kelalaian terhadap hadaf (target) hidupnya untuk menggapai mardlatillah dalam menjalankan peran kekhalifahan.
Sungguhpun indah dan gemerlapnya, hingga manusia berlomba untuk meraih dan mendapatkannya, rela mengerahkan semua daya yang dimilikinya, bahkan kadang dengan menghalalkan segala cara, dan tak peduli meski beresiko melahirkan ‘adawah (permusuhan) antar sesama, kehidupan dunia hakikatnya hanyalah sementara, keindahan dan kesenangannya hanyalah setetes air di tengah samudra. Hal ini tergambar dengan jalas lewat dua kata yang terdapat pada ayat diatas.
Pertama kata ‘mustaqar’. Kata mustaqar dalam terjemah diartikan ‘kediaman sementara’. Kata ini merupakan kata benda yang menunjuk kata tempat (isim makan) yang asal artinya adalah ‘tempat menetap’ (maudli’u qaraar) saja. Tetapi kata ‘qaraar’ mengandung isyarat adanya klimaxs atau batas akhir (lahu ghaayah wa nihayaah). Karenanya mustaqar diterjemahkan tempat menetap atau tempat kediaman sementara. Kata pertama ini menggambarkan bahwa kehidupan dunia bukanlah kehidupan abadi. Dunia hanya tempat menetap dalam waktu sementara. Senada dengan kandungan makna kata itu, Rasulullah saw – secara implisit – memberikan perumpamaan kehidupan dunia dengan pengembaraan atau persinggahan seorang musafir dalam sabdanya :
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَ نَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْل
“Jadilah dirimu di dunia seperti seorang pengembara atau seorang musafir yang singgah dijalan”
Kedua kata ‘mata’. Dalam terjemah diatas kata mata’ diartikan ‘kesenangan hidup’. Sebenarnya arti mata’ adalah ‘maa yuntafa’u intifa’an ghaira daaim’ ( kesenangan yang pemanfaatannya dalam waktu terbatas, terputus tidak terus menerus). Dan dari arti itu kata mata’ mengisyaratkan adanya kesenangan lain selain kesenangan yang dimaksud yang lebih baik secara kwalitatif maupun kwantitatif. Dalam konteks ini kesenangan lain itu adalah kesenangan di akhirat. Oleh karenanya dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa akhirat lebih baik ‘wal akhiratu khairun wa abqa’. Selain itu, kata mata’ dalam ayat tersebut menggunakan bentuk indefinitif (isim nakirah) yang berfaidah me-minim-kan (littaqlil) sehingga mengisyaratkan bahwa kesenangan dunia itu hanyalah sedikit bahkan amat sangat sedikit. Tentang ini Rasulullah saw memberi perumpamaan sebagai berikut :
وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الاَخِرَةِ اِلاَّ كَمَا يَغْمِسُ اَحَدُكُمْ اِصْبِعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ اِلَيْهِ
“Demi Allah, Tidaklah kesenangan dunia dibandingkan kesenangan akhirat terkecuali seumpama seseorang yang mencelupkan satu jarinya kedalam lautan. Maka lihatlah seberapa air yang terangkat jari itu”
Tahdzir bahwa kehidupan dunia hanya sementara, kesenangan dunia sedikit, terbatas, terputus tidak terus menerus dipertegas dengan pernyataan bahwa menjalani kehidupannya dan menikmati kesenangannya itu hanya sampai pada waktu yang ditentukan ‘ila hiin’ yakni kematian. Digunakannya kata ‘hiin’ dalam bentuk indefinitif (nakirah) dan tidak adanya spesifikasi (tahdid) sampai kapan waktu yang ditentukan itu, mengandung arti ‘ikhtilafi miqdarihi bikhtilafil ajnas wal afraad’ ( variasi atau keragamaan batas dan ukuran waktu kematian sebab keragaman jenis dan individu manusia itu sendiri. Hal ini mengisyaratkan bahwa waktu kematian adalah misteri tidak bisa dan tidak akan pernah bisa diprediksi kapan terjadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tambah ilmu gan
BalasHapus