Selasa, 06 Juli 2010

IHDA-U TSAWABIL QIRA'AH

Agama dan budaya adalah dua istilah yang sering kali kita dengar dalam penggombor-gemboran keharaman keduanya berbaur dalam naungan satu atap -ajaran islam- dengan background tidak terlaku pada qurun Nabi Muhammad Saw. Derasnya lontaran diskriminasi dari aliran-aliran atau isme-isme yang menjalar di tengah-tengah kita, menguak sebuah polemik yang tak bisa kita lepas tangan mengenai peran dari keduanya, seberapa jauh kolaborasi keduanya memainkan fungsi utamanya masing-masing, haruskah kita memaksakan pemurnian agama dengan tanpa mengindahkan dan mengaplikasikan budaya ?
Ihda-u tsawabil qira'ah atau penghadiahan pahala bacaan Al-Qur'an kepada mayit disebut-sebut oleh kalangan wahabiyin sebagai salah satu ritual yang sarat dengan nilai budaya yang harus dilenyapkan karena tak ada landasan baik secara kontekstual ataupun kondisional, tidak relevan dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah Saw. dan arogansi pelaku terhadap dirinya sendiri padahal seberapa besarkah amalnya itu sehingga ia berani menghadiahkan ganjaran bacaan qur'an kepada orang lain. 
Menyikapi ocehan-ocehan ini mari kita buktikan saja kebenaran, keotentikan dan keorisinilan dari masing-masing argument yang dilemparkan oleh serdadu golongan penolak dengan serdadu golongan pendukung Ihda-u tsawabil qira'ah.
Pendapat ulama yang membolehkan membaca Al-Qur'an untuk mayit dan sampainya hadiah pahala.
1. Ibnu Hajar berkata dinukil dari  Syarah Mukhtar madzhab Ahlus Sunnah : “Sesungguhnya boleh bagi seseorang menghadiahkan ganjaran amal dan shalawatnya bagi mayit dan pengiriman itu sampai pada mayit”. (Nihayatuz Zain : 193)
2.. Imam Qurthubi berkata: para ulama telah sepakat atas sampainya penghadiahan ganjaran shadaqah bagi Amwat begitu juga qaul dalam bacaan Al-Qur'an, do'a dan istighfar karena semuanya itu adalah shadaqah, dengan merujuk pada sabda Nabi Muhammad Saw 'Kullu ma'rufin shadaqatun' (setiap kebaikan adalah shadaqah). (Muttafaqun 'alaih). Maka shadaqah itu tidak terkhusus hanya dengan harta.
3. Ibnu Abil Izz Al-Hanafi, yang dikutip dari Syarah Al-'Aqidah Thohawiyah : 517, salah satu kitab wajib di seluruh perguruan tinggi di Arab Saudi (negeri pusat wahabi), menjelaskan : Bacaan Al-Qur'an dan menghadiahkannya kepada mayit adalah amal sunnah tanpa pamrih dan sampai kepadanya sebagaimana sampainya penghadiahan tsawab dari ibadah haji dan puasa. Dikuatkan lagi oleh pendapat dari Ibnu Taymiyah (tokoh kenamaan wahabi)
4. Syaikh Islam Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taymiyah dalam Fatawanya : “Sebenarnya mayit itu mengambil kemanfaatan dengan seluruh amal ibadah diniyah seperti shalat, bacaan Alqur'an sebagaimana mengambil kemanfatan dari ibadah yang bersifat harta seperti shadaqah dan semisalnya dengan kesepakatan seluruh Imam.(Hikamus Syari'ah Islamiyah fi mu'tamil Arba'in 36)
5. Ibnu Taymiyah berkata : “Barang siapa yang meyakini bahwa manusia itu tidak mengambil kemanfatan kecuali dengan amalnya sendiri, maka ia telah menyimpang dari kesepakatan ulama (ijma') dan hal demikian ini bathil karena dilihat dari beberapa sudut pandang. (Tahqiequl Amal : 53-56)
Pendapat ulama yang mengaharamkan baca Qur'an untuk mayit dan hadiah pahala.
Surat An-Najm 39
br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
"Sesungguhnya manusia hanya mendapatkan sesuatu dari apa yang diusahakannya".
Dalil  ini menyiratkan pemahaman  bahwa manusia tidak bisa mendapatkan sesuatu dari apa yang diusahakan oleh orang lain bagi dirinya baik itu bacaan Qur'an, puasa dan lainnya.
Ditambah lagi dengan istinbathnya Imam Syafií berkaitan dengan ayat tersebut (Surat An-Najm 39) bahwa : "Hadiah pahala bacaan Al-Qur'an tidak sampai pada mayit " (Tafsir Ibnu Katsir juz 4 : 268)
Untuk meredam pendapat  ini, kami akan sajikan beberapa naskah-naskah yang terkemas  dalam kitab-kitab Mu’tabarah As-Syafiíyah. Perhatikan  Tafsir Jamal juz: 6, hal: 341; bahwa ‘Ayat ini hanya terkhusus dengan  kaum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa karena ayat ini menceritakan terhadap apa yang terdapat pada suhuf atau mushaf mereka, sedangkan bagi umat Muhammad Saw, bisa mendapat kemanfaatan dari amalnya sendiri yang ia kerjakan dan amal orang lain yang dihadiahkan padanya.
Sebagai penguat, dalam Kitab Fi Ma’rifat Nasikh wal Mansukh, Abi Abdillah Muhammad bin Hazm : 371, Tafsir Khozin Juz 6 hal: 268 dan Tafsir Qurthubi Juz 17 hal 74-75 dikemukakan bahwa Ibnu Abbas berkata kalau ayat ini mansukhoh secara hukum syariat dengan diturunkannya  surat At-Thuur ayat 21
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNåk÷Jyèt7¨?$#ur NåkçJ­ƒÍhèŒ ?`»yJƒÎ*Î/ $uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJ­ƒÍhèŒ
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka”.
 Hikmahnya, kalau Naskh-Mansukh yang terakurat adalah ayat dengan ayat maka ini adalah sebuah argument yang benar-benar tak diragukan lagi kevalidannya. 
Dan secara dhahir, ayat ini tak berkaitan dengan larangan hadiah pahala. Bisa kita buktikan dengan merelasikan pada ayat selanjutnya An-Najm : 40-41
br&ur ¼çmuŠ÷èy t$ôqy 3tãƒ ÇÍÉÈ §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$# ÇÍÊÈ
40.  Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
41.  Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,
Jadi logikanya, kalau amalnya baik, tentu akan menghantarkan pahala dan jika amalnya jelek maka dosa dan siksalah yang menantinya.
Untuk istinbathnya Imam Syafií di atas, sebagian ulama meragukan akan keotentikannya sebagai pernyataan yang dinisbatkan pada Imam Syafií. Karena  dalam kitab-kitab Syafiíyah (orang-orang yang mengikuti Imam Syafií), katakanlah Imam Nawawi dalam Al-Adzkarnya: 147  sebagai contohnya, menerbitkan redaksi teks yang cukup kuat dengan menyebutkan ‘Qala As-Syafií wal Ash-hab’, disunahkan membaca sesuatu dari Al-Qurán untuk mayit dan apabila mengkhatamkan seluruhnya maka hal itu hasan. Dikokohkan dengan sanggahan Sayid Al-Bakry bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati dalam I’anah At-Thalibinnya juz: 3 hal: 221. “Qauluhu (la yashilu tsawabuha)  dla’ief”. Statement la yashilu tsawabuha atau pengiriman pahala qiraat itu tidak sampai, adalah lemah (dla’ief) dan statement yang mu’tamad (yang dijadikan pedoman) adalah pengiriman pahala qiraat itu sampai.
Kembali pada mainstream yang sudah jauh kita tinggalkan di atas, Ihda-u tsawabil qira'ah yang dituding sebagai budaya yang tak punya landasan dan tak relevan dengan syariat ternyata adalah  sebuah hal yang yang lebih didasarkan pada kemaslahatan umat islam. Bagaimana tidak, bahwa sudah mafhum dan masyhur kalau orang mati itu laksana  seorang yang tenggelam yang yang meminta  pertolongan مَا الْمَيِّتُ فِى قَبْرِهِ اِلاَّكَالْغَرِيْقِ الْمُغَوِّثِ   
Penghadiahan pahala qiraat, tidak disinyalir sebagai sikap arogansi pelaku terhadap dirinya sendiri tentang seberapa besar amalnya sehingga bersedia menghadiahkan pahala,, melainkan dipandang dari point of view kasih dan sayang terhadap mayit yang mungkin masih kerabatnya yang sudah meninggal. Dan tidak dibahasnya penghadiahan pahala qiraat pada orang hidup karena orang yang hidup masih bisa dimungkinkan untuk beramal sendiri.
Sebagai orang hidup yang masih bisa beramal kita tentu bisa membantu  mayit seperti dengan mendoákannya, shadaqah dan qiraat. Kalau pelepah korma saja bisa memberi kemanfaatan bagi ahli maqabir sebagaimana keterangan yang masyhur dalam hadits Rasulullah, kenapa tidak dengan qiraatul qurán yang berisikan ayat-ayat suci yang penuh dengan keagungan limpahan rahmat Allah.
Didukung lagi hadits :
اِذَا ماَتَ ابْنُ ادَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّمِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلََدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
( رواه مسلم)
Pada hadits ini Nabi hanya menjelaskan terputusnya amal  (inqithaúl ámal) tetapi  tidak menyebutkan terputusnya mengambil kemanfaatan Inqithaú intifa-u ámal.
Dan fenomena Ihda-u tsawabil qira'ah juga hendaknya menjadi counter atau muhasabah (introspeksi) bagi kita sekalian yang masih hidup yang selalu menunda-nunda untuk mengamal kebaikan akan betapa tak berdayanya kita  saat sang malaikat maut bertamu didepan kita, sedang kita lagi terlena dengan dunia darul mihnah wal bala.
Allahumma ihdinas Shirathal mustaqim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar