Rabu, 09 Desember 2009

Pro Kontra Pasal Perceraian

Pada edisi kemarin telah kami paparkan tentang Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaannya. Sengaja kami paparkan terlebih dahulu agar pada edisi ini kami tinggal menjelaskan tentang korelasi atau hubungan antara UU tersebut sebagai wujud dari adanya campur tangan para Umara dengan Ulama sebagai repsesentasi dari kalangan agamis yang selalu mengedepankan nilai-nilai syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Sebagaimana lazimnya suatu Undang-Undang, tentu akan membuahkan beberapa persepsi atau pandangan nalaritas yang berbeda dalam menyikapinya. Hal ini bisa kita lihat dari pihak yang pro dan pihak yang kontra dengan Undang-Undang tersebut, baik pada saat masih menjadi Rancangan Undang-Undang atau bahkan setelah Undang-Undang itu disahkan. Hal ini juga terjadi pada undang-undang pernikahan yang didalamnya memuat tatacara perceraian yang menjadi titik pembahasan kita kali ini.
Menurut kalangan yang menentang, Undang-Undang Perceraian No. 1 tahun 1974 pasal 39 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak” adalah tidak layak untuk digunakan. Karena menyimpang dari ketentuan fiqih islam yang mengatakan bahwa perceraian itu adalah hak bagi suami, artinya jatuh atau tidaknya suatu talak atau perceraian itu ada di tangan suami, bukan ada di depan sidang pengadilan. Dimana penentu jatuh atau tidaknya suatu talak itu ada di bawah kekuasaan Qadli atau Hakim pengadilan sehingga memunculkan norma yang tidak substantif (hakiki) secara islami, melainkan sebuah norma yang interventif (terpengaruhi) oleh Negara yang dominan dan sarat akan muatan politis. Maka menurut golongan ini aturan perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan itu tidaklah patut untuk digunakan.
Sedangkan menurut golongan yang pro dengan aturan perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan mengklaim bahwa aturan tersebut merupakan bentuk implementasi dari kepedulian Negara mengenai tujuan dan kesucian serta keluhuran pernikahan yang telah dibangun oleh pasangan suami isteri agar tidak runtuh dengan sebab kesewenang-wenangan dari suami agar tidak mudah untuk menjatuhkan talak yang berakibat hubungan antara keduanya menjadi terpisah oleh suatu perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. أبغض الحلال إلى الله الطلاق
Dalam istilah ushul fiqih, kebijakan ini disebut dengan Mashlahah Mursalah, yakni suatu ketentuan yang tidak diatur dalam agama (fiqih) tetapi tidak bertentangan dengan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Lagi pula dengan mengikuti aturan perceraian dalam Undang-Undang perkawinan, berarti tidak mengabaikan perintah Al-Qur’an untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat pemerintah (Ulil Amri), sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 59:
يا أيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu sekalian kepada Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul dan Ulul Amri diantara kamu”.
Perkawinan bukan saja bersatunya dua insan berlainan jenis yang saling mencintai, tetapi juga bertemunya dua karakter yang berbeda. Di tengah perbedaan itulah kita dituntut untuk saling mempelajari watak satu sama lain, agar dengan perbedaan, dinamika rumah tangga menjadi lebih aktif dan hidup. Namun demikian, tak banyak orang yang pandai mengelola perbedaan di dalam rumah tangga. Sehingga, banyak yang harus mengakhiri hubungan rumah tangganya di meja pengadilan.
Seperti contoh jika pertengkaran sudah teramat sengit antara suami isteri dimana keduanya saling mencaci dan memukul, maka menurut pendapat yang disahkan oleh kitab Ar-Raudlah adalah wajib untuk mengirim juru damai kerena sesuai dengan perintah Al-Qur’an (Al-Mahalli ‘Alal Minhaj fi Bab An-Nikah). Sedangkan dalam kitab Syarqawi ‘ala at-Tahrir disebutkan bahwa jika masing-masing dari suami isteri saling menuduh dan keadaan sudah sedemikian rumit, maka hakim wajib mengutus dua juru damai yang sesuai dengan kehendak suami isteri, agar kedua juru damai tersebut dapat melihat dan mengetahui persoalan yang menimpa mereka, kemudian menetapkan hukum bagi kepentingan mereka, apakah didamaikan atau dipisah. Allah swt. Berfirman: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah dua juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari keluarga perempuan” (An-Nisa : 35)
Mengamati realitas ini, peranan sistem hukum dalam perkawinan sangat penting, terutama dalam mewujudkan tujuan perkawinan yakni membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada dasarnya, tinggi rendahnya angka perceraian tidak terlepas dari peran Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sebagai perangkat pendukung tujuan perkawinan. Dalam UU ini telah menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian dengan mengharuskan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan. Prinsip tersebut lebih dikenal dengan istilah sistem pengetatan. Sebagai pendukung prinsip tersebut adalah aturan pelaksanaan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 14 yang berbunyi ; “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggal termohon, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.” Karena itu segala peristiwa yang terjadi, termasuk perceraian, secara teknis dapat dimonitor oleh sistem.
Penyempurnaan sistem pengetatan terhadap perceraian disiasati dengan membuat skenario tenggang waktu dan penasehatan. Mengenai tenggang waktu, Pengadilan Agama dalam menjatuhkan putusan memproses perkara lebih lama dengan mengharuskan penggugat untuk mengisi berbagai kelengkapan administrasi, seperti pendaftaran di kepaniteraan, panggilan sidang pertama, kedua, dan selanjutnya yang praktis memakan waktu cukup panjang. Adanya tengang waktu ini memiliki tujuan memberikan kesempatan bagi pihak yang berperkara untuk berfikir jernih agar dalam pengambilan inisiatif cerai tidak dikuasai oleh emosi yang merugikan sehingga, kemungkinan damai bisa terjadi.
Penasehatan merupakan tindak lanjut dari sistem pengetatan. Agar penasehatan ini dapat berjalan efektif, Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud cerai tersebut, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan biasanya meminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat agar suami isteri tersebut dinasehati untuk dapat hidup rukun kembali dalam rumah tangga.
SAH DAN RESMI
Pernikahan dianggap sah menurut agama apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Dan dianggap resmi apabila dicatat di kantor KUA.
Begitupun dengan perceraian dianggap sah apabila suami telah menjatuhkan talak. Dan dianggap resmi apabila talak itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Istilah itulah yang sering dipakai di tengah-tengah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar