Rabu, 09 Desember 2009

Batas Usia Pernikahan

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat.
Seperti hal lainnya, pernikahan juga memiliki rukun dan syarat. Akan tetapi bukanlah hal itu yang akan kita bahas disini, melainkan batas usia pernikahan ditinjau dari sudut pandang agama dan Negara.
Dalam islam batasan usia pernikahan tidaklah ditekankan secara tegas, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Akan tetapi islam lebih menekankan pada tingkat kematangan (kedewasaan) baik dari segi fisik maupun dari segi mental. Karena Rasulullah sendiri menikah dengan Siti Khodijah ketika usia beliau 25 tahun, sedangkan usia Siti Khodijah 40 tahun, dan beliau menikah dengan siti ‘aisyah ketika usia beliau mencapai 51 tahun, sedangkan siti ‘Aisyah pada saat itu baru berusia 7 tahun.
Imam madzhab yang 4 pun sebenarnya tidak terlalu tegas dalam permasalahan batas usia pernikahan. Ketiga imam selain syafi’i membolehkan pernikahan dan mengesahkannya selama pernikahan itu telah memenuhi syarat dan rukunnya. Dan perlu diingat, dalam syarat dan rukun nikah itu tidak terdapat batas minimal usia, baik bagi lelaki ataupun perempuan. Sedangkan Imam Syafi’i mensyaratkan pengantin haruslah sudah mencapai usia baligh. Dengan pertimbangan pernikahan adalah aqad (perjanjian), aqad itu harus dengan sighot atau pernyataan dan shighot hanya bisa diterima dari mereka yang telah mencapai usia baligh, dan dalam fiqih syafi’iyah, usia baligh ditentukan 15 tahun untuk lelaki dan 9 tahun untuk perempuan. Jadi secara tidak langsung, Imam Syafi’i memberikan batas minimal usia untuk melakukan pernikahan adalah 15 tahun untuk lelaki dan 9 tahun untuk perempuan, dengan mempertimbangkan syarat diterimanya shighot aqad.
Bersumber dari sebuah hadits yang berbunyi:

حدثنَا سليمان بنِ حَرب وأبو كامل قالا حدثنا حماد بن زيد عن غشام بن عروت عن أبيه عن عائشة قالت تزوجنى رسول الله صلى الله عليه وسلم - وأنا بنت سبع- قال سليمان أو ست- ودخل بى وأنى بنت تسع.

Dari hadits diatas menunjukkan bahwa seorang ayah, berhaq dan sah untuk menikahkan anak perempuannya yang masih kecil. Imam An Nawawi berkata bahwa hadits ini bisa dijadikan dasar bolehnya seorang ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang masih kecil. Ketika anak gadis tadi sudah baligh, maka tidak ada alasan baginya untuk membatalkan pernikahan. Demikianlah yang dikemukakan oleh Imam Malik, Syafi’i dan ulama-ulama hijaz yang lain. Sedangkan Ahlu al ‘iraq berkata bahwasannya anak gadis boleh untuk memilih (melangsungkan atau menggagalkan pernikahan) ketika dia sudah mencapai usia baligh.
Mengenai orang yang berhak untuk menikahkan, Imam Syafi’i, Tsauri dan beberapa Imam lain sependapat bahwa yang berhak untuk menikahkan anak gadisnya adalah ayah ataupun kakek, bahkan jumhur ulama menyatakan tidak sahnya pernikahan ketika dilakukan oleh selain ayah dan atau kakek.
Sedangkan Imam Auza’i dan Abu Hanifah, serta ulama-ulama salaf yang lain menyatakan bahwa semua Wali itu boleh untuk menikahkan anak gadisnya yang masih kecil, dan si anak gadis tadi diperbolehkan untuk memilih apabila dia sudah menginjak usia baligh. Seedangkan Abu Yusuf berpendapat lain, beliau menyatakan bahwa anak gadis tidaklah memiliki hak untuk memilih meskipun dia itu sudah masuk usia baligh. (‘aunu al ma’bud syarh sunan abu dawud li Muhammad syamsul haq al ‘adziem, dalam bab tazwijushshighor, juz : 6, hal.: 111-112)
Sebenarnya batasan usia pernikahan sangatlah relative, karena antara satu daerah dengan yang lain, tingkat kedewasaan/pendewasaan itu bisa saja berbeda. Sebagai contoh, remaja yang hidup di kota pastinya proses pendewasaannya lebih cepat daripada remaja yang hidup di desa. Karena faktor pergaulan dan lingkungan tentunya sangatlah mempengaruhi cepat atau lambatnya proses pendewasaan.
Menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia, melalui undang-undang RI No. 1 tahun 1974 dalam bab II pasal 7 disebutkan batas usia pernikahan minimal adalah 19 tahun untuk lelaki dan 16 tahun untuk perempuan. Berikut ini kami cantumkan kutipan dari Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan:
Pasal 7
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukoleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Didalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa undang-undang pernikahan menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan. Hanya saja dalam ayat selanjutnya, terdapat penjelasan bahwasannya ketika terjadi penyimpangan terhadap pasal (1), maka bisa ditanggulangi dengan meminta dispensasi terhadap pengadilan atau pejabat lain yang telah ditentukan (ayat (2)).
Dalam pernikahan dibutuhkan kematangan jiwa dan raga, hal ini dapat kita fahami dari tujuan dari pernikahan itu sendiri. Beberapa diantaranya yaitu:
1. Menjalankan perintah Allah
Bersumber dari Q.S An-Nur ayat: 32 disebutkan “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya dan Maha Mengetahui”. Dan dari ayat 21 surat Ar-Rum “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
2. Mengikuti sunnah Rasulullah
Berdasar pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari Aisyah r.a: “Nikah itu sunnahku, barang siapa yang tidak suka maka bukan golonganku”.
3. Mendapatkan keturunan yang shalih
Tujuan pernikahan selanjutnya yaitu berusaha mendapatkan keturunan yang shalih, karena keturunan lah yang akan meneruskan perjuangan para orang tuanya sebagai pengemban titah Tuhannya menjadi Khalifah fil Ardli.
4. Berusaha mencegah perbuatan zina
Sesuai dengan surat Al-Isra: 32 “Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
KESIMPULAN
Setelah mengetahui bebarapa kronologi tujuan nikah yang begitu agung dan mulia maka pernikahan seharusnya dijalankan oleh orang yang mapan, bertanggung jawab dan memiliki kegigihan serta raja’ atau optimisme yang besar demi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Sehingga peraturan pemerintah yang telah dituangkan dalam undang-undang yang menyebutkan adanya pembatasan usia minimal untuk masing-masing kedua calon mempelai dengan background kemapanan dan kedewasaan dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan yang tersebut diatas adalah boleh dan memiliki nilai mashlahat bagi kedua mempelai pada khususnya dan bagi generasi penerus bumi Indonesia pada umumnya. Maka dalam hal ini kita wajib mengikuti Imam (Pemerintah) secara dhahir dan batin.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Imam ar Rumli, bahwasannya wajib untuk taat pada Imam (hanya secara dhahir, tidak bathin), meskipun atas hal yang diharamkan. Sedangkan terhadap selain hal yang diharamkan (makruh, mubah atau sunnah) kita wajib untuk taat pada imam dhahiran wa bathinan, apabila hal yang diperintahkannya mengandung unsur kebaikan. Adapun yang dimaksud dengan dhahiran, yaitu kita tidak dihukumi berdosa apabila tidak melakukannya. Sedangkan bathinan, yaitu kita dihukumi berdosa ketika kita tidak melakukannya (bughyatul mustarsyidin : 91). Dari ibarot ini, dapat kita simpulkan bahwa taat pada imam dalam hal batas usia pernikahan itu adalah wajib, selain karena tidak bertentangan dengan syari’at, juga karena dalam hal ini terkandung unsur kebaikan.

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar