Tafsir Al-Baqarah ayat 35 Part. 2
وَقُلْنَا يَا أَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَاتَقْرَبَا هِذهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ (البقرة : ۳٥)
Dan kami berfirman : “Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang baik lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”(Al-Baqarah :35).
Jika merujuk pada ayat ke-30 ‘Inni jaa’ilun fil ardl khalifah’ (sesunggahnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi), didapat kesimpulan bahwa Adam as adalah makhluk yang diproyeksi-kan (dirancang) untuk menjadi khalifah Allah SWT di muka bumi. Seorang halifah akan dapat melaksanakan tugas kekhalifahannya dengan baik dan benar, mana kala ia teguh berkomitmen untuk tunduk kepada ketinggian dan superioritas (keunggulan) Sang Pemberi tugas (Allah SWT). Dengan kata lain teguh melaksanakan ‘ubudiyyah (pengabdian).
Di dalam ayat 35 ini, didapat gambaran apa dan bagaimana penetapan manhaj ‘ubudiyyah (prosedur pengabdian) -yang kelak harus dilakukan Adam as manakala ia menjalani tugasnya nanti dalam mengemban kekhalifahan di muka bumi – yang sarat dengan i’tibar (pelajaran berharga).
Pertama; Penetapan manhaj ‘ubudiyyah itu tidak cukup dilakukan Allah SWt dengan hanya menyodorkan mabda’ nadhori (prinsip-prinsip dasar yang bersifat teoritis)nya saja sebagaimana tersmpul dalam ayat ‘Wa’allama aadamal asma-a kullaha‘ , tetapi Allah menganggap penting untuk memberikan kesempatan waktu kepada Adam as untuk melakukan tajribah ‘amaliyyah (eksperimen yang bersifat praksis). Ini tersimpul dalam firman ‘Uskun anta wazaujukal jannah’ (diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini). Jadi Adam berdiam di surga itu sebenarnya dalam rangka melakukan training (pelatihan) untuk meng-aplikasikan mabda’ nadhori dari manhaj ‘ubudiyyah supaya kelak pada saat bertugas menjadi khalifah telah memiliki pengalaman. Karenanya menurut ba’dul mufassirin jannah (surga) yang ditempati Adam as bukanlah jannatul ma’wa (surga tempat pembalasan) melainkan jannah tajribah (surga tempat pelatihan).
I’tibar yang dapat dipetik dari gambaran pertama ini adalah, tugas apapun yang diemban, kesukseannya akan sangat bergantung pada sejauh mana prinsip-prinsip dasar tugasnya difahami dan dikuasai (mabda’ nadhori), serta sejauh mana pengalaman yang dimilki dalam melaksanakan tugas itu (tajribah ‘amaliyah).
Kedua; Manhaj ‘ubudiyah yang ditetapkan memuat prinsip dasar yang dirumuskan dengan if’al wa la taf’al yaitu kewenangan-kewenangan yang boleh dilakukan dan larangan yang harus dihindari. Adalah merupakan rahmat (kasih sayang) Allah, jika if’al (kewenangan) ternyata porsinya jauh lebih banyak dibanding la taf’al (larangan). Kata ‘Uskun’ dan kata ‘Wakula minha’ menggambarkan if’al, sedangkan kata ‘Wa la taqraba’ menggambarkan la taf’al. Ayat tersebut mengungkapkan bahwa Adam as diperbolehkan melakukan apa saja, boleh menikmati apapun di surga. Yang dilarang cuma ‘Syajaratun wahidah min baini ulufil asy-jaar’ (satu pohon dari sekian ribu pohon yang ada).
Tidak Cuma berlaku bagi Adam as, hal yang sama juga berlaku bagi semua anak cucunya (manusia). Karena seluruh risalah langit yang Allah turunkan –min ladun adam ila yaumin hadza- sesungguhnya berkisar pada dua prinsip dasar diatas yakni if’al wa la taf’al. Dan pada kenyataannya apa yang diperbolehkan Allah demikian banyak. Sebaliknya apa yang dilarang Allah hanya sedikitbbahkan amat sedikit (aqallu qalil).
Ketiga, Ketika menyatakan larangan, Allah menggunakan redaksi ‘Wa la taqraba hadzihis syajarah’ (janganlah kamu dekati (tempat) pohon ini), meski sebenarnya yang dilarang adalah makan. Hal ini juga wujud rahmat dari Allah, agar Adam as mengambil sikap menjauh sehingga tidak terjerumus dalam larangan. Seandainya –semisalnya- redaksi yang digunakan ‘wa la ta’ kula minha’ (janganlah kalian makan buah pohon ini), maka dalam pikiran Adam: “Yang dilarangkan makan, maka saya boleh mendekat”. Dan jika Adam sudah mendekat, akan timbul rasa penasaran setelah melihat keindahan pohon yang dilarang, terlebih tercium aromanya, terbayang kelezatan rasanya, maka tergerak hatinya untuk menikmatinya. Karena itulah dalam konteks larangan, redaksi yang sering digunakan adalah redaksi yang sama atau redaksi yang konotasinya serupa (contohnya larangan zina, redaksi yang digunakan ‘wala taqrabuz zina’).
Maka terhadap larangan-larangan Allah, sikap yang bijak adalah jangan mendekat supaya tidak terjerembab. Sebagaimana Rasulullah peringatkan : ”Wa man ra’a haulal hima yushiku an yaqa’a fih” (Barang siapa yang mendekati di sekitar larangan, maka ia akan terjerumus kedalam larangan itu).
Keempat; Meski begitu banyaknya yang diperbolehkan, karena potensi syahwat yang dimilikinya dan godaan syaitan yang bertubi-tubi, ternyata Adam as lalai dan tergelincir juga melanggar larangan yang satu itu. Beruntung Adam as segera menyadari dan menyesali diri dengan memohon ampunan, sehingga Adam as dapat kembali lagi ke pangkuan maghfirah dan rahmah Allah SWT. Pelajaran yang dapat dipetik dari gambaran ini adalah kita mesti ektra hati-hati dalam mengelola potensi syahwat dan waspada pada godaan syaitan. Jikapun kita melakukan larangan, bersegeralah melakukan pertaubatan. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar