Rabu, 09 Desember 2009

Dua Cara Yang Berbeda Dalam Menyikapi Perintah Allah

Tafsir Al-baqarah: 34

وَإِذْقُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِأدَمَ فَسَجَدُوا اِلَّاإِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْن
َ
“(Dan renungkanlah) Ketika Kami berfirman kepada malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka. Tetapi Iblis enggan dan angkuh dan adalah ia termasuk golongan kafir”.
Ayat ini menegaskan bahwa Adam as karena telah mendapat anugerah ilmu dan kemampuan meng-inba’-kan ilmunya, maka tidak saja layak untuk menjadi khalifah, tetapi juga berhak mendapat penghormatan dari Allah SWT.
Penghormatan iu diaktualisasikan melalui perintah-Nya kepada malaikat dan iblis supaya bersujud pada Adam as. Dan penghormatan yang diberikan Allah SWT, bukanlah pengormatan biasa melainkan ‘pengormatan agung’. Hal ini tercermin dari redaksi ayat yang beralih menggunakan kata ‘waidz qulna’ yang menunjukkan arti keagungan, yang tersirat pada dlamir 'na' (mu’azhim linafsih), meskipun ayat ini di-athaf-kan pada ayat ‘waidz qola robbuka’ yang hanya menggunakan benuk personal ketiga.
Ayat ini juga memberi penjelasan perbedaan sikap yang sangat kontras dalam merespon perintah Allah swt.
Pertama: Sikap Malaikat. Malaikat dengan ketaatan dan totalitas penyerahan dirinya kepada Allah SWT, tidak menunda-nunda dan tanpa berpikir-pikir dulu, segera melaksanakan perintah. Malaikat meyakini karena perintah ini langsung dari Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Benar, maka perintah bersujud pada Adam pasti benar dan berangkat atas dasar kebijaksanaan. Ini digambarkan dengan kata ‘Fasajaduu’ yang menggunakan hurfa ‘athaf ‘fa’ yang berfaidah ‘At-tartib ma’al ittishal’.
Kedua: Sikap iblis. Iblis menyikapi dengan keangkuhan (istakbara). Keangkuhannya kemudian mengantarkan dirinya enggan (abaa) dan bermain logika dengan menyampaikan keberatan “Aasjudu liman khalaqta thina’ (apakah pantas aku sujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari unsur tanah), serta menganggap dirinya lebih baik ‘ana khoirun minhu kholaqtani min-nar wa kholaqtahu min thiin’ (aku lebih baik dibanding dia. Karena Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah).
Menurut logikanya tidak wajar makhluk yang lebih baik unsur kejadiannya bersujud kepada makhluk yang lebih rendah unsur kejadiannya.
Ironisnya dalam berlogika, iblis hanya mengandalkan kemampuan pikirannya saja tanpa mau ber-muraja’ah atau ber-istisyarah kepada Allah. Berbeda dengan sikap malaikat ketika merespon rencana Allah menciptakan Adam, malaikat ber-muraja’ah denagn rendah hati menghaturkan ‘Ataj’alu fiha man yufsidu fiha wa yasfikud dima-a wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka’ (mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah, orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau).
Sehingga logika iblis tidak memiliki substilitas intelegensi (ketepaan pemahaman). Logika iblis terjebak dalam formalisme yaitu hanya melihat wujud formal Adam yang terbuat dari tanah, dan ter-hijab dari pemahaman hakikat dibalik gumpalan tanah yaitu potensi ilmu dan inba’ dalam diri Adam.
Ayat inipun kiranya menjadi I’tibar kita. Dalam menyikapi perintah Allah SWT, hendaknya dengan pola malaikat-isme tidak dengan cara iblis-isme. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar