Kamis, 24 Desember 2009

ABORSI

Janin adalah makhluk yang telah memilki kehidupan yang harus dihormati (Hayah Muhtaramah), menggugurkannya berarti menghentikan (menghilangkan) kehidupan yang telah ada. Dan ini hukumnya haram berdasarkan sejumlah dalil, antara lain :
Firman Allah SWT :
وَلَا تََقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتىِ حَرَّمَ اللهُ إِلاَّبِا لْحَقِّ (الإسراء ۳۳)
Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang hak (benar). (Al-Isra’33)
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dinamakan dengan ‘Allati harromallahu’ ialah jiwa manusia yang berpredikat atau menyandang gelar islam. Hal ini terinspirasi dari hadits
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا اَنْ لَاإِلهَ إِلَّااللهُ إلخ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan kalimat Tauhid (la ilaha illallahu)...”
Namun sebagian ulama yang lain mengomentari ayat di atas bahwa jiwa yang dimulyakan oleh Allah adalah jiwa yang memiliki Ubudiyah, yakni sebuah hubungan kontak dengan Allah di mana sang hamba/penyembah meyakini akan ketuhanan Allah dan mengakui kehambaannya. Wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.
Perlu diketahui bahwa dalam Ubudiyah itu sendiri terdapat batasan-batasan yang berkenaan dengan bentuk fisik atau jasmani manusia yang melakukannya. Batasan itu diataranya adalah Mukallaf atau Taklif yaitu seorang manusia yang Aqil (berakal, tidak gila) dan Balig (mencapai batas umur atau gejala fisik tertentu yang telah ditetapkan oleh kaidah fiqh).
Dan untuk aqil dan balig tentunya manusia itu sudah berwujud sempurna atau kamalul jasad, lantas kamalul jasad pun terjadi setelah adanya nafkhir ruh yaitu peniupan ruh yang terjadi pada saat manusia berumur 120 hari dalam kandungan sang ibu. Jadi kronologinya adalah sempurnanya jasad adalah satu bentuk untuk bisa diberi ruh agar dipersiapkan untuk menerima taklif, dan taklif itu sendiri adalah criteria untuk ubudiyah sedangkan Ubudiyah adalah hubungan meditasi kontak dengan Allah, maka pada saat itulah manusia memiliki kemuliaan.
Sehingga menurut perspektif ini kemuliaan manusia adalah ubudiyah di mana ubudiyah merupakan hubungan vertikal dengan Allah. Oleh karenanya apabila belum nafkhir ruh, sehingga taklif pun belum tercapai dan Ubudiyah itu belum terlaksana maka daging tersebut seolah-olah seperti daging biasa, tak bernilai dan tak berharga sehingga boleh untuk digugurkan. inilah bentuk point of view atau sudut pandang dari segi Fiqih.
Namun untuk kalangan ahli tasawuf yang sangat mengindahkan aspek ubudiyah, maka mereka dalam pengerahan capable ijtihad lebih bernuansa ihtiyath atau berhati-hati. Dengan gambaran bahwa agar terjaganya kelangsungan ubudiyah manusia dengan Allah, maka pengguguran dan penghalangan hal-hal yang berkaitan dengan ke-eksisan hidup manusia baik yang berpostur tubuh besar atau kecil, baik sebelum nafkhir ruh (120 hari) atau setelahnya bahkan sekalipun masih dalam bentuk embrio (bentuk awal manusia), aborsi adalah haram secara mutlak.
Hanya saja dalam dunia perhelatan pendapat, tentu saja akan banyak pandangan dan tinjauan serta porspek yang berlainan satu sama lain. Dalam Aborsi yang sebelum Nafkhir ruh juga terdapat perbedaan kacamata yang digunakan oleh masing-masing ahli mujtahid. Berikut deskripsinya:
Pendapat Fuqaha’ tentang hukum aborsi sebelum Nafkhir Ruh atau ditiupnya ruh adalah sebagai berikut:
Pertama, Boleh (mubah) secara mutlak (tanpa harus ada alasan medis), menurut Ulama Zaidiyah, sekelompok Ulama Hanafi, sebagian Ulama Syafi’I, serta sejumlah Ulama Maliki dan Hanbali.
Kedua, Mubah karena ada alasan medis (uzur) yang dikhawatirkan akan membayakan keselamatan sang ibu atau cacatnya janin yang parah dan makruh jika tanpa uzur menurut Ulama Hanafi, dan sekelompok ulama Syafi’I. Kaidah Fiqhiyah الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan).
Ketiga, Makruh secara mutlak menurut sebagian Ulama Maliki.
Keempat, Haram menurut pendapat Mu’tamad Ulama Maliki.
Menurut Imam Al-Ghazali dari kalangan Madzhab Syafi’I, jika Nuthfah (sperma) telah bercampur (ikhtilath) dengan ovum dan siap menerima kehidupanإِسْتِعْدَاُد لِقُبوْلِ الْحَيَاةْ Maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah) ini berarti haram melakukannya. Dan jika dipandang dari hadits Tana kahu Tana saluu ‘menikahlah kalian agar berketurunan’ di mana berketurunan itu bermaksud untuk menghidupkan umat islam agar beribadah kepada Allah yang Nabi Muhammad SAW sendiri sangat membanggakannya, maka menggugurkannya pun haram dilakukan.
Dan setelah melihat semua pendapat, lantas dipilhlah suatu hukum yang paling memiliki akurasi yang tepat dengan maqashidus syariah agar manusia jangan sewenang-wenang dan menghindari sekaligus menutup akses-akses yang berbau criminal maka hukum aborsi adalah haram secara mutlak baik sebelum atau sesudah nafkhir ruh. Dan soslusi ini telah termaktub dalam kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindarkan kerusakan (hal-hal negative) diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan
Dan bagi semua pelaku aborsi, bertaubatlah kepada Allah Sang Pencipta kehidupan atas perbuatan nista ini dan janganlah berburuk sangka terlebih dahulu dengan terlahirnya bayi akan hidup melarat karena takut ketidakjelasan nasib, janganlah berputus asa dari limpahan dan anugerah Allah yang sangat luas. Dia-lah Sang Pemberi rezki bukan pencaci, Dia-lah Maha Penyayang bukan suka menelantarkan. Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar