Minggu, 31 Mei 2009

Paradigma Problematika Kontemporer

PROBLEMETIKA KONTEMPORER


A. Mengadakan Shalat Jum’at di kantor
Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, banyak kantor, pertokoan, kawasan industri dan kompleks perumahan yang menyelenggarakan sholat Jum’at. Jama’ah shalat terdiri dari pegawai/karyawan atau orang-orang yang tidak tergolong penduduk asli ( mustauthin ) atau orang-orang yang berdomilisi untuk sementara waktu di tempat tersebut ( muqimin ). Kalau pun ada, jumlahnya sedikit dan tidak memenuhi jumlah yang disyaratkan untuk sahnya mendirikan sholat Jum’at. Pertanyaannya adalah: bagaimana hukum shalat Jum’at yang dilakukan di perkantoran, hotel-hotel dan restauran-restauran dan tempat-tempat lain seperti di atas?
Dalam menjawab pertanyaan ini, Majlis Diskusi Ilmiah Al Ghadier menyepakati perlunya melihat permasalahan ini dari dua syarat bagi sahnya mendirikan sholat jumat; syarat pertama adalah al istiithan (pelaku sholat Jum’at harus penduduk setempat dengan jumlah tertentu) dan syarat yang kedua adalah ‘adam at ta’addud (tidak ada dua jum’at atau lebih dalam satu tempat).
Untuk syarat pertama, ulama membedakan para pelaku sholat Jum’at dalam tiga status kependudukan, yaitu; Mustauthinin, Muqimin dan Musafirin. Mustauthinin adalah orang yang telah menetap disuatu daerah dan tidak punya niat untuk meninggalkan daerah tersebut kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya sementara. Mustauthinin dalam hal ini boleh diartikan sebagai penduduk setempat yang umumnya mempunyai KTP daerah tersebut. Muqimin adalah orang yang bertempat tinggal di suatu daerah selama empat hari atau lebih (tidak ada batas maksimal, meskipun bertahun-tahun), akan tetapi masih mempunyai niat untuk meninggalkan daerah itu dan kembali ketempat mereka berasal (contoh paling sering dimunculkan adalah santri Pondok Pesantren, meskipun mereka tinggal di pesantren selama bertahun-tahun akan tetapi mereka masih mempunyai keinginan meninggalkan pesantren dan kembali ke kampung halaman mereka). Sedangkan musafirin adalah mereka yang masih dalam perjalananan atau belum menetap di sebuah daerah minimal selama empat hari (lihat kitab Fathul Muín, hlm : 40)
Kaitan dengan sahnya mendirikan sholat Jum’at, mayoritas ulama syafi’iyyah menegaskan bahwa sholat jum’ah harus dilaksanakan oleh Mustauthinin dengan jumlah minimal empat puluh orang. Sholat Jum’at tidak sah bila dilakukan oleh Mustauthinin yang kurang dari jumlah minimal atau hanya melibatkan muqimin dan musafirin saja. Oleh karena itu, bila mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah ini maka hukum sholat Jum’at yang dilaksanakan di perkantoran, hotel-hotel dan rumah sakit-rumah sakit di kota-kota besar adalah tidak sah karena mereka yang mengikuti sholat Jum’ah umumnya bukan penduduk setempat melainkan para pendatang dari daerah lain. Dalam istilah bahasa fiqh mereka bukan mustauthinin akan tetapi musafirin. Kalaupun ada mereka yang sudah menetap di tempat tersebut seperti penjaga kantor atau karyawan yang dirumahkan disekitar kantor, umumnya mereka tidak menetap untuk selama lamanya akan tetapi suatu saat mereka akan kembali ke daerah asal mereka. Merka disebut sebagai muqimin dan tidak dapat memenuhi syarat sahnya mendirikan sholat Jum’at. Tentunya, bila dalam jamaah sholat Jum’ah yang diadakan di perkantoran-perkantoran tersebut terdapat penduduk setempat lebih dari 40 orang maka sholat jum’ahnya sah, akan tetapi yang terakhir ini jarang sekali terjadi.
Berikut ini cuplikan pendapat ulama syafi’iyah mengenai syarat Jum’at harus dilaksanakan oleh penduduk setempat (Mustautinin) yang berjumlah minimal 40 orang:
Dalam kitab al Bajuri Juz I hal 214 : “Syarat sahnya melaksanakan Jum’ah ada tiga...... yang kedua adalah terdapat empat puluh ahli jum’at yaitu mereka yang mukalaf, lelaki, merdeka dan merupakan penduduk setempat yang tidak meninggalkan daerah mereka di musim panas ataupun dingin kecuali karena kebutuhan-kebutuhan sementara saja”.
Dalam kitab Fath al Mu’in hal 40 : “dan Jum’at wajib bagi seorang muqim…. akan tetapi jum’at tidak sah didirikan oleh orang yang muqim tidak mustauthin”
Di kitab dan halaman yang sama disebutkan bahwa: “Imam Al-Bulqini ditanya tentang penduduk daerah yang jumlah penduduknya belum mencapai 40 orang. Apakah mereka melaksankan shalat dzuhur atau shalat jum’at ?Beliau menjawab : Menurut madzhab syafi’i mereka harus shalat dzuhur.
Sekarang bagaimana kita menyikapi praktek yang sudah umum terjadi itu, apakah tidak ada pendapat yang memperbolehkan sholat jum’at seperti yang terjadi di hotel-hotel dan restauran-restauran di kota-kota besar di Indonesia?
Dalam mencari jalan keluar terhadap praktek-praktek yang sudah umum terjadi saat ini, kemungkinannya adalah kita bisa mengurangi syarat jumlah minimal dari penduduk setempat (mustauthinin) yang harus ikut di dalam shalat Jum’at. Imam Syafi’i mempunyai beberapa pendapat yang berbeda tentang jumlah jamaah yang harus dipenuhi dalam shalat Jum’at. Salah satunya, seperti dinukil oleh pengarang Kitab al-Talkhis dan Syarh Muhadzab Juz IV hal 505, bahwa Jumat adalah sah apabila didirikan oleh paling sedikit empat orang dari mereka yang memenuhi syarat sahnya mendirikan sholat jum’at. Pendapat ini adalah qoul qodim Imam Syafi’i yang masih didukung dan diunggulkan oleh sebagian murid-murid beliau. Dan ini sesuai dengan pendapat Imam Abi Hanifah dan Muridnya, Muhammad, bahwa Jum’at boleh dilaksanakan oleh tiga orang saja selain Imam sholat (lihat kitab al Fiqh al Islami wa Adillatihi, Juz 2 hal : 275). Adapun pendapat yang lain dari Imam Syafi’i adalah 12 (dua belas) orang, hal ini didasarkan pada ( Q.S. Al-Jum’ah : 11 ) ”Waidza raaw tijaratan aw lahwanin fadlu ilaihi watarakuu ka qaaiman” ‘Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, meraka bubar untuk menuju kepada-Nya dan mereka meninggalkanmu dalam kedaan berdiri ( berkhothbah )'. Pada saat ditinggalkannya para jamaah , Nabi Saw hanya ditemani oleh dua belas orang yang tidak pergi / bubar menuju perniagaan . Atas dalil ini Imam Syafi’i mengambil ‘Ibrah (pelajaran) bahwa shalat itu tetap sah dengan anggota jama’ah yang ada dua belas, atau sederhananya minimal mushalli itu ada dua belas orang.
Bila mengikuti pendapat-pendapat dari Imam Syafi’i ini, maka agar dapat dikatakan sah, hendaknya sholat Jum’at di perkantoran-perkantoran dan sejenisnya setidaknya harus melibatkan empat orang atau dua belas penduduk setempat. Tentunya ini tidak sesulit ketika masih disyaratkan diikuti oleh paling tidak empat puluh orang dari penduduk setempat. Apabila masih ditanyakan, ‘Apakah boleh mengikuti pendapat qaul qadim? Jawabannya boleh, karena ia adalah pemikiran yang terlahir dari sang Imam yang dibela dan diunggulkan (ditarjih) oleh murid-muridnya. Pembelaan murid-murid beliau menunjukkan bahwa pendapat itu adalah rajih (yang unggul). Terlebih lagi, dalam kitab Bughya hal : 80 dijelaskan : “Imam Suyuthi dan ulama lainnya berkata bahwa sebenarnya tak ada satu hadits pun yang menetapkan bilangan tertentu dalam jamaah sholat Jum’ah.” Jelaslah disini, kita diperbolehkan mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang memperbolehkan sholat jum’at hanya dihadiri oleh paling tidak empat orang penduduk setempat, meskipun selebihnya dari para jama’ah adalah muqimin dan musafirin.
Jika solusi ini (melibatkan empat orang penduduk setempat) juga sulit untuk direalisasikan, maka dalam madhab syafi’i terdapat pendapat yang tidak mensyaratkan adanya penduduk setempat (mustauthinin) untuk sahnya mendirikan sholat Jum’at. Menurut pendapat ini, orang-orang yang tinggal untuk sementara waktu (muqimin) pun bisa mendirikan sholat Jum’ah secara mandiri. Dikutip dalam kitab Syarh Muhadzab bahwa Abu Ali Ibnu Abi Hurairah berpendapat, shalat jum’ah adalah sah meskipun hanya didirikan oleh muqimin, karena mereka tetap berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat Jum’at itupun menjadi sah bagi mereka. Terlebih lagi apabila kita melihat pendapat diluar madhab Syafi’i, Imam Abi Hanifah mengesahkan sholat Jum’at yang hanya melibatkan orang-orang yang masih berada dalam perjalanan atau musafirin. Masih dalam kitab yang sama dijelaskan bahwa “Menurut mayoritas ulama, tidak sah shalat Jum’at yang didirikan oleh hamba sahaya dan musafir, berbeda dengan Abu Hanifah yang mengesahkannya.” Menurut pendapat ini, Sholat Jum’at di perkantoran-perkantoran dan tempat-tempat yang serupa adalah sah sepanjang diikuti oleh empat orang dari mereka yang sudah menetap ditempat itu meskipun mereka menetap untuk sementara waktu saja.
Dengan adanya kemungkinan sahnya shalat Jumát di perkantoran-perkantoran maka menimbulkan konsekuensi adanya penyelenggaraan sholat Jumát yang lebih dari satu dalam satu tempat. Maka kita harus mengkaji hukum sholat Jum’at di kantor-kantor dari syarat `adam at ta’addud.
Berikut hukum yang berlaku umum dalam madzhab Syafi’i yang bertalian dengan syarat ‘adam at ta’addud:
1. Pada pokoknya sholat Jumát hanya boleh didirikan satu dalam satu tempat, tidak boleh dua, tiga, apalagi empat. Sama saja, apakah tempat itu bernama qoryah ( dusun), baldah (negeri) dan lain-lainnya, yaitu suatu kesatuan perkampungan tempat tinggal penduduk, maka disitu hanya dibolehkan mendirikan satu jum‘atan, tidak boleh lebih dari satu, dua, atau tiga juma’atan
2. Tetapi kalau ada udzur syar’í, yaitu udzur yang dibenarkan oleh syariat seperti tidak tertampung dalam satu tempat atau karena alasan-alasan geografis maka barulah sholat Jumát itu dibolehkan didirikan satu, dua, atau tiga dalam satu daerah sesuai dengan kebutuhannya.
3. Andaikata didirikan sholat Jum’át dua, tiga, dalam satu tempat tanpa udzur syar’í maka jum’át yang sah hanya satu, yaitu sholat jumát yang terdahulu takbirnya, sholat Jum’át yang lainnya tidak sah.
4. Jum’át yang tidak sah wajib diulangi dengan shalat dzuhur yakni shalat yang asal pada waktu itu. Kalau tidak diulangi berdosalah orang itu karena belum membayarkan shalat pada waktu dzuhur hari itu.
5. Kalau ragu-ragu yakni tidak diyakinkan bahwa takbir shalat Jum’át kita terdahulu dari shalat Jum’át yang lain di tempat itu, maka sunnah mengulangi dengan dzuhur sebagai tindakan Ihtiyath yakni berjaga-jaga dan melalui jalan aman.
6. Mengulangi dengan dzuhur itu boleh berjama’ah boleh pula tidak.

Jelaslah dari penjelasan diatas tentang hukum ta’addud al Jum’ah, dan melihat kenyataan bahwa sholat-sholat Jum’at yang diadakan dikantor-kantor dan tempat-tempat yang serupa umumnya berdekatan dengan sholat jum’at yang lain dan umumnya tidak ada alasan syar’i yang melandasi didirikannya dua atau lebih sholat Jum’at di satu tempat tersebut maka menurut mayoritas syafi’iyyah hukum sholat jum’at yang kedua dan seterusnya adalah tidak sah. Akan tetapi dengan keputusan tersebut, kita juga terbentur dengan realitas yang ada. Apakah kita cukup berani menghukumi tidak sah pada sholat jum’at yang kedua dan ketiga padahal ini sudah menjadi praktik-praktik yang umum di kota-kota besar? Tidak adakah pendapat yang memperbolehkan berbilangnya sholat Jum’at dalam satu tempat meskipun tidak ada udzur syar’i?
Menarik untuk diceritakan perdebatan mengenai diamnya imam Syafi’i ketika beliau masuk ke Bagdad dan mendapatkan beberapa Jum’at di kota Baghdad di tempat yang berdekatan. Seperti yang diceritakan bahwa pada tahun-tahun permulaan dalam sejarah Islam, tegasnya dari masa Nabi sampai pertengahan abad kedua Hijriyyah, sholat Jum’át itu didirikan hanya satu dalam kota atau tempat. Tetapi kemudian, seorang Khalifah ‘Ábbasiyah bernama Muhamad Al Mahdi yang berkuasa di Baghdad dari tahun 158 H, sampai dengan 169 H, mendirikan dua atau tiga masjid dalam satu tempat dan semuanya dijadikan tempat untuk melaksanakan sholat Jum’ah. Imam Syafi’i pada saat beliau masuk ke kota Baghdad beliau melihat ada dua atau tiga jum’átan, akan tetapi beliau diam saja tidak melarang. Apakah ini berarti bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan dilaksanakannya dua Jum’at atau lebih dalam satu tempat? Dalam hal ini, kebanyakan ulama-ulama Syafi’i menafsirkan bahwa diamnya beliau adalah disebabkan karena di kota Baghdad terdapat udzur yang membenarkan adanya ta’addud al Jum’ah, yaitu sulit berkumpul dalam satu tempat, dan hal itu juga dikarenakan bahwa kota Baghdad itu dibagi oleh sungai yang sangat besar yaitu sungai eufrat yang menghalangi berkumpulnya jama’ah dalam satu tempat. Nampaknya Imam Syafi’i melihat, bahwa hal ini adalah udzur syar’í (udzur yang dibenarkan oleh syariat). Sehingga mayoritas pengikut-pengikut syafi’i tetap tidak memperbolehkan adanya ta’addud al Jum’ah.
Tapi ada pendapat yang mengatakan bahwa bahwa diamnya Imam Syafi’i ini memang karena beliau memperbolehkan adanya dua Jum’at atau lebih dalam satu tempat. Hal ini lah yang kemudian diyakini oleh Imam Sya’rani dan bahkan beliau menambahkan bahwa tidak diperbolehkannya ta’addud al Jum’ah itu sebenarnya karena kekawatiran terjadinya fitnah (mengesankan berpecah belahnya ummat Islam). Adapun saat-saat sekarang dan di saat Imam Syafi’i masuk ke Kota Baghdad fitnah semacam itu sudah tidak ada lagi maka tidak ada alasan lagi untuk melarang ta’addud al Jum’ah di satu tempat. Pendapat seperti inilah yang kemudian diikut oleh syeh Isma’il al Yamani bahwa ta’addud al Jum’ah itu boleh. Bahkan, sholat Jum’at itu disyariatkan demi menampakkan syiar Islam. Konsekuensinya, semakin banyak pelaksanaan Jum’at di satu tempat maka semakin tampak pulalah syi’ar Islam. Pelarangan ta’addud al Jum’ah, masih menurut syekh Isma’il Yamani, adalah tidak berdasarkan nash baik kitab al Qur’ab maupun Hadits. Jelas, menurut pendapat yang kedua ini, ta’addud al Jum’ah bukan merupakan larangan dan tidak menyebabkan tidak sahnya sholat Jum’at.


B. Shobiy Berzina
Tema kedua dalam dirasah Ilmiyah lainnya adalah mengenai zina yang dilakukan oleh seorang anak yang belum baligh. Kita tahu dan menyadari, di era globalisasi ini berbagai jenis informasi masuk dalam sendi-sendi kehidupan, dari mulai informasi yang bernuansa pendidikan (edukasi), sosial, ekonomi, kenegaraan sampai politik. Di era sekarang masyarakat bisa mengakses informasi dengan sangat cepat dan mudah, hanya tinggal memainkan jari tangan pada keyboard komputer bisa mengetahui informasi di seluruh penjuru dunia. Hanya dengan mengakses perangkat lunak (internet) kita dapat mengetahui segala macam bentuk dan beragam wacana dimensi kehidupan baik fiksi maupun non fiksi, subyektif atau obyektif . Tetapi sekarang banyak yang disalah gunakan oleh masyarakat, diantaranya mereka mengakses situs-situs yang bertentangan dengan nuansa Islami (baca :melanggar syar’i).
Diantara dampak negatifnya adalah seorang anak kecil yang belum baligh meng-update situs-situs yang bertentangan dengan nuansa Islami (porno) sehingga ada anak kecil yang berumur 8 tahun memperkosa / melakukan zina dengan seorang perempuan yang masih berumur 7 tahun. Bagaimanakah hukum atas seorang anak tadi dalam hukum Islam?
Dalam kitab Iánatutthalibin juz 4 hal :142-143, disebutkan bahwa untuk ditetapakannya had zina terhadap seseorang, orang tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syaratnya adalah berumur dewasa. Maka tidak ditetapkan hukum had bagi anak kecil yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Hal ini sesuai denga hadist Nabi yang menjelaskan bahwa pena hukuman diangkat dari tiga orang yang salah satunya adalah dari anak kecil hingga ia dewasa.
Sedangkan dalam kitab Nihayatuzzain, hlm: 356. Dijelaskan bahwa hukuman bagi anak kecil yang melakukan dosa adalah dengan mendidik, yaitu memberikan pendidikan. Secara keumuman dihukumnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan atau membahayakan, dibotak, diasingkan, diolok-olok dengan ucapan dan sebagainya.
Demikianlah beberapa kesimpulan yang dihasilkan dalam kegiatan dirasah Ilmiyah Sunniyah Al-Gadier di Pondok Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadi-ien Kempek Cirebon yang diadakan tiap hari Jum’at dibawah asuhan KH. Musthofa Aqiel Siroj. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Wallahu ‘alam.

Hubungan Antara Negara & Agama

Selalu menarik membahas hubungan antara Negara dan agama, dari sisi manapun pembahasan ini. Hubungan antara keduanya selalu tumpang tidih, tarik-ulur dan saling mempengaruhi. Negara adalah organisasi tertinggi, sementara agama adalah keyakinan dan ajaran yang sempurna, mencakup dan menyeluruh. Maka sepertinya akan sulit, jika kita meletakan suatu permasalahan antara hubungan agama dan Negara hanya sepotong-sepotong, sebagian atau hanya dari satu kepentingan saja, katakanlah kepentingan Negara atau kepentingan agama.
Dalam sejarah atau tata Negara dunia, kita mengenal bentuk Negara sekuler dan Negara teokrasi. Dalam Negara sekuler antara Negara dan agama ada ‘pemisahan’ yang jelas; mana kekuasaan dan kewenangan Negara, mana yang menjadi bagian agama. Dalam Negara sekuler agama dianggap masalah pribadi dan masuk wilayah prifat, sehingga tidak bisa ‘seenaknya’ masuk dalam ranah Negara (baca politik, hukum dan kekuasaan), Negara membatasi agama.
Sementara dalam Negara teokrasi, agama merupakan bagian yang tak terpisahlkan dari agama. Hukum yang berlaku adalah hukum agama, kebijakan publik didasarkan pada pertimbangan agama, dan politik dijalankan atas dasar kepentingan agama pula. Sederhananya Negara hampir identik dengan Agama dimana tujuan bernegara adalah tegaknya ajaran agama yang dianutnya.
Maka ada perbedaan yang amat jelas, Negara sekuler menempatkan agama ‘hanya’ sebagai pelengkap, Negara teokrasi menjadikan agama sebagai penentu utama.
Dalam sejarah Islam kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan/Negara. Zaman Rasulullah SAW di Madinah, Al-Khulafa Al Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah, Bani fatimiyah, Bani Umayah di Andalusia, sampai Turki Ustmani adalah contoh-contoh Negara yang pernah mengukir sejarah dalam peta politik dunia Islam.
Contoh Negara teokrasi yang kini menempatkan Islam sebagai dasar Negara adalah Repuplik Islam Iran dan kerajaan Arab Saudi, juga beberapa Negara kecil di timur tengah. Contoh Negara sekuler yang paling populer adalah Negara-negara barat, semacam Inggris dan AS yang kini menjadi kiblat dunia. Lalu apa setatus Negara kita?
Indonesia adalah merupakan Negara kesatuan yang di dalamnya terdapat berbagai macam etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah merupakan bentuk final dari sebuah negara yang dapat mengayomi pluralitas masyarakat Indonesia. Pendiriannya pun melibatkan seluruh kompenen bangsa dari berbagai etnik dan agama, bahu membahu mengusir penjajah dari bumi pertiwi yang tercinta. Butir-butir sila dalam Pancasila sebagai dasar bernegara pun tidak ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Indonesia memang bukan Negara Agama akan tetapi para ulama pendahulu kita bersepakat bahwa dalam bernegara, Indonesia dijiwai oleh spirit universal dari agama yang tumbuh didalam masyarakatnya. Tentunya, Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia diharapkan dapat berperan dalam membentuk nilai-nilai yang mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia. Pandangan ini dapat diterima karena beberapa alasan:
Pertama, meski memiliki perbedaan, hubungan antara agama dan negara diyakini memiliki misi yang sama dalam kehidupan “profan”, yakni merealisasikan kebahagian hidup di dunia, menciptakan kemaslahatan bersama serta mengatur hubungan sesama umat manusia (hablu-minan-naas). Titik temu misi keduanya dapat dilihat dari corak kebudayaan pada suatu bangsa. Persamaan juga terdapat dalam hal kekuasaan. Dalam hal kekuasaan Negara, dalam pandangan Islam, seorang penguasa dalam menegakkan keadilan (al-‘adalah) adalah satu keharusan, Tasharrul imam manuthun bimashlahatir ra’iyyah artinya kewenangan penguasa itu haruslah selaras dengan kemaslahatan publik. Imam Muhamad Idris As-Syafi’i (w. 204 H) menegaskan, bahwa : Manzilatul imam min mar’iyyihi manzilatul waly (Abul-Faidl Muhamad Yasin ibn Isa al-Fadani, al-fawaid al-janniyah juz. II Darul Basyir al-Islamiyah).
Kedua, Islam menekankan pada konsep musawah yaitu perlakuan yang sama terhadap warga Negara di depan hukum tanpa pandang bulu dan menjujung tinggi al-syura (musyawarah). Begitu pula Islam memilki lima prinsip (kuliyatul al-khams) yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip pertama adalah jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan bersewenang-wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua, perlindungan dan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional (hifdz al-aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas harta benda sebagai hak milik (hifdz al-mal). Prinsip keempat. Jaminan atas kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz al-din). Sedang prinsip kelima, jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz al-nasl wal-‘irdl). Sepanjang konsep dan prinsip-prinsip diatas dapat diaplikasikan dengan baik, maka bentuk Negara dan pemerintahan bagaimanapun dipandang sebagai Islami dan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Ketiga, dari sudut pandang fiqh, negara Indonesia adalah merupakan kawasan Islam (Dar al Islam) dimana setiap warga negara yang beragama Islam wajib mempertahankan eksistensi dan kedaulatannya. Penguasa penjajah ataupun kafir bahkan tidak menghilangkan status Indonesia sebagai kawasan Islam (lihat keputusan Muktamar NU di Banjarmasin). Setelah kemerdekaan, status ini diperkuat dengan ditetapkannya kepala negara atau pemerintah Indonesia sebagai penguasa yang sah (waliyy al amri adh dhoruriyy bi as syaukah) yang keputusan-keputusan hukumnya mengikat dan wajib ditaati oleh setiap warga negara.
Timbullah kemudian pertanyaan, bagaimanakah status keberadaan hukum Negara yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, manakah yang harus kita pegang?
Hukum-hukum syariat diantaranya adalah dalam masalah ‘ubudiyah, muamalah, munakahah (atau ahwaal as sahsiyyah) dan jinayah. Untuk masalah ubudiyah ternyata hampir tidak ditemukan adanya pertentangan dengan hukum negara, kita diberikan keleluasan dan bahkan dilindungi dalam mengamalkan amal ibadah yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang kita yakini. Demikian pula dalam masalah mu’amalah kita temukan hal yang sama. Bahkan akhir-akhir ini, sudah banyak diakomodasinya praktek-praktek muamalah yang Islami dalam system ekonomi di Negara kita, seperti mulai banyaknya berdiri bank-bank Syariah dan lain sebagainya. Sedangkan untuk masalah munakah, hukum-hukum Islam sudah sangat dominan terutama setelah di undang-undangkannya UUD perkawinan dan di berlakukannya kompilasi Hukum Islam yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian wakaf, wasiat dan waris. Barangkali hanya dalam masalah jinayah (kriminal seperti hukum qisas dan hudud) lah kita masih mempunyai banyak persoalan. Tapi itu sebenarnya merupakan cerminan dari problematika perundang-undangan hukum Islam dalam dunia yang mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya yang terbaik.
Terlepas dari semua itu tadi tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan juga keselarasan antara agama dan negara pada bagian masalah lain. Undang-undang yang dibuat oleh anggota dewan dan pemerintah bisa mengatur hubungan antara keduanya, sehingga ruang lingkup dari kepentingan Negara dan agama yang diatur oleh undang-undang menjadi sangat menyeluruh pada semua aspek kehidupan.
Lantas ketika negara memberikan sebuah ketetapan-ketetapan maka sebagai muslim pijakannya adalah “ Ya ayuhaldzina amanauu ‘athii’ullaha wa athi urrasula wa ulil amri minkum. “ Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian. Terma ulil amri minkum menurut sebagian ulama adalah sebuah istilah yang diartikan dengan orang-orang yang berhak mengatur dan menghukum ditengah-tengah kehidupan masyarakat, yaitu pemerintah.
Dalam syarah Ihya Ulumudhin, Juz I dijelaskan bahwa ittiba’ kepada pemimpin (negara), meskipun pemimpin itu seorang fasis, itu boleh, Imam Rofii pun membenarkan pendapat ini, dari At Tuhfa Libni Hajar Al-Haytami, Juz I, hlm: 72 dijelaskan bahwa kita boleh mengangkat pemimpin dari ahli dzimmy, asalkan dalam keadaan darurat, karena dalam bidang kepemimpinan tidak ada orang muslim yang kompeten atau cakap mengurus Negara/pemerintahan. Atau misalnya ada, tapi tidak amanat, juga diperbolehkan asal bisa dipastikan dibawah kepemimpinannya, ada kemanfaatan bagi muslim. Artinya pendapat diatas itu sesuai dengan yang dijelaskan dalam kitab At-Tasyri Al-Jinayah yang menyebutkan bahwa: Suatu hukum atau aturan (baca pemimpin) itu sah atau diikuti, selama tidak bertentangan dengan syariat kecuali ketika aturan-aturan tadi sudah melenceng ( baca bertentangan ) dengan syariat.
Maka seandainya setelah kita mengangkat seorang pemimpin dari kalangan ahli dzimmy kemudian ternyata berbuat atau kebijakannya bertentangan dengan syariat Islam maka kepemimpinannya menjadi batal. Bahkan wajib bagi kita untuk mendobraknya, sehingga terciptanya langkah prefentif untuk menghalau dan mencegah dua pola yang sangat kita takuti, yaitu terciptanya generasi dekadensi moral dan adanya konspirasi tingakat tinggi yang menjurus pada penjauhan nilai-nilai Islami.
Hal ini sejalan dengan hadits “Man raa minkum munkaran fal yughoyir biyadih faillam yastati’ fabilisaanihi faillam yastati’ fabi qobihi fahuwa adh’aful imaani “. Untuk yang dalam kategori bil yad adalah orang yang punya kekuatan atau mengubah adanya peraturan, untuk yang dalam kategori bil lisan adalah orang-orang yang punya pengaruh akan ketetapan-ketetapan peraturan yang berlaku, atau yang dalam kategori bil qalbi adalah orang-orang yang tak punya kekuatan dan pengaruh. Hal diatas juga dijelaskan dalam As-Syarwani at Tuhfah, Juz 9, hlm: 72-73 dan juga dalam Al-Mahally al-Manhaj, Juz 4 hlm: 172.
Implemetasi (kaifiyah) sikap kita menghadapi ketetapan sang imam ( baca: Pemerintah ) juga dipaparkan dalam kitab al-Bajuri, Juz 2 hlm: 260 “fatajibu tha’athal imam walau jairan fiima la yukhalifus syar’a min amrin aw nahyin ,bikhilafi ma yukhalifus syar’a li annahu latha’ata limakhluqin fima’shiyatil khaliq.kama fil hadis…………isma’uu wa athi’uu wa in ammara ‘alaikum khabasiyyun mujdi’u al athraaf. Liannal maqshuda al it tihadul kalimati wala tahshulu illa biwujudit tha’ati. Wajib mentaati imam walaupun imam yang menyeleweng selagi perintah dan larangannya tidak bertentangan dengan syari’at, berbeda apabila bertentangan dengan syari’at maka tidak ada ketaatan pada makhluk dalam melakukan kedurjanaan /kemaksiatan pada sang khaliq (Allah SWT), seperti keterangan dalam hadits: “Dengarkanlah dan ta’atillah pemimpin kalian meskipun kalian dipimpin oleh seorang ethopia yang bodoh lagi jahat”. Karena tujuannya adalah persatuan ummat . Dan target ini bisa tak bisa tercapai kecuali dengan adanya ketaatan .
Spesifikasinya, jika perkara itu adalah putusan yang hukumnya wajib, sunnah dan mubah maka wajib mengikuti secara dhahiran wa bathinan. Lalu untuk perkara yang putusannya berupa haram dan makruh maka wajib mengikuti secara dhahiran saja, tapi hati kita tatap ingkar (menolak).
Ditambahkan dalam kitab Ad-Durarul Bahiyah bahwa ittiba’ kepada pemerintah itu harus, baik negara Islam atau bukan, dengan pendekatan Ittiba’ul imamah, iqamatul haq dan Iqamatul amar ma’ruf nahi munkar.

Selasa, 12 Mei 2009

Pendahuluan

Islam dan Penghargaan Tradisi
Metode Ahlus Sunah Sebagai Solusi Beragama

Oleh : KH. Musthofa Aqiel *

Islam ketika ditelaah melalui perspektif sejarah maka akan nampak bahwa metode yang diterapkan dalam penyebarannya adalah mengutamakan arus pendekatan adaptasi, akulturasi bahkan pengadopsian tradisi lokal yang dipandang layak dan masih memiliki kesesuaian dengan inti dari pesan-pesan kandungan utama Islam, seperti penghargaan dan pembelaan tergadap kaum lemah - Mustad’afien -, tata - sosial, atau segala sesuatu yang dapat menghantarkan umat manusia menuju gerbang kesejahteraan dunia dan akhirat. Kesemangatan sejarah tersebut bisa kita kaji dari mulai awal kiprah Islam di Makkah Al-Mukaromah sendiri, dengan tampuk penyebaran amanat langsung dari Baginda Nabi SAW, Islam bukanlah mesin pemberangas cultural local, justru Islam lebih bersifat sebagai control kultural sehingga mampu menyisipkan pesan-pesan kesempurnaan Islam dalam jantung kebudayaan local – jahiliyah – pada saat itu.

Pernikahan Islam dan Kebudayaan Nusantara
Kepercayaan Pagan, Hindu, Budha dan Islam secara dialektik telah menjadi tata nilai yang berjalan di kawasan Asia Tenggara. Nilai-nilai tersebut, bahkan, kemudian mampu memberikan kontribusi dalam membentuk sistem pemerintahan dan varian keagamaan sendiri yang mencerminkan pergumulan antara budaya luar dengan budaya asli Nusantara.
Lebih-lebih ketika Islam datang ke Nusantara. Agama baru ini diterima sangat baik oleh penduduk setempat. Hal itu karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam.
Dengan cara itu mereka tidak terusik dengan datangnya agama baru (Islam) itu, mereka menerima dengan tangan terbuka. Apalagi agama Islam yang tidak mengenal strata sosial itu, dirasa sangat membebaskan mereka dari kungkungan kekastaan yang ketat, karena itu mereka turut membantu penyebarannya.

Nilai Raport Aswaja dalam Pembelajaran Sejarah
Metode penyentuhan dakwah Islam di atas adalah inti dari pemahaman Islam sebagai rahmatan lil alamien, Agama yang cerdas, sebagai Agama penggagas kesejahteraan manusia.
Pemaparan tentang perjalanan sejarah Islam dan metode dakwah di atas juga merupakan medan sinkronisasi dan medan uji faham ahlus sunah yang kita yakini, dan tak lain ini merupakan identitas murni Nahdliyin yang telah benar-benar komitmen dalam melestarikan kultural ubudiyah yang cerdas, seperti tahlil, marhabanan, manakiban dan lain-lain.
Namun semua hal tersebut sama sekali merupakan babak final dari hasil pengabdian NU terhadap sosio-kultural Indonesia, khususnya dalam bidang keagamaan, warga NU harus tetap sigap, peka, dan tetap kreatif mengingat adanya tantangan yang terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini perlu diperkuat. Hadirnya Islam Ahhlus sunnah wal Jamaah kita harapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara ini.


* Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Kempek - Cirebon

Marhabanan

DAPUR REDAKSI
Islam adalah ajaran yang bersumber dari wahyu Allah (divine law) yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an dan sunnah, dengan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Nabi Muhammad sebagai figur sentral, manusia maha sempurna telah mengubah wajah peradaban dunia hingga kini dan sampai akhir masa. Dengan Islam, Muhammad SAW telah meletakan nilai-nilai kemanusiaan pada tempatnya yang luhur, menata kehidupan manusia secara paripurna dengan pijakan-pijakan cahaya ilahi yang mengagumkan.
Keagungan Muhammad, tak terbantahkan oleh dunia, bahkan oleh musuh-musuhnya. Namanya selalu yang teratas dalam puncak kebenaran, umatnya yang paling jauh pun selalu merindukanya, seakan ingin menghadirkan kembali Muhammad dalam kehidupan umatnya kini.
Kerinduan yang didasarkan rasa cinta pada seorang nabi akhiruzaman, yang akan memberinya syafa’at kelak. kerinduan yang ingin selalu meneladani nabi dalam kehidupan ummatnya kini. Maka tak bisa dicegah lagi, betapa kehadiran seorang Muhammad adalah anugrah yang paling nyata bagi kehidupan ummat manusia. Muhammad adalah obor bagi tiap orang yang butuh pada jalan yang lurus, penerang pada jiwa yang gelap. Salahkah kita merayakan hari kelahirannya?



PROLOG
Di dalam islam di ajarkan dan diatur serta di terapkan adanya persaudaraan ( ukhuwah ) yang solid sehingga tercipta persatuan yang kokoh yang tak mudah tergoyahkan oleh bersarnya glombang problematika kehidupan yang semakin menjadi-jadi.
Ukhuwah yang menurut Ahlussunah Waljama’ah ( baca : NU ) terbagi tiaga strata. Harus kita pahami, cermati dan jalani. Yakni Ukhuwah ‘Ubudiyah ( persaudaraan internal umat islam ), Ukhuwah Basyariyah ( persaudaraan antara sesama manusia ) dan Ukhuwah Wayhaniyah ( persaduraan berdasarkan kebangsaan ). Dengan di perhatikannya macam-macam ukhuwah ini, warga Nahdliyin mengisyaratkan bahwa keinginan yang kuat dari mereka agar terwujud perdamaian, persatuan masyarakat sebagai manifestasi misi islam yang datang sebagai Rahmatan Lil’alamin.
Tidak hanya sampai disitu, kaum nahdliyin juga secara spesifik juga menginginkan umat islam menjadi khairu ummah. Maka di ciptakanlah langkah-langkah awal membangun umat yang biak yang kenal dengan lima (5) prinsip “ Mabadi Khairu Ummah “ As-Shidqu (jujur, tidak bohong, satunya hati, kata dan perbuatannya). Al-Amanah Wal Wafa’bil’ahdi ( dapat di pecaya, memegang tanggung jawab dan memenuhi janji ). Al-‘Adalah ( adil, Proposional ). At-Ta’awun ( tolong menolong ) dan Al-Istiqomah ( konsiten ). Di tambah dengan langkah – langkah kemaslahatan umat dengan cara penguatan ekonomi, pendidikan ( pengajaran formal dan lingkungan ) serta pelayan sosial.
MARHABANAN
Pada edisi kemarin telah di jelaskan tentang dalil dari acara maulid yakni Q.S Al-A’rof : 157 : mana orang-orang yang beriman pada Rasul, memuliakan ( mengagungkan )nya, menolong dan mengikuti cahaya terang yang di turunkan padanya ( Al-Qur’an ) mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dari ayat ini salah satu cara mendapatkan keberuntungan adalah dengan memulyakan Rasul (Wa’azzaruhu) dan implemetasi dari wa’azzaruhu (memulyakan rasul) akan memunculkan berbagai upaya demi tujuan memulyakan rasul bisa terealisasi. Dan di antaranya adalah yang sering kita lakukan entah di pesantren atau di desa-desa yaitu Marhabanan. Secara harfiyah marhabanan adalah merupakan bentuk isim zaman isim makan dari lafal Rahaba yang berarti : penyambutan, selamat datang. Sedangkan realita mengartikannya sebagai acara / ritual pembacaan riwayat hidup nabi ( Sirah Nubuwah ) yang didalamnya berisikan juga pujian-pujian terhadap nabi disertai adanya berdiri (Alqiyam) sebagai penghormatan atas kedatangan nabi ( Istihdlor ).
Kontroversi memang tak bisa di pungkiri. Bahwa nabi itu tidak pernah menyuruh untuk memuji-mujinya karena itu adalah sikap kesombongan padahal nabi adalah seseorang yang tawadlu’ lantas mengapa marhabanan itu dilakukan yang berisikan puji-pujian kepada nabi.
Menjawab ini sebenarnya cukup mudah yakni ada sebuah Qoidah yang berbunyi Idza ta’aradlal amru wal adab faquddima adab ‘alal amar. Karena amar dan adab bertentangan maka adab didahulukan daripada amar ( perintah )
Nabi tidak pernah menyuruh untuk dipuji. Karena beliau orang Mutawadli’, tetapi adabnya kita harus menghormati beliau atas jasa-jasa, kemanfaatan dan rahmat yang ia bawa bagi semesta alam. Hal ini di Qiyaskan pada sahabat Abu Bakar yang suatu ketika disuruh Rasulullah untuk menjadi imam, akan tetapi beliau menolak dengan santun dan pada saat disuruh untuk kedua kalinya Abu Bakar malah memundurkan dirinya dari barisan awal sehingga nabi sendiri yang mengimami shalat. Indikasinya sekalipun Abu Bakar di perintah untuk mengimami oleh nabi, tapi tatakramanya yang lebih pantas menjadi imam shalat adalah nabi.
Satu dalil yang tak kalah pentingnya adalah ketika Rasulullah datang ke Madinah setelah beberapa hari tinggal di Quba Beliau berangkat menuju Madinah. Sedangkan shahabat Anshor pada saat itu mengawalnya seraya menyandang pedang mereka masing-masing. Pada saat itu terjadilah suatu hal yang bid’ah, tetapi tidak mengapa karena hal itu merupakan ungkapan rasa gembira yang meluap dari penduduk Madinah. Hal itu berunah menjadi sangat semarak penuh dengan kegembiraan yang tidak lain karena menyambut kedatangan Rasulullah SAW. Kaum wanita, anak-anak, gadis-gadis keluar menyambut seraya mengucapkan “Thala’al badru ‘alaina mintsaniyyatil wada’, wajabasy syukru ‘alaina mada’a lillahida’i, ayyuhal mab’utsu fina ji’tabil amril mutha’i ( kini rembulan “Rasulullah” telah datang pada kami dari bukit Tsaniyyatul Wada’. Kami harus bersyukur atas kedatangan orang yang mengajak kepada Allah. Hai orang yang di utus kepada kami engkau telah datang dengan membawa perkara yang ditaati. Inilah salah satu dalil di perbolehkannya memuji nabi. Yang nabi sendiri masih hidup pada saat itu.
Diriwayatkan lagi bahwa shahabat Abbas mendengarkan syair-syair teruntuk Rasulullah pada perang tabuk yakni perang terakhir yang di ikuti nabi, dan ternyata nabi mengizinkannya malah Rasullaullah mendo’akan Abbas semoga giginya tidak rontok. Akan tetari membatasinya jangan sampai saperti pujian Nashrani pada Nabi Isa. Pada kasus tersebut terjadi pengkultusan nabi Isa oleh kaum Nashrani sehingga menuhankan nabi Isa.
Diriwayatkan pula ada orang-orang Habasyah masuk masjid lantas bermain-main dengan disertai pujian-pujian pada Rasul. Lalu Rasul berkata ‘Aisyah : ya Humairoh apakah kamu ingin melihat orang-orang yang sedang memujiku, ‘Aisyah mengiyakannya. Lantas ‘Aisyah di gendong oleh nabi dan pipinya di sandarkan pad pipi Rasul. Setelah beberapa lama nabi bertanya : Hasbuki ya ‘Aisyah? (sudahkah cukup hai ‘Aisyah?) ‘Aisyah kembali mengiyakannya lalu keduanya pergi.
Diriwayatkan yang lain dijelaskan bahwa nabi suatu ketika dipuji oleh seorang shahabat dan nabi merasa senang, lantas beliau membalasnya dengan memberinya selendang “Burdah”. Oleh karenanya setiap kalimat yang berisikan pujian pada nabi di sebut sebagai burdah
Bentuk marhabanan adakalanya berbeda-beda seperti yang terjadi di daerah sekitar Cirebon yaitu ada yang mengumpulkan uang receh, dengan menggunakan genjring, dan ada juga yang menggunakan dengan wangi-wangian seperti minyak wangi, parfum, atau kemenyan. Mengenai masalah yang terakhir ini ( dengan wangi-wangian ) Rasul bersabda : “ Manthaba rihuhu thabat nafsuhu waman thabat nafsuhu thaba ‘aqluhu” Al0hadits. “Barang siapa yang baunya itu baik maka jiwanya pun akan baik dan barang siapa yang jiwanya baik maka akalnya itu baik (Al-Hadits)
Adapun maksud dibawanya benda-benda tadi pada marhabanan itu ditujukan agar mendapatkan keberkaha.
Pertentangan kembali terjadi sebagai kritikan pada isi marhabanan sendiri. Bahwa di dalam berzanji bahwa nabi adalah Mahiyadz dzunub ( penebus dosa ) maka ini tentunya seperti orang Nashrani yang menyalib nabi Isa sebagai penebus dosa. Jawabannya tentu saja berbeda. Kalau pada nabi SAW, beliau sendiri yang bersabda bahwa Ana Al-‘Aqibwana Al mahi ( saya adalah pengganti dan saya adalah penebus ). Sebagai ulama menafsiri bahwa perantaranya adalah dengan membaca sholawat pada nabi, sehingga dengan keutamaan dan keberkahan sholawat bisa melebur, mengganti dan menebus dosa-dosa kita. jadi penulisan dalam berzanji oleh pengarangnya atas dasar dawuh nabi itu. Berbeda dengan kaum Nashrani mereka hanya berdasarkan keyakinan mereka yang sebenarnya adalah batal.
DALIL – DALIL MARHABANAN
1. Marhabanan sebagai representasi dai Maulid membangkitkan untuk membaca sholawat dan salam pada nabi yang keduanya itu hal yang di perintahkan. Berdasarkan dalil Al-Qur’an ( Innallaha wamalaikatihi yusalluna ‘alannabiy. Ya ayyuhalladzina amanu shallu ‘alaihi wasallimu taslima ) “ Sesungguhnya Allah dan malaikatnya bersholawat pada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bersholawat dan salamlah pada nabi sebenar salam.
2. Pembacaan berzanji ( marhabanan ) itu mencakup pada penyebutan kelahiran Rasulullah, mu’jizatnya, biografinya dan mengenalinya. Bukankah kita di perintah untuk mengetahui (mengenalnya), di tuntut untuk mengikutinya ( amal perbuatannya, dan mengimani akan mu’jizatnya dan mempercayai ayat kenabian. Maka kenapa marhabanan di larang ).
SPESIFIK BERDIRI
Alasan di anggap baiknya berdiri ketika maulid ( marhabanan )
1. Berdiri dalam marhabanan adalah amal yang terlaku paa seluruh distrik dan daerah yang berpenduduk. Para ulama yang ada di barat dan timur menganggapnya baik juga. Tujuannya adalah mengagungkan Shohibul maulid Asyarief SAW. “Dan perkara yang di anggap baik oleh orang-orang islam maka di sisi Allah perkara itu juga baik. Dan perkara yang di anggap buruk oleh orang islam mak di sisi Allah perkara tersebut juga buruk”. ( Hadits Riwayat Ibnu Mas’ud ).
2. Sesungguhnya berdiri untuk orang yang punya keutanmaan adalah sesuatu yang di syaratkan yang kukuh dengan banyaknya dalil dari hadits (sunah).
HADLURUN NABI
Di katakan: Berdiri itu terjadi pada saat Rasul itu hidup dan hadir sedangkan pada acara maulid Rasul tidak hadir
Jawaban : Sesungguhnya orang yang membaca maulid itu menganggap hadir nabi dengan dzatnya yang mulia. Ini merupakan Tashawur terhadap sesuatu yang terpuji dan di perintahkan bahkan harus ada pada hati orang islam yang shodiq pada setiap masa. Agar itba’nya pada Rasul itu menjadi sempurna. Dan kecintaan pada Rasul bertambah, sehingga keinginannya itu selalu ingin mengikuti pada apa yang di bawa oleh nabi.
Hadirnya nabi itu sebenarnya adalah hal yang mungkin terjadi indallah. Namun yang terlaku oleh kalangan sendiri adalah istihdlar. Karena untuk hadlurnya nabi perlu kita koreksi pada diri kita apakah maqomnya atau belum. Padahal untuk sekedar bertemu / hadlur dengan nabi pada saat bermimpi seseorang harus benar-benar bersih dari dosa, kefasikan dan kemunafikan. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau nabi bisa hadir tentunya dengan izin Allah. Disertai dengan Istihdlor ( menganggap hadir ) dan Nida ( ratapan pada Allah ) yang ketika di jadikan satu pada saat marhabanan lebih baik daipada meninggalkannya masing-masing.
PROBLEM BERDIRI
Lataqumuli kama taqumul a’ajimu ba’dluhum liba’dlin. ( janganlah kalian berdiri untukku seperti berdirinya pada orang ajam orang ajam lainnya ). Tentunya tidak boleh apabila seperti orang ajam yang berlebihan. Adapun dalilnya seperti yang taqoddama.

BERMADZHAB

Bermadzhab artinya adalah mengikuti salah satu madzhab. “Madzhab” itu sendiri artinya aliran/jalan. Bagi orang NU, dasar beragama adalah Al-Qurán dan hadits, akan tetapi tidak sembarangan orang dapat merujuk langsung pada kedua sumber tersebut. Oleh karena itu perlu seseorang atau beberapa orang yang menjadi rujukan dan panutan dalam menggali hukum Islam. Para alim ulama NU bersepakat, imam yang layak untuk dijadikan sebagai panutan hanya empat mujtahid. Hal ini berdasar pada pengakuan para ulama se dunia tentang kealiman dan kemampuan empat orang tersebut.
Keempat Imam Madzhab tadi yaitu : (1) Hanafi, yaitu madzhabnya Imam Abu Hanifah yang lahir di Kuffah, Irak, pada 80 Hijriyah dan meniggal tahun 150 hijriyah; (2) Maliki, yaitu madzhabnya Imam Malik bin Anas yang lahir di Madinah pada 90 Hijriyah dan meniggal pada tahun 179 Hijriyah: (3) Syafií,yaitu madzhabnya Imam Syafií yang lahir di Ghazzah pada tahun 150 Hijriyah dan meninggal pada 204 Hijriyah; (4) Hanbali yaitu madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal yang lahir di Marwaz pada 164 Hijriyah dan meniggal pada 241 Hijriyah.
Jika orang NU menetapkan harus bermadzhab, itu bukan berarti menutup diri untuk berijtihad. Bagi yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad, maka ijtihad adalah merupakan keharusan dan terlarang baginya untuk bertaqlid. Tapi NU pun mengukur diri dan menyadari sepenuhnya bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tidaklah mudah. Jangankan mujtahid mutlaq yang kajian dan pembahasannya menyeluruh menyentuh segala permasalahan hukum, bahkan dalam permaslahan yang sifatnya khusus dan particular pun seorang perlu mengetahui seluruh dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, dan melakukan proses istinbath (penggalian hukum) yang tidak sederhana. Asumsi semacam itu bagi orang NU berangkat dari kehati-hatian mereka dalam mengambil keputusan hukum-hukum agama. Mereka tak mau sembarangan dengan hanya mengunggulkan logika dan pertimbangan akal semata, akan tetapi disamping harus sesuai ketentuan Al-Qurán dan hadits, perlu mempertimbangkan pendapat-pendapat ulama terdahulu dalam masalah yang sama atau serupa.
Dalam diskusi Majlis al-Ghadier Pondok MTM Kempek yang dilakukan setiap jum’at sore kali ini mengemuka pertanyaan-pertanyaan miring seputar sikap bermadzhab. Diantara yang terpenting adalah: apa artinya berpedoman pada madzhab padahal sudah punya Al-Qurán dan Al-Hadits sebagai sumber pegangan hukum yang sempurna?
Dalam menjawab pertanyaan ini, perlu ditegaskan bahwa bermadzhab bukanlah berarti meninggalkan Al-Qurán dan Al-Hadits seperti yang sering dipersepsikan oleh meraka yang anti madzhab, akan tetapi bemadzhab justru merupakan metode dan jalan yang harus ditempuh agar kita dapat mendapatkan hukum yang benar-benar valid dan mencerminkan apa yang dikehendaki oleh al Qur’an dan al Hadits.
Sudah merupakan hal yang tidak layak tuk diperdebatkan lagi, bahwa Islam merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia agar bisa hidup dengan tentram, selamat, baik dan benar di dunia. Secara praktis, Islam diturunkan kepada Rasul melalui kitab suci Al-Qur’an. Oleh karena itu, bagi kita Al-qur’an merupakan sumber hukum islam yang utama. Dalam surat Al-Isra ayat : 82 Dijelaskan “ Wa nunazzilu minalqurán ma huwa syifa ún warahmatun Lil mu’minin” Dan kami turunkan Al-Qurán sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman,” Namun perlu digaris bawahi bahwa kenyataannya hampir sebagian besar ayat-ayat dalam Al-Qurán itu bersifat mujmal (masih umum atau global). Untuk dapat memahaminya dengan benar dan akurat, kita tidak bisa hanya mengandalkan ayat-ayat al-Qur’an belaka, akan tetapi perlu adanya mufashil atau mubayyin (yang menerangkan Al-Qurán) yaitu Nabi Muhammad yang memiliki kriteria kerasulan yang dihiasi oleh eloknya keteladanan. Hal ini sesuai dengan ayat “ Wa anzalnaa ilaika adz-Dzikra litubayina ma nuzzila ilaihim wala ‘allakum yatafakkarun.” Dan kami turunkan padamu ( Muhamad ) al-qurán agar kamu menerangkan pada umat manusia tentang apa yang telah diturunkan pada mereka dan supaya mereka memikirkan ( An-Nahl : 44 )
Fungsi Nabi Muhamad sebagai Mubayyin direalisasikan dalam sikap dan perbuatan dan perkataannya. Contoh penjelasan dengan perkatan ialah saat turun ayat al-Quran yang memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat kepada nabi, mereka bertanya tentang bagaimana cara bershlawat padanya. Nabi menjawab: “Ucapkanlah Allahuma Sholi ála muhammad”. Adapun contoh tabyin dengan perbuatan ialah dalam tata cara melakukan shalat. Nabi bersabda:“Sholluu kamaa raaytumuuni usholli”.Shaltalah kalian seperti shalatku yang kalian lihat. Seperti yang telah kita maklumi bahwa tata cara sholat tidak pernah dijelaskan oleh al-Qur’an. Pengetahuan tentang bagaimana melakukan sholat diambil dari menteladani Nabi dalam melakukan sholat.
Namun tugas menjelaskan al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi terhenti dengan sebab kewafatan beliau. Sedangkan banyak realita masalah yang tidak ditemukan hukumnya dalam al-qurán dan al-hadits, maka cara pengambilan hukum adalah melalui ijtihad. Diriwayatkan bahwa Muadz bin Jabal ditanya tentang bagaimana ia menghukumi, Muadz menjawab:“Dengan al-qurán”. Muadz kembali ditanya:“kalau didalam al-qurán tak ditemukan lantas bagaimana?, “Dengan al-hadits,” jawabnya. Muadz kembali ditanya: “seandainya didalam hadits tidak ditemukan lalu bagaimana?” Muadz menjawab “saya akan berijtihad”. Perkataan Muadz bahwa dirinya akan berijtihad ini dibenarkan oleh Rasulallah dan ini merupakan manbaul ijtihad ( pintu sumber ijtihad ) yang nantinya akan melahirkan nalaritas intelektual yang terlahir dari pemikiran suci dalam rangka memahami al-Qurán yang benar.
Mungkin dalam item disini mengarah akan kepentingan yang tersirat dari tamadzhub padahal sudah adanya dalil yang kuat ( al-qurán dan al-hadits ). Secara implisit madzhab mengandung arti sebuah teori atau metode, sebuah jalan dengan tema istinbatul ahkam yang mengerucut pada ijtihad. Oleh para mujtahidin ( orang-orang yang berijtihad ) seluruh hukum / dalil dari al-qurán dan hadits diramu dan disajikan bagi kalangan awam agar dipahami dengan baik. Jadi sederhanya seseorang bermadzhab berarti ia telah melangkahkan bentuk usahanya dalam rangka menerima pemahaman dai al-qurán dan al-hadits agar tak ada satu ayat atau satu hadits yang tercecer secara parsial sehingga tidak adanya sebuah penyelaian ( solusi ) dari dalil yang tercecer tadi dan agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang berujung pada kebimbangan dalam menerima hukum Allah SWT.
Dalam ruang lingkup etimologi, madzhab diartikan sebagai kata yang berbentuk isim makan dari fiil madli dzahaba yang berarti tempat berjalan. ”kalau ada orang yang ingin sampai pada tempat tujuan, maka berjalanlah melaui tempat yang benar”, itu logikanya. Sama halnya dalam memahami al-qurán dan hadist dengan benar, maka kita hendaknya mengikuti jalan yang yang benar pula.
Sebuah contoh dalil dari al-qurán tentang sesuatu yang membatalkan wudlu yaitu “Aw lamastum An-Nisa “ ( QS. An-Nisa : 43 ) kita tidak dapat fahami apa arti lafadz tadi dengan tanpa bermadzhab. Dalam Madzhab Syafií, sesuatu yang membatalkan wudlu ini diartikan oleh kalangan madzhab selain Syafii dengan menjima’ perempuan.
Dan dengan berpegangan pada madzhab artinya amal kita dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah oleh para mujtahidin sebagai Shohibul madzhab, tentunya seiring dengan mengamalkan al-qurán dan al-hadits dengan benar dengan sedikit melebar pada bermadzhab, juga merupakan pengembangan akal dan pikiran untuk memahami dan menerima serta menjalani al-qurán dan al-hadits.
Dalilnya adalah QS An-Nahl : 43 yaitu “Fa saluu ahla dzikri inkumtum la ta’lamun”. Tanyalah pada orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui sekalipun pada sebagian tafsir diartikan dengan orang ahli kitab namun Imam Syatibi dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa dalam pengamalan sebuah íbrah ( pelajaran ) dari al-qurán itu dengan menggunakan kaidah “La bi khususi sabab bal biúmumil lafdzi “ tidak dengan kekhususan sebab melainkan dengan keumuman lafadz sebagian dalil al-hadits yaitu “Ikhtilafu ummati rahmatan”, perbedaan pendapat adalah rahmat.
Dalam kitab Tanwirul qulub, dipaparkan bahwa orang yang berkata “sesungguhnya saya beramal dengan tanpa madzhab yakni dengan al-qurán dan al-hadits saja”, maka orang tadi adalah Dlalalun mudlilun. Sedangkan imam Sya’roni berkata dalam kitab mizan Qubra: Adalah wajib hukumnya bermadzhab, karena adanya sebuah taálluq nanti di akherat, dalam arti akan didatangkan apa madzhabnya lalu digolongkan dalam madzhab itu.
Wajibkah umat islam bermadzhab dengan salah satu dari madzhibul arbaáh yaitu : Maliki, Syafií,Hanafi,dan Hambali? Dari surat An-Nahl ayat 43 diatas tersirat ma’na dari lafadz “Fas aluu Ahla dzikri“ , bertanyalah pada orang yang berpengetahuan. Kata Is Aluu sebagai sesuatu bentuk fiil amar yang mewajibkan pada setiap mukhatab ( orang yang diajak bicara ), siapa saja, untuk menggali dan memahami setiap sesuatu perkara yang majhul ( tidak dimengerti ). Kewajiban disini sesuai dengan kaidah al-ashlu fil amri lil wujub, asal dalam sebuah perintah adalah wajib ditambah lagi dengan perkara yang yang tercakup dalam hal ini, yaitu mengenai pemahaman al-Qurán dan al-Hadits, maka jelas hukumnya wajib.
Dalam kitab Ahkamul fuqaha dikemukakan bahwa wajib bermadzhab dengan salah satu madzhab yang ada empat. Hal ini dimaksudkan agar tidak tergelincir dalam pemahaman yang salah yang disebabkan oleh keangkuhan hati yang egois dalam menerima suatu perkara yang haq ( kebenaran ) dan agar tidak terjadi pengamalan suatu hukum dengan mengambil yang enak-enaknya saja. Bahwa Imam Ali Al-Khawas, seorang yang ahli agama dan pemutus hukum, berfatwa: Wajib hukumnya bermadzhab dengan salah satu madzhab empat agar tidak terjadi salah pemahaman dan karena ke empat madzhab itu telah tersebar luas keseluruh dunia baik khusus atau mutlaknya hukum yang dimuatnya.
Adapun dalam kitab Tanwirul Qulub diargumentasikan bahwa orang yang sebanding dengan 4 orang sahabat madzhab ( Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafií, dan Imam Ibnu Hambal ) adalah muhal adanya, karena didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Majjah, Bukhori dan Muslim. “Khoirukum qarni tsummalladzina yaluunahum tsummaldzina yaluunahum“. Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku kemudian orang yang mengikutinya dan kemudian kemudian orang yang mengikutinya.
Ketika suatu Madzhab pengikutnya habis dan tak dibukukan lagi, maka madzhab itupun akan sirna dan pupus dengan sendirinya. Berbeda dengan empat madzhab yang kesemuanya masih eksis di jagat raya ini dengan legitimasi dan pengikutnya yang tersebar diseluruh penjuru dunia sampai saat ini.
Maka, ”faidza waqaá al-ikhtilaf fa álaika bissawadzil a’dzam maál haqqi wa ahlihi”. Maka ketika terjadi perbedaan, ikutilah pada golongan mayoritas beserta dengan kebenaran dan ahlinya ( H.R. Ibnu Majjah ). Sedangkan redaksi dari riwayat Anas bin Malik dalam kitab Shahih Bukhori, Nomor: 2457 dengan menggunakan “Ittabiú As-Sawaadal A’dzam“, ikutilah pada golongan yang terbanyak ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada karena wafatnya para imamnya, kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab tersebut berarti keluar dari mayoritas ( Sullam al-ushul Syarh Nihayati al-Suul Juz 4 ). Mengikuti madzhab Imam lain adalah sulit bagi ulama masa kini, apalagi bagi kalangan awam. Hendaknya kita tidak mencari-cari dispensasi dengan mengambil dari masing-masing madzhab pendapat yang paling ringan, dan tidak boleh menggabungkan antara dua pendapat yang akan menimbulkan suatu kenyataan yang tidak pernah dinyatakan siapa pun dari kalangan ulama ( Bughoyat al-murtasyidzin )”. Sebagai dasar hukum, al-Qurán menjelaskan dalam surat An- Nisa: 59:“Ya ayyuhalladzina amanu athi úllaha wa athi úrrosuula wa ulil amri minkum”, Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil amri diantara kamu sekalian. Kata ulil amri ditafsiri oleh sebagian ulama mufassir sebagai orang yang mempunyai ilmu luas yang bisa memutus hukum perkara diantara kita selaku orang awam. Sehingga ayat tadi layak dijadikan dalil atas wajibnya seseorang bermadzhab, lantas diarahkan pada Madzahibul arbaáh.
Melirik pada statetment diatas, bermadzhab dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kriteria dari seorang Mujtahid itu dimulai dari benar dan baik dalam membaca al-qurán dan al-hadits, mengerti makna dan dapat mengartikannya, tafriul masail (memblok-blokkan masalah), tasbiqul dalail (penetapan dalil), ma’rifatu kaifiyatul istinbath (mengetahui cara mengambil hukum), dan istinbath (mengeluarkan/ menetapkan hukum). Ijtihad, pada tingkatan istinbath ternyata mastanbathnya ( jalan melahirkan hukum ) itu tidak keluar pada Aimmatul madzaahibul al-arbaáh (4 Imam madzhab), contoh Imam Ghozali yang merupakan seorang mujtahid, namun oleh karena jalan / teori melahirkan hukumnya itu mengikuti Imam Syafi’í maka beliau juga bermadzhab Syafií. Inilah yang kemudian dikenal dengan mujtahid madzhab.

Berbincang-bincang mengenai modernisasi dalam beragama (islam), kita tak akan pernah lepas dari khazanah mutiara-mutiara ilmu pengetahuan yang telah diwariskan oleh Aslafuna As-Shalih. Khazanah itu sering kita kenal dengan paham Ahlusunnah wal jamaáh ( Aswaja ). Isme ini mula-mula disusun oleh Imam Hasan Al-Bashri sebagai generasi satu kurun pasca Rasulullah, ditengah-tengah krisis berkepanjangan yang menimpa umat islam dalam memasuki abad ke-3 Hijriyah, guna tersebar luasnya khazanah nalaritas pengetahuan islam yang bersumber pada Al-Qurán dan Al-Hadits. Ijtihad muncul sebagai oase dari kekeringan dan kehausan insting yang cemerlang dalam memahamai Maqasidus Syariyah dari supremasi hukum tadi. Tinjauan secara eksperimen yang sangat detail dan sikap ihtiyath yang ekstra dari hál kecil sampai hal besar dan pengesahan serta pengolahan talenta yang optimal demi mendapatkan al-murad al-haq oleh para Mujtahidin adalah bahan pertimbangan yang kongkret yang sulit terbantahkan untuk bisa diterimanya ijtihad mereka ditengah-tengah masyarakat yang membutuhkan. Akankah hal ini ( Ijtihad ) bisa diterima oleh kaffah an-Nas ?















.

TALQIN

TALQIN

Prolog

Tiap umat memiliki batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tak dapat pula mengundurkannya. Inilah sebuah khabar yang pasti terjadi yang terpateni dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 34
Setiap orang di dunia berusaha dengan keras, dengan segala kemampuannya manusia bersikeras dan bersikukuh untuk mendapatkan segala angan dan mimpinya. Setelah tercapai semua yang diidam-idamkan, sebagian orang ada yang tetap kukuh dengan landasan yang ia yakini kebenarannya ( iman dan bersyukur ) dan ada yang malah berbalik seratus delapan puluh derajat, bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan. Jika ia mencapai cita-citanya ( kufur )
Namun segala macam orang di dunia ini termasuk kedua macam orang tadi tak terlepas dari ajal ( masa kesuntukan dan kehancuran ). Yakni sebuah pintu pemisah antara keglamoran kehidupan dunia yang fana sebagai tempat mazro’ah al-a’mal dengan gelap dan sempitnya kubur sebagai tahapan menuju kehidupan kekal abadai ( akherat ). Sebagai tahapan menjurus ke akherat. Alam kubur memilki esensi yang tak terbantahkan kebenarannya yaitu pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Akankah kekerasan tubuh yang atletis atau kegelimangan harta atau kefasihan dan kelancran berbahasa arab atau kekuatan hafalan atau keimanan yang tertanam subur dan kokoh dihati yang akan menjadi sebab kemampuan menjawab pertanyaan tersebut . tapi terlepas dari itu semua sebagai hadirlah talqin ( memberi ingat ) untuk menghadapi Malaikat Munkar dan Nakir yang akan menanyainya, yang eksistensi hukumnya akan kita bahas dalam Dirasah Ilmiah Al-Ghadier edisi kali ini dengan pertimbangan istidlal yang tak usah diragukan lagi kebsahan sumbernya.
Adapun pada surat Al-Fathir ayat 22 yaitu : “ Wamaa anta bimusmi’la man fil qubur “ ( Dan engkau bukanlah orang yang dapat menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar ). Maksudnya memang kita tidak bisa memberi petunjuk pada orang-orang yang telah mati dalam kubur. Tapi kalau Allah yang melakukan tentu saja bisa sesuai dengan kalimat sebelumnya pada ayat lain yaitu.” Innallaha yusmi’u man yasya .“ Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran bagi siapa yang dikehendakiNya.
Pada surat An naml ayat 80 disebutkan “ Innaka la tusmi’ul mauta.” ( Sesunguhnya kamu tidak dapat memperdengarkan orang mati ) sekalipun ayat ini dijadikan sebagai hujjah bagi orang anti talqin tapi sebenarnya ayat ini belum menjadi supermasi hukum kan boleh atau tidaknya mayyit mendengar semua kehidupan dunia bukan haram atau bolehnya talqin.
Dengan tidak menafikan ayat ini, di utusnya Nabi Muhamad SAW adalah kenikmatan tergaung dari Allah kepada umat manusia yang salah satu tugasnya adalah menjelaskanya al-qu’an pada umat baik dengan perkataan dan lainnya yang biasa kita kenal dengan sunnah Rasul maka sunnah Rasul juga berkedudukan dalam supermasi hukum suatu perkara mengenai talqin, hadits Rasulullah berkata
Hukum menalqin mayat yang telah dikubur adalah sunnah, yang mengerjakannya diberi pahala, dan berfaedah bagi si mayat. Di bawah ini kami nukilkan beberapa fatwa ulama yang berkaitan dengan masalah hukum talqin ini, sebagai berikut :
Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimhyati Asy-Syafii Al-Maliki dalam kitab I’anatuth Thalibin berkata :
Dan sunnah hukumnya menalqinkan orang mati yang sudah baligh sekalipun orang yang mati syahid, sesudah dikuburkan,berdasarkan firman Allah dalam Al-qur’an yang artinya : “ Dan beri ingatlah,karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Orang yang paling perlu diberi peringatan adalah orang yang dalam keadaan serupa ini.( Kitab I’antuth Thalibin,Juz II,halaman 140 )
Setelah kami teliti,firman Allah dalam surat Adz-Dzariat ayat 55. dengan ayat ini Allah menyuruh supaya kita mengingatkan saudara-saudara kita orang mukmin,lebih-lebih kalau peringtan itu sangat diperlukan.
Perkataan “mukminin” dalam ayat ini menunjukkan umum, meliputi orang mukmin yang masih hidup dan yang sudah mati. Ayat ini cukup menjadi dalil atas sunnahnya talqin karena talqin sebagai realisasi dari ayat ini, yakni memberi peringatan
Imam SyamsuddinA-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj berkata : Dan sunnah menalqinkan orang mati yang sudah dewasa setelah sempurna dikuburkannya,karena ada hadits yang mengatakan bahwa seseorang apabila adiletakkan dalam kubur,sudah ditutup dengan tanah,dan pengantar-pengantar telah berjalan pulang,maka si mayat mendengar derap sandal mereka,bila orang sudah tidak ada lagi, maka datanglah dua orang Malaikat ........... dan seterusnya.” ( Kitab Nihayatul Muhtaj Juz III, halaman 40 )
Setelah kami teiliti, ternyata hadits ini merupakan sebuah hadits yang tidak diragukan lagi kesahihannya,diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari sahabat Anas bin Malik, terdapat dalam kitab Shaihih Bukhori,Juz I, halaman 238; dan dalam kitab fathul bari, Juz III, halaman 449; serta dalam kitab Irsyadus Sari, Juz II, halaman 434-435.
Dalam hadits ini diterangkan bahwa mayat dalam kubur mendengar derap sandal para pengantar ketika mereka kembali pulang. Ini suatu dalil yang kuat,bahwa mayat bila sudah dikuburkan dikembalikan rohnya ke tubuhnya sehingga ia mendengar derap sandal orang yang berjalan pulang. Bahkan dalm hadits Bukhori ( I238 ) dan hadits Muslim ( II:546 ) diterangkan bahwa pendengaran orang yang mati lebih tajam dari pada pendengaran orang yang masih hidup, sehingga ia mendengar apa yang diucapkan orang yang hidup,suara yang orang yang menalqin tentu saja terdengar olehnya. Dengan demikian, baik sekali bila mayat ditalqin.
Disamping itu, kami menemukan sebuah hadits yang dengan tegas menerangkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh talqin kepada para sahabatnya.
Dalam kitab Nailul Authar karangan seorang ulama ahli hadits bernama Al-Imam Asy-Syaiqoni disebutkan : Dari sahabat Nabi, Abu Umamah Al-Bahili r.a. Beliau berkata : Jika aku wafat,hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah Saw. Dalam mengurus kita ( para sahabat ) wafat.” Beliau ( Rasulullah ) bersabda :” Apabila mati salah seorang dari saudaramu ( orang islam ) dan telah didatarkan tanah diatas kuburnya,hendaklah ia berkata,”Hai diantara kamu berhenti sebentar setentang kepala mayat itu,kemudian hendaklah ia berkata,” Hai anu,anak wanita anu.” Sesungguhnya mayat itu mendengar,namun ia tidak bisa menjawab ...... dan seterusnya.” ( Riwayat Imam Tahabrani, Kitab Nailul Authar,Juz IV, halaman 138-139 )
Kemudian Imam Asy-Syaukani; setelah mengutip Hadits Abu Umamah tersebut, beliau berkata : Al-hafidz ( Ibnu hajar Al-Asqalani ) dalam kitabnya At-Talkhish telah berkata,”sanad hadits ini adalah baik, dan Imam Adh-Dhiya’ sungguh telah memandangnya hadits kuat dalam kitabnya Al-Ahkam,” ( Kitab Nailul Authar,Juz IV.halaman 139 ) bahkan dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah terdapat keterangan : kedua kitabnya yang berjudul Aal-Mukhtarah dalAl-Ahkam,” ( Kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jamaah halaman 22) dalam hadits ini ternyata Nabi Saw memerintahkan menalqinkan ( mengingatkan ) orang mati. Gunanya ialah untuk melancarkan jawaban menghadapi pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur.
Apa gunanya diajari lagi orang yang sudah berada di dalam kubur itu. Kalau memang dulu sewaktu di dunianya banyak berbuat dosa dan maksiat, tentu ia akan disiksa. Kalau ia orang baik-baik dan banyak ibadah, tentu ia akan masuk surga adengan sendirinya.
Bagaimana kita dapat mengajar orang yang sudah mati, sedangkan mengajar orang yang masih hidup saja sangat susah apalagi mengajar orang mati yang sudah ditimbun tanah.
Membacakan talqin bukan mengajarkan sebagaimana yang kita pahamkan, yaitu seperti mengajar anak sekolah,mengajarkan ilmu tafsir,mengajarkan ilmu hadits,mengajarkan ilmu kimia,ilmu fisika. Membacakan talqin hanya “mengingatkan.” Orang yang dikubur mungkin saja lupa apa yang seharusnya dikatakan pada kepada Malikat Munkar Nakir karena situasi di dalam kubur ketika itu memang benar-benar mengagetkan dia, sebab dia baru sekali itu mencoba berbaring tidur dalam kubur, seperti oarng yang rumahnya kebakaran,ia lupa mana anaknya dan mana bantal,Ia bermaksud menyelamatkan anaknya, tetapi yang dilarikannya keluar adalah bantal, bukan anaknya.
Sitausi di dalam kubur lebih gawat dari itu bisa membuat oarng lupa akan sesuatu yang ketika di dunia sudah dihafalkannya. Oleh karena itu,kita ingatkan supaya ia menjawab dengan tepat, jangan takut dan jangan gugup. Alangkah berfaedahnya talqin itu !
Sama keadaanya dengan orang yang akan mati atau orang orang yang menghadapi kematian. Situasi saat itu sangat gawat pula, tetapi kita diperintah oleh Rasulullah Saw supaya menalqinkan kalimah tauhid bagi orang itu sebagaimana tersebut dalam hadits Sahih Riwayat Imam Muslim dan Imam Nasa’i dari Abi Said Al-Khudri ( Baca kitab Sunan Nasa’i juz IV halaman 5 )
Ada orang yang berfikir, apa gunannya lagi mengajari orang yang sudah dikuburkan. Kalau di dunia ia banyak dosa, tentu ia akan dihukum setimpal dengan amalnya; kalau ia orang baik-baik dan banyak amal ibadah,tentu ia akan masuk surga.
Demikianlah orang yang berfikir. Akan tetapi,ajaran syariat islam,ajaran yang dibawa nabi Muhamad Saw yang disebut dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili bukan begitu,tetapi talqinkanlah orang yang sudah mati, meskipun ketika di dunia ia orang pandai,saleh,apalagi kalu di dunia ia tidak taat dan banyak berbuat maksiat. Singkatnya kalaui ia beragama islam, talqinkan dan ingatkanlah !
Imam Ibnu Taimiyah yang pendapatnya banyak dipegang oleh orang-orang yang anti atau melarang talqin, dalam kitabnya Fatawa Ibnu Taimiyah berkata,” Menalqinkan mayat setelah selesai dikuburkan, terdapat dasar kuat ( tsabit ) dari golongan sahabat Nabi Saw, bahkan mereka menyuruhnya, seperti halnya sahabat Abu Umamah Al-Bahili dan lain-lain,”( Al-Hujjah : 13 )
Demikian pula muridnya yang bernama Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh, beliau berkata,”Hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari, dan cukup untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan manfaat bagi mayat.”0 Adz-Dzakkhirat: 86,dan baca Fatawa Syar’iyah II : 30 )
Namun terlepas dari Shoheh atau tidaknya sebuah dalil sebagai sumber istidlal, Masalah talqin itu berkaitan dengan pertanyaan Munkar dan Nakir. Kalau pertanyaan di kubur itu haq maka apa salahnya mengingatkan
Sedangkan secara manfaatnya talqin itu lebih bermanfaat diberikan pada orang yang belum mati ( ma’na majazi ) agar dapat mempersipkan dirinya dengan amal-amal shalih yang dapat ia bawa saat ia mati tapi ini tidak menafikan bagi talqin diberikan pada orang yang sudah mati ( ma’na haqiqi ) karena ma’na haqiqi itu lebih utama dari pada ma’na majazi








Prolog

Tiap umat memiliki batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tak dapat pula mengundurkannya. Inilah sebuah khabar yang pasti terjadi yang terpateni dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 34
Setiap orang di dunia berusaha dengan keras, dengan segala kemampuannya manusia bersikeras dan bersikukuh untuk mendapatkan segala angan dan mimpinya. Setelah tercapai semua yang diidam-idamkan, sebagian orang ada yang tetap kukuh dengan landasan yang ia yakini kebenarannya ( iman dan bersyukur ) dan ada yang malah berbalik seratus delapan puluh derajat, bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan. Jika ia mencapai cita-citanya ( kufur )
Namun segala macam orang di dunia ini termasuk kedua macam orang tadi tak terlepas dari ajal ( masa kesuntukan dan kehancuran ). Yakni sebuah pintu pemisah antara keglamoran kehidupan dunia yang fana sebagai tempat mazro’ah al-a’mal dengan gelap dan sempitnya kubur sebagai tahapan menuju kehidupan kekal abadai ( akherat ). Sebagai tahapan menjurus ke akherat. Alam kubur memilki esensi yang tak terbantahkan kebenarannya yaitu pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Akankah kekerasan tubuh yang atletis atau kegelimangan harta atau kefasihan dan kelancran berbahasa arab atau kekuatan hafalan atau keimanan yang tertanam subur dan kokoh dihati yang akan menjadi sebab kemampuan menjawab pertanyaan tersebut . tapi terlepas dari itu semua sebagai hadirlah talqin ( memberi ingat ) untuk menghadapi Malaikat Munkar dan Nakir yang akan menanyainya, yang eksistensi hukumnya akan kita bahas dalam Dirasah Ilmiah Al-Ghadier edisi kali ini dengan pertimbangan istidlal yang tak usah diragukan lagi kebsahan sumbernya.
Adapun pada surat Al-Fathir ayat 22 yaitu : “ Wamaa anta bimusmi’la man fil qubur “ ( Dan engkau bukanlah orang yang dapat menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar ). Maksudnya memang kita tidak bisa memberi petunjuk pada orang-orang yang telah mati dalam kubur. Tapi kalau Allah yang melakukan tentu saja bisa sesuai dengan kalimat sebelumnya pada ayat lain yaitu.” Innallaha yusmi’u man yasya .“ Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran bagi siapa yang dikehendakiNya.
Pada surat An naml ayat 80 disebutkan “ Innaka la tusmi’ul mauta.” ( Sesunguhnya kamu tidak dapat memperdengarkan orang mati ) sekalipun ayat ini dijadikan sebagai hujjah bagi orang anti talqin tapi sebenarnya ayat ini belum menjadi supermasi hukum kan boleh atau tidaknya mayyit mendengar semua kehidupan dunia bukan haram atau bolehnya talqin.
Dengan tidak menafikan ayat ini, di utusnya Nabi Muhamad SAW adalah kenikmatan tergaung dari Allah kepada umat manusia yang salah satu tugasnya adalah menjelaskanya al-qu’an pada umat baik dengan perkataan dan lainnya yang biasa kita kenal dengan sunnah Rasul maka sunnah Rasul juga berkedudukan dalam supermasi hukum suatu perkara mengenai talqin, hadits Rasulullah berkata
Hukum menalqin mayat yang telah dikubur adalah sunnah, yang mengerjakannya diberi pahala, dan berfaedah bagi si mayat. Di bawah ini kami nukilkan beberapa fatwa ulama yang berkaitan dengan masalah hukum talqin ini, sebagai berikut :
Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimhyati Asy-Syafii Al-Maliki dalam kitab I’anatuth Thalibin berkata :
Dan sunnah hukumnya menalqinkan orang mati yang sudah baligh sekalipun orang yang mati syahid, sesudah dikuburkan,berdasarkan firman Allah dalam Al-qur’an yang artinya : “ Dan beri ingatlah,karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Orang yang paling perlu diberi peringatan adalah orang yang dalam keadaan serupa ini.( Kitab I’antuth Thalibin,Juz II,halaman 140 )
Setelah kami teliti,firman Allah dalam surat Adz-Dzariat ayat 55. dengan ayat ini Allah menyuruh supaya kita mengingatkan saudara-saudara kita orang mukmin,lebih-lebih kalau peringtan itu sangat diperlukan.
Perkataan “mukminin” dalam ayat ini menunjukkan umum, meliputi orang mukmin yang masih hidup dan yang sudah mati. Ayat ini cukup menjadi dalil atas sunnahnya talqin karena talqin sebagai realisasi dari ayat ini, yakni memberi peringatan
Imam SyamsuddinA-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj berkata : Dan sunnah menalqinkan orang mati yang sudah dewasa setelah sempurna dikuburkannya,karena ada hadits yang mengatakan bahwa seseorang apabila adiletakkan dalam kubur,sudah ditutup dengan tanah,dan pengantar-pengantar telah berjalan pulang,maka si mayat mendengar derap sandal mereka,bila orang sudah tidak ada lagi, maka datanglah dua orang Malaikat ........... dan seterusnya.” ( Kitab Nihayatul Muhtaj Juz III, halaman 40 )
Setelah kami teiliti, ternyata hadits ini merupakan sebuah hadits yang tidak diragukan lagi kesahihannya,diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari sahabat Anas bin Malik, terdapat dalam kitab Shaihih Bukhori,Juz I, halaman 238; dan dalam kitab fathul bari, Juz III, halaman 449; serta dalam kitab Irsyadus Sari, Juz II, halaman 434-435.
Dalam hadits ini diterangkan bahwa mayat dalam kubur mendengar derap sandal para pengantar ketika mereka kembali pulang. Ini suatu dalil yang kuat,bahwa mayat bila sudah dikuburkan dikembalikan rohnya ke tubuhnya sehingga ia mendengar derap sandal orang yang berjalan pulang. Bahkan dalm hadits Bukhori ( I238 ) dan hadits Muslim ( II:546 ) diterangkan bahwa pendengaran orang yang mati lebih tajam dari pada pendengaran orang yang masih hidup, sehingga ia mendengar apa yang diucapkan orang yang hidup,suara yang orang yang menalqin tentu saja terdengar olehnya. Dengan demikian, baik sekali bila mayat ditalqin.
Disamping itu, kami menemukan sebuah hadits yang dengan tegas menerangkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh talqin kepada para sahabatnya.
Dalam kitab Nailul Authar karangan seorang ulama ahli hadits bernama Al-Imam Asy-Syaiqoni disebutkan : Dari sahabat Nabi, Abu Umamah Al-Bahili r.a. Beliau berkata : Jika aku wafat,hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah Saw. Dalam mengurus kita ( para sahabat ) wafat.” Beliau ( Rasulullah ) bersabda :” Apabila mati salah seorang dari saudaramu ( orang islam ) dan telah didatarkan tanah diatas kuburnya,hendaklah ia berkata,”Hai diantara kamu berhenti sebentar setentang kepala mayat itu,kemudian hendaklah ia berkata,” Hai anu,anak wanita anu.” Sesungguhnya mayat itu mendengar,namun ia tidak bisa menjawab ...... dan seterusnya.” ( Riwayat Imam Tahabrani, Kitab Nailul Authar,Juz IV, halaman 138-139 )
Kemudian Imam Asy-Syaukani; setelah mengutip Hadits Abu Umamah tersebut, beliau berkata : Al-hafidz ( Ibnu hajar Al-Asqalani ) dalam kitabnya At-Talkhish telah berkata,”sanad hadits ini adalah baik, dan Imam Adh-Dhiya’ sungguh telah memandangnya hadits kuat dalam kitabnya Al-Ahkam,” ( Kitab Nailul Authar,Juz IV.halaman 139 ) bahkan dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah terdapat keterangan : kedua kitabnya yang berjudul Aal-Mukhtarah dalAl-Ahkam,” ( Kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jamaah halaman 22) dalam hadits ini ternyata Nabi Saw memerintahkan menalqinkan ( mengingatkan ) orang mati. Gunanya ialah untuk melancarkan jawaban menghadapi pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur.
Apa gunanya diajari lagi orang yang sudah berada di dalam kubur itu. Kalau memang dulu sewaktu di dunianya banyak berbuat dosa dan maksiat, tentu ia akan disiksa. Kalau ia orang baik-baik dan banyak ibadah, tentu ia akan masuk surga adengan sendirinya.
Bagaimana kita dapat mengajar orang yang sudah mati, sedangkan mengajar orang yang masih hidup saja sangat susah apalagi mengajar orang mati yang sudah ditimbun tanah.
Membacakan talqin bukan mengajarkan sebagaimana yang kita pahamkan, yaitu seperti mengajar anak sekolah,mengajarkan ilmu tafsir,mengajarkan ilmu hadits,mengajarkan ilmu kimia,ilmu fisika. Membacakan talqin hanya “mengingatkan.” Orang yang dikubur mungkin saja lupa apa yang seharusnya dikatakan pada kepada Malikat Munkar Nakir karena situasi di dalam kubur ketika itu memang benar-benar mengagetkan dia, sebab dia baru sekali itu mencoba berbaring tidur dalam kubur, seperti oarng yang rumahnya kebakaran,ia lupa mana anaknya dan mana bantal,Ia bermaksud menyelamatkan anaknya, tetapi yang dilarikannya keluar adalah bantal, bukan anaknya.
Sitausi di dalam kubur lebih gawat dari itu bisa membuat oarng lupa akan sesuatu yang ketika di dunia sudah dihafalkannya. Oleh karena itu,kita ingatkan supaya ia menjawab dengan tepat, jangan takut dan jangan gugup. Alangkah berfaedahnya talqin itu !
Sama keadaanya dengan orang yang akan mati atau orang orang yang menghadapi kematian. Situasi saat itu sangat gawat pula, tetapi kita diperintah oleh Rasulullah Saw supaya menalqinkan kalimah tauhid bagi orang itu sebagaimana tersebut dalam hadits Sahih Riwayat Imam Muslim dan Imam Nasa’i dari Abi Said Al-Khudri ( Baca kitab Sunan Nasa’i juz IV halaman 5 )
Ada orang yang berfikir, apa gunannya lagi mengajari orang yang sudah dikuburkan. Kalau di dunia ia banyak dosa, tentu ia akan dihukum setimpal dengan amalnya; kalau ia orang baik-baik dan banyak amal ibadah,tentu ia akan masuk surga.
Demikianlah orang yang berfikir. Akan tetapi,ajaran syariat islam,ajaran yang dibawa nabi Muhamad Saw yang disebut dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili bukan begitu,tetapi talqinkanlah orang yang sudah mati, meskipun ketika di dunia ia orang pandai,saleh,apalagi kalu di dunia ia tidak taat dan banyak berbuat maksiat. Singkatnya kalaui ia beragama islam, talqinkan dan ingatkanlah !
Imam Ibnu Taimiyah yang pendapatnya banyak dipegang oleh orang-orang yang anti atau melarang talqin, dalam kitabnya Fatawa Ibnu Taimiyah berkata,” Menalqinkan mayat setelah selesai dikuburkan, terdapat dasar kuat ( tsabit ) dari golongan sahabat Nabi Saw, bahkan mereka menyuruhnya, seperti halnya sahabat Abu Umamah Al-Bahili dan lain-lain,”( Al-Hujjah : 13 )
Demikian pula muridnya yang bernama Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh, beliau berkata,”Hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari, dan cukup untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan manfaat bagi mayat.”0 Adz-Dzakkhirat: 86,dan baca Fatawa Syar’iyah II : 30 )
Namun terlepas dari Shoheh atau tidaknya sebuah dalil sebagai sumber istidlal, Masalah talqin itu berkaitan dengan pertanyaan Munkar dan Nakir. Kalau pertanyaan di kubur itu haq maka apa salahnya mengingatkan
Sedangkan secara manfaatnya talqin itu lebih bermanfaat diberikan pada orang yang belum mati ( ma’na majazi ) agar dapat mempersipkan dirinya dengan amal-amal shalih yang dapat ia bawa saat ia mati tapi ini tidak menafikan bagi talqin diberikan pada orang yang sudah mati ( ma’na haqiqi ) karena ma’na haqiqi itu lebih utama dari pada ma’na majazi

Tentang Manaqib,

DAPUR REDAKSI

Kearifan dalam mamahami nilai-nila tradisi dimasyarakat kita bisa diartikan sebagai bentuk penghargaan pada kecintaan kita pada bangsa yang majemuk ini. Menafikan akan nilai budaya masyarakat yang telah ada, sama saja kita menafikan kehidupan kita sendiri, menafikan sejarah bangsa kita yang pernah besar, maju dan bermartabat.
Kemoderenan tidaklah harus selalu diartikan meninggalkan cara dan budaya lama dan mengikuti kehendak zaman. Ada saatnya yang prinsip harus selalu dipertahankan dan selalu dibela, seperti keimanan kita, akidah kita dan tradisi luhur agama kita. Ini yang perlu terus dijaga, dilestarikan dan dijadikan pijakan dalam sosial kemasyarakatan kita.
Bila dalam suatu bangsa, akar budaya yang kuat dan telah lama ada tercabut, maka hakikatnya bangsa itu bukanlah bangsa yang modern, tapi bangsa yang lemah, dan telah kehilangan jatidirinya; identitas bangsa.
Rawatlah bangsa ini dengan ruh agama, tradisi ulama dan budaya yang terpancar dari keduannya.


Prolog.
Orang yang terbiasa dengan dunia modern dan terbiasa bergelut dengan ilmu-ilmu modern mungkin akan terkejut dan tidak percaya pada kejadian-kejadian yang bersifat mistik, karena tidak rasional. Tapi bagi mereka yang sudah terbiasa dengan dunia tasawuf, mengenalnya dan mempelajari literature keilmuan yang pernah ada, apalagi memahami dengan mendalam ajaran agama Islam, maka bagi mereka hal-hal ajaib yang tak masuk akal adalah hal biasa yang dianggap masuk akal. Ada konteks masalah yang tidak bisa di jelaskan, karena melihat satu masalah, bukan dari masalahnya, tapi dari sudut pandang cara memandang masalah itu sendiri. Yang satu dengan akal, yang satu dengan keimanan.
Dalam dunia Islam, ada banyak cerita, hikayat ataupun apapun bentuknya yang menjelaskan peristiwa-peristiwa yang kita hanya bisa menerimannya dengan keimanan saja. Cerita Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati, tentang sahabat Umar bin Khattab berkirim surat kepada sungai Nil, juga cerita sahabat Umar bin Khattab yang ketika sedang kotbah Sholat Jum’at tiba-tiba beliau berteriak memberikan komando dari Madinah kepada prajurit-prajurit Islam yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah.
Tentu cerita-cerita tersebut diatas bagi sebagain orang yang mendasarkan segala peristiwa di dunia ini hannya dengan akal tidak akan mungkin bisa menerimanya. Dalam kontek ini, ada banyak rahasia kehidupan yang manusia memang tidak bisa menyingkapnya. Banyak misteri dunia yang meski kita telah hidup dalam alam serba modern masih belum bisa dijelaskan.
Demikian pula dalam kehidupan keagamaan kita, ada banyak tradisi keagamaan yang mungkin bagi sebagian orang dianggap aneh, ketinggalan zaman dan tidak realistis. Namun bagi sebagian yang lainnya justru diajikannya sebagai media pendekatan paling menyenangkan kepada sang Khaliq. Ada kepuasan batin pada mereka dalam menjalani tradisi yang telah ratusan tahun secara turun temurun, meski mungkin ada disebagian mereka tidak mengerti dan tidak paham terhadap apa hakikat dari semua yang mereka lakukan itu.
Banyak orang tidak bisa memahami apa arti dan manfaatnya bagi orang yang suka melakukan Tahlilan, empat puluh hari, Nyatus, Nyewu, Muludan, Marhabanan, Manaqiban, Talqin, Tawasul dan banyak lagi yang lainnnya. Adakah hal itu berguna dan bermanfaat bagi mereka? Adakah dampak sosial yang ditimbulkannnya dari apa yang mereka lakukan? Tentu banyak tuduhan miring dari mereka yang tidak setuju akan amalan yang telah merakyat ini. Dari tuduhan bid’ah, musyrik hingga tuduhan sesat.
Secara sederhana, kita bisa melihat banyak trend dan budaya yang katanya ‘modern’ saat ini; kumpul di kafe, liburan akhir musim bareng keluarga dan teman kerja di tempat rekreasi paling top, nonton bareng pertunjukan sebuah film nasional terbaru, atau ikutan acara televisi yang lagi terkenal. Mereka masyarakat modern tak sungkan mengeluarkan jutaan rupiah demi menikmati ‘tradisi hidup masa kini’ itu. Ada kepuasan yang mereka rasakan saat mereka berhasil bertemu dengan group band musik kesukaannya. Pertanyaanya adalah, adakah apa yang meraka lakukan itu memiliki implikasi sosial di masyrakat? Adakah nilai ibadah dalam cara mereka memaknai hidupnya? Mengapa orang tidak mempertanyakanya?
Mengapa harus ada penggugatan pada mereka yang melakukan tradisi-tradisi keagamaan yang telah berumur ratusan tahun yang ada di sekitar kita, yang memiliki jelas kaitannya dengan keimannna kita sebagai muslim. Mengapa orang ‘merasa biasa saja’ pada budaya yang jauh dari nilai-nilai agama?
Jawabannnya tergantung pada pemahaman kita masing-masing. Tergantung pada latar belakang pendidikan orang, lingkungan yang membentuknya, budaya yang membesarkannnya dan kemampuannnya dalam memahami ajaran agama yang termuat dalam tek-tek suci; al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Salah satu yang menjadi tradisi lama dan tetap berjalan hingga kini adalah manaqiban. Manaqiban sebagai salah satu tradisi yang dijalankan oleh sebagain besar ummat muslim di Indonesia mendapatkan sorotan yang tajam. Ada banyak apresiasi tapi banyak juga yang anti. Benarkah ia adalah amalan yang sia-sia yang tidak bernilai apa-apa dalam kehidupan keagamaan kita?
Maka seperti biasa, dalam Majlis Al-Ghadir Pondok Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadi-ien Kempek, Cirebon, akan mengkupasnya secara mendalam dalam diskusi ilmiyah dengan dalil-dalil yang dapat dipertanggung jawabkan sumber dan keasliannnya.

Manaqiban
Kata manaqib adalah bentuk jamak dari mufrad Manqobah yang diantara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang. Jadi membaca manaqib adalah membaca cerita/kisah yang bermanfaat yang berisikan karomah,nasihat dan akhlak terpujinya seseorang yang punya kontak dengan Allah yang sangat dekat seperti para nabi Allah para sahahabatnya, tabi’in dan waliyullah. Maka tidak lah boleh kalau ada orang yang berkata manqib Abu Jahal dan lainnya yaitu manaqibnya orang-orang jahat dan kafir. Dengan definisi ini, maka jawaban atas pertanyaan apa hukum membaca manaqib sudah terjawab dengan otomatis.
Namun setiap kontradiksi harus kita hadapi denga bijak, seperti :mengapa mayoritas orang NU membaca manaqib syekh Abdul Qadir Al-Jailani, padahal beliau adalah seseorang yang mengikuti pada madzhab Imam Hambali, sedangkan mayoritas orang NUmengikuti madzzhab Imam Syafi’i?
Untuk menjawabnya kita harus kembali mengkaji apa itu landasan warga NU (ahlisunnah waljama’ah). Perlu diketahui bahwa kaum sunni (sebutan kaum yang mengikuti ahli sunnah waljama’ah) menganut salah satu dari madzhab empat:Maliki, Syafi’i, Hanafidan dan Hambali dalam bidang fiqih, serta mengikuti Abu Hasan al Asy’ari dan Imam al- Maturidi dalam bidang aqidah. Dan mengikuti Imam al- Junaidi dan Imam al-Ghozali dalam bidang tasawwuf. Nah kalau demikian landasannya, maka Saudi Arabia yang sebagian bermadzhab Maliki dapat menjadi anggota sunni(NU), orang maroko yang sebagian besar bermadzhab Hanafi dapat menjadi anggota NU, orang Nigeria yang kebanyakan bermadzhab Hambali dapat menjadi anggota NU, apalagi kaum muslim Indonesia, Malaisia, dan Filipina pada umumnya mereka dapat menjadi anggota NU. Sebab mereka bermadzhab syafi’i. Jadi tak ada pertentangan antara kita yang ber madzhab syafi’I membaca Manaqib Syeh Abdul Qadir AlJailani yang bermadzhab hambali karena kedanya sama-sama landasan dari ahli sunnah waljama’ah.
Bahkan dalam kitab manaqib itu sendiri dijelaskanbahwa :Wakana yufti’ala madzhabil imam asy syafi’I wal imam ahmad ibni hambal radlyallahu’anhuma. Madzhab Syeh Abdul Qadir sejak kecil sampai dewasa/sepuh adalah mengikuti madzhabnya imam Syafi’i sehingga menjadi mufti as-Syafi’iyah. Sampai pada suatu malam beliau bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang manyuruh Syeh Abdul Qadir untuk menerima permintaan Imam Hambali agar menghidupkan dan menjaga madzhabnya (Imam Hambali). Lantas syeh pun pindah madzhab pada madzhabnya Imam Hambali. (Kitab Nurul Burhan Manaqib syeh abdul Qqdir Aljailanijuz II:hlm.34-36).
Ditambah lagi tariqat yang beredar di ranah nusantara Indonesia kebanyakan adalah tariqat Qadariyah dan Naqsabandiyah . Dan kita tahu bahwa Syeh Abdaul Qadir Jailani lah yang menjadi pendiri tariqat qadiriyah sehinga pantaslah kalau banyak warga NU yang membaca manaqib Syeh Abdul Qadir untuk dijadikan sebagai mutawassal bih.
Beberapa dialog mengenai manaqiban.
Dijelaskan bahwa marotibul ‘aliyyah (orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi) yaitu nabi Muhammad SAW pada peringkat pertama, para shahabat pada urutan terbaik kedua,l alu diikuti para tabiin. Kalau tawassul dengan nabi Muhammad SAW itu sudah lumrah . Tapi mengapa banyak orang bertawssul dengan syeh Abdul Qadir padahal generasi terbaik setelah nabi Muhammad SAW adalah para shaabat seprti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, tapi pernahkah kita bertawassul pada mereka (shahabat) sedangkan syeh abdul qadir jailani itu bukan golongan shahabat?
Sebenarnya tawassul itu dengan apa saja yang tergolong dalam empat mutawassal bih yaitu Bil A’mal , Bil Ahya, Bil Amwat dan Bil Jamadat. Lalu dijadikannya Syeh Abdul Qadir sebagai sarana tawassul bukan berarti meninggikan Syeh Abdul Qadir dan merendahkan shahabat sebagai generasi terbaik setelah nabi. Ketentuan sudah jelah bahwa shahabat adalah generasi terbaik setelah nabi yang lebih utama dari yang lainnya. Hanya saja ada sebuah maziyyah (kelebihan) yang dimiliki Syeh Abdul Qadir yang tidak menjadikannya lebih tinggi dari para shahabat.
Hal ini didasari dalil yaitu kisah dalam al- Qur’ an tentang umat nabi Sulaiman yang dapat memindah kan arsy balqis (QS AnNaml:38&40):”Hai pembesar-pembesarsiapakah diantara kalian yang sanggup membawa singgasana balqis padaku sebelum mereka datang sebagai orang-orang berserah diri.Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al kitab(Taurat&zabur) Aku akan membawasinggasanaitusebelum matamu berkedip “.
Nah sekalipun orang yang mempunyai limu (Ashif bin Barkhiya) itu punya maziyyah (kelebihan) yang bisa membawa singgasana balqis hanya dengan waktu sekejap mata ini tidak menunjukkan bahwa nabi Sulaiman lebih rendah dari padanya, tapi nabi Sulaiman tetap lebih tinggi dari Ashif bin Barkhiya.
Ada sebuah pertanyaan: Banyak kalimat-kalimat dalam manaqib yang tidak dimengerti maksudnya, lalu masih bermanfaat kah kalimat –kalimat ini sebagai sarana tawassul?
Sebenarnya dalam tawassul yang menjadi titik perhatian adalah tercapainya sebuah hajat. Adapun mengerti dalam do’a yang dibaca itu yang wajib diketahui adalah secara kully (tema permintaan) bukan secara tafsily (rincian arti kalimat ) dan bahkan mantra yang digunakan oleh orang pintar (semacam dukun) yang berbahasa Jawa tidak sedikit yang tidak mereka mengerti.
Sedangkan banyaknya pernyataan Syeh Abdul Qadir yang tak dapat dimengerti tidak terlepas dari maqom beliau yang yang sudah mencapai tingkat haqiqat. Sedangkan kita yang hannya maqom syariat, karena nnya tentu akan menimbulkan persepsiyang berbeda dalam kalangan sendiri . Seperti kisah dalam al-Qur’an antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir (QS.Al Kahfi). Yaitu ketika Nabi Khidir membocorkan perahu yang menyebabkan perahu tenggelam dan tak bisa digunakan lalu Nabi Musa berkata :”Laqod ji’tasyai an imra” . Artinya:”sesungguhnya kamu telah membuat kesalahan yang besar. Lalu pada saat Nabi Khidir membunuh seorang anak padahal hukumnya haram lantas kembali Nabi Musa berkata :”Laqod ji’ta syai an nukra”. Artinya: “Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu hal yang mungkar”.
Dalam dialog diatas terjadi pertentangan (perbedaan) antara Nabi Khidir dan Nabi Musa. Nabi Musa memandang perbuatan Nabi Khidir dengan kaca mata syariat sehingga mengatakan Nabi Khidir adalah orang yang berbuat kesalahan besar dan berbuat kemungkaran . Akan tetapi Nabi Khidir melakukan itu semua berdasarkan kaca mata haqiqat yang sumber ilmunya tentu datang dari Allah dan sebuah maqom yang sangat tinggi.
Dan untuk menjelaskan sesuatu yang tak dapat dipahami ini sebenarnya adalah tugas kita bersama yang tentunya jika kita sudah tahu maksudnya. Wallahu ‘alam.

RELEVANSI TAWASSUL DALAM ISLAM

DAPUR REDAKSI
para pembawanya dan waktu kedatangannya. Namun ada satu kepastian yang disepakati, bahwa Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam yang datang dengan cara damai.
Faham keagamaan yang dianut oleh para penyebar Islam pertama di Indonesia adalah faham Sunni yang menonjolkan aspek-aspek sufistik. Kini mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i, salah satu mazhab dari mazhab empat dalam faham keagamaan Sunni.
Dalam paham Sunni, konstruksi pemikiran dan sekaligus praktek keagamaan yang didasarkan pada sunnah Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab terus berkembang dan berjalan. Banyak tradisi keagamaan yang telah turun temurun menjadi bagian dari kehidupan ummat Islam sampai saat ini. Kemapanan tradisi keagamaan di sekitar kita ditunjang oleh para kiai, ajengan, tengku, tuan guru atau tokoh agama lainnya yang dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan sepiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi.


PROLOG
Sebelum Nahdhatul Ulama dilahirkan, telah terjadi dialog sangat panjang antara budaya lokal versus nilai Islam di tengah-tengah umat Islam Nusantara hingga terwujud menjadi tradisi baru yang membumi. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola pikir (ittihad al-ma’khad wal-mazhab) dan referensi tradisi sosial keagamaan (ittihad al-ma’khad wal-masyrab)
Nahdhatul Ulama merupakan aktualisasi dari progresifitas arus besar ummat Islam di Indenesia. Dasar pembentukan prilaku moral bercirikan sikap tawassuth, tawazun, tasamuh dan i’tidal yang merupakan implementasi dalam keyakinan mereka yang kuat berpegang pada prinsip-prinsip keagamaan (qaidah al-fiqhiyyah) yang dirumuskan oleh ulama pendahulu.
Diantara prinsip-prinsip keagamaan tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakamah artinya: sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan. Juga prinsip al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah artinya: upaya pelestarian nilai-nilai baik dimasa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Selanjutnya kaidah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman artinya: sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya.
Kaidah lainnya adalah ma la yaimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib artinya: jika sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain, maka unsur yang lain itu menjadi wajib. Prinsip selanjutnya adalah, idza ta’aradla mafsadatani ru’iya a’dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima artinya: jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang paling terbesar dengan cara melaksanakan yang paling kecil. resikonya. Kaidah lain yang juga menjadi pijakan adalah, dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih, artinya: mencegah mara bahaya lebih diutamakan daripada meraih kebaikan. (disarikan dari buku Islam Ahlussunah Waljama’ah, Pustaka Ma’arif NU)
TAWASSUL DALAM ISLAM
Definisi unsur-unsur dan klasifikasi tawassul menjadi pembahasan dalam Dirasah Mingguan al-ghadier Pondok Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadiien Kempek Cirebon. Diambilnya tajuk tawassul ini karena merespon akan sesuatu yang terjadi dimasyarakat aswaja pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Otomatis kaum Nahdliyin ingin selalu rukun dan damai dalam kehidupannya dalam kehidupannya yang berdampingan dengan berbagai macam agama dan aliran. Sehingga hal-hal yang mempunyai indikasi kemaslahatan atau perpecahan selalu diperhatikan dan disikapi dengan penuh kearifan dan bijak. Dan tawassul itu termasuk didalamnya.
Tema tawassul itu sendiri masih memiliki korelasi dengan pokok pembahasan yang sebelumnya yaitu tahlil. Definisi tawassul yang dapat dambil dari bentuk implementasinya dimasyarakat ialah menjadikan sesuatu sebagai sebuah media (penghantar/perantara) agar apa yang dimintakan itu sampai, diterima dan dikabulkan oleh Allah SWT.
Disini kita akan mengenal akan unsur-unsur dalam tawassul yang ada tiga; Pertama, Mutawassil yaitu orang yang bertawassul atau melakukan tawassul. Kedua, Mutawassul Ilaih, yaitu Allah sebagai puncak tujuan dari tawassul yang akan meluluskan segala macam permintaan. Ketiga, Mutawassul Bih, yaitu sesuatu yang dijadikan sebagai media atau perantara.
Dalam Islam supermasi hukum yang memutuskan dan mengvonisnya sebagai hal yang boleh atau tidak tentunya al-Qur’an dan Hadist. Dalam al-Qur’an kita bisa menukil sebuah hukum dengan memetik ayatnya dan menyebut suratnya. Akan tetapi tidak semudah itu karena al-Qur’an sebagai kalam Allah itu ditafsiri oleh banyak orang mufassir yang sampai sekarang itu belum selesai-selesai. Hal ini akan menimbulkan perspetif yang berbeda-beda sesuai dengan point of view (cara sudut pandang) dari masing-masing mufassir. Maka hukumnya pun dilihat dari kacamata ini akan berbeda-beda. Dan dari kacamata ushul fiqh tentunya akan lain lagi jawabannya.
Sedangkan dalam hadist kita harus memperhatikan beberapa hal-hal khusus dalam penyitiran sebuah hadist yaitu: Pertama, kita harus mengetahui pada sanad-sanad hadist dan orang yang meriwayatkanya. Kedua, kalau tidak bisa maka kita harus mengetahui dari kitab hadist manakah suatu hadist didapat, seperti kitab Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Tirmidzi, Ibnu majah dan lain-lain. Ketiga, kalau yang pertama dan kedua tidak ditemukan maka hadist itu boleh kita pakai atau kita gunakan asalkan diambil dari kitab-kitab yang mu’tabaroh oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, seperti perkataan seseorang “hadist ini diambil dari kitab Ihya ‘ulumuddin atau ‘I’anatut tholibin” maka hal itu boleh. Sekalipun keduanya bukan kitab hadist (tentang hadist) tapi keduanya merupakan kitab yang mu’tabar (dipakai pegangan) oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Klasifikasi Tawassul
Dilihat dari segi media (perantara) nya tawassul digolongkan menjadi beberapa macam, Pertama, Tawassul bil Amal. Tawassul bil Amal langsung bisa dijawab kebolehannya dengan bukti adanya hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yaitu pengarang kitab shoheh Bukhori, sebuah kitab hadist tershoheh setelah al-qur’an, yakni dijelaskan bahwa ada tiga laki-laki terjebak dalam gua yang pintunya itu tertutup oleh batu besar lalu ketiganya bersepakat meminta kepada Allah dengan tawassul dengan amal mereka. Wal hasil mulut gua terbuka dan merekapaun bisa selamat dan keluar dari dalam gua.
Kedua, Tawassul bil Ahya. Yaitu bertawassul dengan perantara orang yang masih hidup. Diriwayatkan oleh Annas bin Malik, Ia berkata “Pada masa Rasulullah pernah terjadi tahun paceklik. Suatu saat ketika Rasulullah sedang berkhutbah jum’at,ada orang arab pedalaman berdiri lantas berkata pada Beliau:wahai rasulullah harta kami telah hancur ,keluarga kami semua kelaparan .maka mintalah pada allahkebaikan untuk kami.Seketika Nabi langsung menengadahkan kedua tangan nyayang pada saat itukami lihat tak ada mega(awan) sama sekali.Akan tetapi demi dzat yang jiwaku ada pada genggamannya Nabi mengangkat tangannya sehingga mega itu menjadi banyak sperti gunung-gunung.Dansebelum nabi turun dari mimbarnyabeliau kehujanan begitu juga kami pada hari itu, Al –Hadits.(hadits AbiJamroh :71).
Ketiga, Tawassul bil Amwat yaitu bertawassul dangan perantaraan orang yang sudah mati. Disini timbul sebuah pertanyaan : Apakah orang yang sudah mati bisa memberikan kemanfaatan pada orang yang masih hidup?
Menurut sebagaian golongan yang kontra tawassul, Tawassul bil Amwat dihukumi syirik, dengan dalil firman Allah SWT: Iyya kana’ Budu Wa Iyya Ka Nas Taiin. Mereka berargumen, kenapa tidak langsung saja minta kepada Allah? Bukankah Allah telah berfirman: “Berdoalah Kepadaku maka Aku akan mengabulkannya”. Dalam pandangan ini mereka juga berpendapat bahwa orang yang berwassilah dengan mayit, mereka anggap sama dengan orang kafir yang menyembah berhala. Dengan argument firman Allah dalam Surat Az-Zumar ayat 3: Wallazinat Takhozuu Min Dunihii Auliya’a Ma Na’buduhum Illa Liyuqorribuna Illallahi Zulfa. Dari dalil ini mereka beranggapan bahwa tawassul yang dilakukan oleh ahlussunah itu sama saja dengan ta’abud yang dilegalkan oleh kuffar. Akan tetapi alasan kuffar yang Liyuqorribuna dipatahkan oleh Allah dengan ayat sebelumnya, yaitu Ittakhozu Min Dunihi Awliya’. Dengan adanya ayat ini maka dalil yang dikemukakan oleh mereka tidak bisa dijadikan sebagai dalil haramnya tawassul, karena tawassul bukanlah ta’abud.
Selain hal tersebut, ayat diatas (Liyuqorribuna ) tidak bisa dikiyaskan dengan tawassul, karena bagi orang kuffar ayat ini hanyalah kamuflase, sebab bagi mereka ashnam (berhala) adalah ma yas tahiqquna bi ibadah. Sedangkan bagi ahlussunah ma yas tahiqquna bi ibadah hanya Allah SWT. Bagi Ahlussunah Mutawasil Bih hanyalah sebagai media, terbukti tawassul juga perah atau sering dilakukan oleh ulama salaf seperti Imam Syafi’i dalam kitabnya ia bertawasul dengan Imam Abu Hanifah.
Dengan dalil mafhumi, tawassul juga bisa dilegalkan seperti halnya yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa Allah memberikan mu’jizat kepada Nabi-Nabi dengan bentuk semisal tongkat untuk Nabi Musa. Juga perstiwa Tholut ketika akan menyerang Jalut, Allah memberikan wasillah berupa kotak kayu peninggalan Nabi Musa.
Dalil Naqly tentang tawassul bil amwat adalah hadist Nabi yang berbunyi: “Idza Takhoyartum fil ummuri fastaiinu min ahli qubur” Dalil ini cukup kuat untuk menjadi hujjah akan Jawaznya tawassul bil amwat . Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul bil amwat itu boleh asal tidak melepas aqidah, artinya tetap berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang menjadikan adalah Allah semata.
Sebenar nya antara orang yang masih hidup dan yang telah mati itu sama saja. Sama-sama memberi manfaat bagi yang hidup. Kalau orang yang masih hidup bisa memberi manfaat bagi manusia hidup lainnya dengan kekuasaan Allah, maka orang yang sudah mati pun bisa memberi kemanfaatan pada orang lain yang hidup karena memang yang menjadi Mutawssal Ilah -nya adalah Allah. Artinya bertawassul dengan yang masih hidup mutawssal Ilaaih-nya adalah Allah dan bertawassul dengan yang mati pun Mutawssal Ilaih-nya adalah Allah juga. Kalau kekuasaan Allah hanya bagi orang yang masih hidup maka kekuasan Allah itu pincang, karena tidak berkuasa pada orang yang sudah mati. Akan tatapi itu adalah mustahil adanya bagi Allah SWT yang maha kuasa atas segalanya.
Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Shirath al-Mustaqim: Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadist sahih menegaskan: Telah diperintahkan kepada orang-orang yang memiliki hajat di masa khalifah Ustman untuk bertawassul kepada Nabi setelah beliau wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Rasul, dan hajat merekapun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath-Thabarany (lihat, Kitab Al-Kawakib al-Durriyah, Juz II, hal.6)
Dalam al-Qur’an disebutkan: Walaa tahsabannal ladziena qutilu fi sabilillah amwat bal ahya ‘inda robbihim yurzaquun. Janganlah kamu menyangka orang orang yang mati di jalan Allah mati akan tetapi mereka hidup di sisi Tuhan nya dan di beri rizqi. Nah hal ini mengindikasikan bahwa orang yang sudah mati itu ada yang sebenarnya masih hidup (di sisi Allah SWT). Dimana orang yang hidup itu bisa memberikan manfaat bagi manusia yang hidup maka merekapun bisa bermanfaat bagi yang hidup lainnya.
Keempat, Tawassul bil Jamadat. Yakni bertawassul dengan perantara benda mati. Di riwayat kan dari Abdullah Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah berjalan melewati pekuburan lantas beliau menyuruh Abdullah berhenti karena di kuburan tersebut mayitnya sedang disiksa karena namimah dan ada yang karena tidak tuntas kencing. Kemudian Nabi mangambil pelapah korma lalu meletakannya diatas dua kuburan tersebut. Disebutkan juga bahwa Ummu Salamah menyimpan baju (sorban) Nabi Muhammad SAW yang biasa digunakan untuk penyembuhan (HR. Muslim)
Perlu dipahami bahwa semua macam-macam tawassul ini adalah sebuah amal kasabiyah. Sedangkan yang paling pokok dari itu semua adalah Allah SWT. Janganlah menyakini bahwa yang memberi rizqi, memberi kemudahan, lancarnya usaha itu disebabkan oleh hakikat dari tawassul, karena hakikat dari yang memberikan semuanya adalah Allah SWT yang maha kuasa atas segalanya.
Kemudian dari sahabat Anas, ia mengatakan: Pada zaman Umar bin Khatab pernah terjadi musim paceklik. Ketika melakukan sholat Istisqa Umar bertawassul kepada paman Rasullullah, Abbas bin Abdul Muthalib: “Ya Tuhan, dulu kami mohon kepada-Mu dengan wasilah Nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujan kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman nabi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka” (HR. al-Bukhari)
Dalil yang lainnya dijelaskan dalam kitab empat puluh masalah agama. Yang berbunyi: sesungguhnya tawassul dan minta syafa’at kepada nabi atau dengan keagungan dan keberkahannya, termasuk di antara sunnah (amal kebiasaan) para Rasul dan orang-orang Salaf Shalihin. (kitab 40 masalah agama. Jilid I hlm. 137).