Selalu menarik membahas hubungan antara Negara dan agama, dari sisi manapun pembahasan ini. Hubungan antara keduanya selalu tumpang tidih, tarik-ulur dan saling mempengaruhi. Negara adalah organisasi tertinggi, sementara agama adalah keyakinan dan ajaran yang sempurna, mencakup dan menyeluruh. Maka sepertinya akan sulit, jika kita meletakan suatu permasalahan antara hubungan agama dan Negara hanya sepotong-sepotong, sebagian atau hanya dari satu kepentingan saja, katakanlah kepentingan Negara atau kepentingan agama.
Dalam sejarah atau tata Negara dunia, kita mengenal bentuk Negara sekuler dan Negara teokrasi. Dalam Negara sekuler antara Negara dan agama ada ‘pemisahan’ yang jelas; mana kekuasaan dan kewenangan Negara, mana yang menjadi bagian agama. Dalam Negara sekuler agama dianggap masalah pribadi dan masuk wilayah prifat, sehingga tidak bisa ‘seenaknya’ masuk dalam ranah Negara (baca politik, hukum dan kekuasaan), Negara membatasi agama.
Sementara dalam Negara teokrasi, agama merupakan bagian yang tak terpisahlkan dari agama. Hukum yang berlaku adalah hukum agama, kebijakan publik didasarkan pada pertimbangan agama, dan politik dijalankan atas dasar kepentingan agama pula. Sederhananya Negara hampir identik dengan Agama dimana tujuan bernegara adalah tegaknya ajaran agama yang dianutnya.
Maka ada perbedaan yang amat jelas, Negara sekuler menempatkan agama ‘hanya’ sebagai pelengkap, Negara teokrasi menjadikan agama sebagai penentu utama.
Dalam sejarah Islam kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan/Negara. Zaman Rasulullah SAW di Madinah, Al-Khulafa Al Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah, Bani fatimiyah, Bani Umayah di Andalusia, sampai Turki Ustmani adalah contoh-contoh Negara yang pernah mengukir sejarah dalam peta politik dunia Islam.
Contoh Negara teokrasi yang kini menempatkan Islam sebagai dasar Negara adalah Repuplik Islam Iran dan kerajaan Arab Saudi, juga beberapa Negara kecil di timur tengah. Contoh Negara sekuler yang paling populer adalah Negara-negara barat, semacam Inggris dan AS yang kini menjadi kiblat dunia. Lalu apa setatus Negara kita?
Indonesia adalah merupakan Negara kesatuan yang di dalamnya terdapat berbagai macam etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah merupakan bentuk final dari sebuah negara yang dapat mengayomi pluralitas masyarakat Indonesia. Pendiriannya pun melibatkan seluruh kompenen bangsa dari berbagai etnik dan agama, bahu membahu mengusir penjajah dari bumi pertiwi yang tercinta. Butir-butir sila dalam Pancasila sebagai dasar bernegara pun tidak ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Indonesia memang bukan Negara Agama akan tetapi para ulama pendahulu kita bersepakat bahwa dalam bernegara, Indonesia dijiwai oleh spirit universal dari agama yang tumbuh didalam masyarakatnya. Tentunya, Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia diharapkan dapat berperan dalam membentuk nilai-nilai yang mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia. Pandangan ini dapat diterima karena beberapa alasan:
Pertama, meski memiliki perbedaan, hubungan antara agama dan negara diyakini memiliki misi yang sama dalam kehidupan “profan”, yakni merealisasikan kebahagian hidup di dunia, menciptakan kemaslahatan bersama serta mengatur hubungan sesama umat manusia (hablu-minan-naas). Titik temu misi keduanya dapat dilihat dari corak kebudayaan pada suatu bangsa. Persamaan juga terdapat dalam hal kekuasaan. Dalam hal kekuasaan Negara, dalam pandangan Islam, seorang penguasa dalam menegakkan keadilan (al-‘adalah) adalah satu keharusan, Tasharrul imam manuthun bimashlahatir ra’iyyah artinya kewenangan penguasa itu haruslah selaras dengan kemaslahatan publik. Imam Muhamad Idris As-Syafi’i (w. 204 H) menegaskan, bahwa : Manzilatul imam min mar’iyyihi manzilatul waly (Abul-Faidl Muhamad Yasin ibn Isa al-Fadani, al-fawaid al-janniyah juz. II Darul Basyir al-Islamiyah).
Kedua, Islam menekankan pada konsep musawah yaitu perlakuan yang sama terhadap warga Negara di depan hukum tanpa pandang bulu dan menjujung tinggi al-syura (musyawarah). Begitu pula Islam memilki lima prinsip (kuliyatul al-khams) yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip pertama adalah jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan bersewenang-wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua, perlindungan dan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional (hifdz al-aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas harta benda sebagai hak milik (hifdz al-mal). Prinsip keempat. Jaminan atas kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz al-din). Sedang prinsip kelima, jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz al-nasl wal-‘irdl). Sepanjang konsep dan prinsip-prinsip diatas dapat diaplikasikan dengan baik, maka bentuk Negara dan pemerintahan bagaimanapun dipandang sebagai Islami dan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Ketiga, dari sudut pandang fiqh, negara Indonesia adalah merupakan kawasan Islam (Dar al Islam) dimana setiap warga negara yang beragama Islam wajib mempertahankan eksistensi dan kedaulatannya. Penguasa penjajah ataupun kafir bahkan tidak menghilangkan status Indonesia sebagai kawasan Islam (lihat keputusan Muktamar NU di Banjarmasin). Setelah kemerdekaan, status ini diperkuat dengan ditetapkannya kepala negara atau pemerintah Indonesia sebagai penguasa yang sah (waliyy al amri adh dhoruriyy bi as syaukah) yang keputusan-keputusan hukumnya mengikat dan wajib ditaati oleh setiap warga negara.
Timbullah kemudian pertanyaan, bagaimanakah status keberadaan hukum Negara yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, manakah yang harus kita pegang?
Hukum-hukum syariat diantaranya adalah dalam masalah ‘ubudiyah, muamalah, munakahah (atau ahwaal as sahsiyyah) dan jinayah. Untuk masalah ubudiyah ternyata hampir tidak ditemukan adanya pertentangan dengan hukum negara, kita diberikan keleluasan dan bahkan dilindungi dalam mengamalkan amal ibadah yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang kita yakini. Demikian pula dalam masalah mu’amalah kita temukan hal yang sama. Bahkan akhir-akhir ini, sudah banyak diakomodasinya praktek-praktek muamalah yang Islami dalam system ekonomi di Negara kita, seperti mulai banyaknya berdiri bank-bank Syariah dan lain sebagainya. Sedangkan untuk masalah munakah, hukum-hukum Islam sudah sangat dominan terutama setelah di undang-undangkannya UUD perkawinan dan di berlakukannya kompilasi Hukum Islam yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian wakaf, wasiat dan waris. Barangkali hanya dalam masalah jinayah (kriminal seperti hukum qisas dan hudud) lah kita masih mempunyai banyak persoalan. Tapi itu sebenarnya merupakan cerminan dari problematika perundang-undangan hukum Islam dalam dunia yang mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya yang terbaik.
Terlepas dari semua itu tadi tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan juga keselarasan antara agama dan negara pada bagian masalah lain. Undang-undang yang dibuat oleh anggota dewan dan pemerintah bisa mengatur hubungan antara keduanya, sehingga ruang lingkup dari kepentingan Negara dan agama yang diatur oleh undang-undang menjadi sangat menyeluruh pada semua aspek kehidupan.
Lantas ketika negara memberikan sebuah ketetapan-ketetapan maka sebagai muslim pijakannya adalah “ Ya ayuhaldzina amanauu ‘athii’ullaha wa athi urrasula wa ulil amri minkum. “ Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian. Terma ulil amri minkum menurut sebagian ulama adalah sebuah istilah yang diartikan dengan orang-orang yang berhak mengatur dan menghukum ditengah-tengah kehidupan masyarakat, yaitu pemerintah.
Dalam syarah Ihya Ulumudhin, Juz I dijelaskan bahwa ittiba’ kepada pemimpin (negara), meskipun pemimpin itu seorang fasis, itu boleh, Imam Rofii pun membenarkan pendapat ini, dari At Tuhfa Libni Hajar Al-Haytami, Juz I, hlm: 72 dijelaskan bahwa kita boleh mengangkat pemimpin dari ahli dzimmy, asalkan dalam keadaan darurat, karena dalam bidang kepemimpinan tidak ada orang muslim yang kompeten atau cakap mengurus Negara/pemerintahan. Atau misalnya ada, tapi tidak amanat, juga diperbolehkan asal bisa dipastikan dibawah kepemimpinannya, ada kemanfaatan bagi muslim. Artinya pendapat diatas itu sesuai dengan yang dijelaskan dalam kitab At-Tasyri Al-Jinayah yang menyebutkan bahwa: Suatu hukum atau aturan (baca pemimpin) itu sah atau diikuti, selama tidak bertentangan dengan syariat kecuali ketika aturan-aturan tadi sudah melenceng ( baca bertentangan ) dengan syariat.
Maka seandainya setelah kita mengangkat seorang pemimpin dari kalangan ahli dzimmy kemudian ternyata berbuat atau kebijakannya bertentangan dengan syariat Islam maka kepemimpinannya menjadi batal. Bahkan wajib bagi kita untuk mendobraknya, sehingga terciptanya langkah prefentif untuk menghalau dan mencegah dua pola yang sangat kita takuti, yaitu terciptanya generasi dekadensi moral dan adanya konspirasi tingakat tinggi yang menjurus pada penjauhan nilai-nilai Islami.
Hal ini sejalan dengan hadits “Man raa minkum munkaran fal yughoyir biyadih faillam yastati’ fabilisaanihi faillam yastati’ fabi qobihi fahuwa adh’aful imaani “. Untuk yang dalam kategori bil yad adalah orang yang punya kekuatan atau mengubah adanya peraturan, untuk yang dalam kategori bil lisan adalah orang-orang yang punya pengaruh akan ketetapan-ketetapan peraturan yang berlaku, atau yang dalam kategori bil qalbi adalah orang-orang yang tak punya kekuatan dan pengaruh. Hal diatas juga dijelaskan dalam As-Syarwani at Tuhfah, Juz 9, hlm: 72-73 dan juga dalam Al-Mahally al-Manhaj, Juz 4 hlm: 172.
Implemetasi (kaifiyah) sikap kita menghadapi ketetapan sang imam ( baca: Pemerintah ) juga dipaparkan dalam kitab al-Bajuri, Juz 2 hlm: 260 “fatajibu tha’athal imam walau jairan fiima la yukhalifus syar’a min amrin aw nahyin ,bikhilafi ma yukhalifus syar’a li annahu latha’ata limakhluqin fima’shiyatil khaliq.kama fil hadis…………isma’uu wa athi’uu wa in ammara ‘alaikum khabasiyyun mujdi’u al athraaf. Liannal maqshuda al it tihadul kalimati wala tahshulu illa biwujudit tha’ati. Wajib mentaati imam walaupun imam yang menyeleweng selagi perintah dan larangannya tidak bertentangan dengan syari’at, berbeda apabila bertentangan dengan syari’at maka tidak ada ketaatan pada makhluk dalam melakukan kedurjanaan /kemaksiatan pada sang khaliq (Allah SWT), seperti keterangan dalam hadits: “Dengarkanlah dan ta’atillah pemimpin kalian meskipun kalian dipimpin oleh seorang ethopia yang bodoh lagi jahat”. Karena tujuannya adalah persatuan ummat . Dan target ini bisa tak bisa tercapai kecuali dengan adanya ketaatan .
Spesifikasinya, jika perkara itu adalah putusan yang hukumnya wajib, sunnah dan mubah maka wajib mengikuti secara dhahiran wa bathinan. Lalu untuk perkara yang putusannya berupa haram dan makruh maka wajib mengikuti secara dhahiran saja, tapi hati kita tatap ingkar (menolak).
Ditambahkan dalam kitab Ad-Durarul Bahiyah bahwa ittiba’ kepada pemerintah itu harus, baik negara Islam atau bukan, dengan pendekatan Ittiba’ul imamah, iqamatul haq dan Iqamatul amar ma’ruf nahi munkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar