Seperti yang telah dibahas pada edisi-edisi sebelumnya, rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari Tahlil adalah mendoakan sekaligus menghadiahkan pahala bacaan-bacaan ayat al-qur’an dan dzikir kepada orang yang telah meninggal. Dari sini timbul pertanyaan-pertanyaan, apakah doa kita terhadap orang yang telah meninggal dunia dapat bermanfa’at? Apakah ketika kita membaca ayat al-qur’an pada majlis tahlil pahalanya akan sampai pada orang yang telah meninggal? Bagamana pula ketika kita membaca dzikir-dzikir tertentu, adakah hal itu juga sampai pada mereka yang telah meninggal dunia? Dan bagaimana pula kita menjelaskan kepada masyarakat dan kalangan-kalangan tertentu yang telah membiasakan doa mempersembahkan pahala bacaan ayat al-qur’an dan dzikir seperti itu, bahwa apa yang mereka lakukan tidak sia-sia?
Beberapa pertanyaan diatas menjadi pembuka dalam kajian mingguan dalam dirosah ilmiyah Al-Ghadir kali ini. Tentu saja jawaban-jawaban yang kita ambil dan kita pegang bersumber dari al-qur’an dan Hadist Nabi SAW dalam kerangka Ahlussunah Wal Jama’ah.
Ada beberapa pokok bahasan, pertama mengenai bermanfaat tidaknya doa bagi orang yang telah meninggal sebagaimana pertanyaan diatas. Kedua tentang sampai tidaknya bacaan Qiro`ah pada orang yang sudah meninggal. Yang dimaksud dengan Qiro`ah disini adalah pahala bacaan ayat-ayat suci al-qur’an yang oleh si pembaca dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal seperti orang tuanya yang telah tiada. Dalam hal ini, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al Adzkar li an-Nawawi hlm 147, beliau berkata: “Ulama telah bersepakat bahwa doa bagi mayit dapat memberikan kemanfaatan dan pahalanya sampai pada mayit tersebut. Landasannya adalah firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang datang setelah mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dengan keimanan (mereka),” dan ayat-ayat masyhur lain yang semakna serta beberapa hadist yang masyhur seperti sabda Nabi SAW: “Ya Allah, ampunilah Ahli Baqi’ Gharqad,” dan sabda Nabi yang lain: “Ya Allah, ampunilah kami, yang hidup dan yang mati.”
Akan tetapi, masih menurut Imam Nawawi: “Ulama berselisih pendapat tentang sampainya pahala membaca al-quran (kepada mayit). Pendapat yang mashur dari madzhab Syafi’i dan kelompoknya; pahala tersebut tidak sampai, sedangkan Ahmad bin Hambal, sekelompok Ulama dan sekelompok pengikut-pengikut Syafi’i berpendapat bahwa pahala sampai (kepada mayit). Tapi menurut pendapat yang dipilih hendaknya pembaca berdoa setelah bacaaannya (dengan doa seperti ini): “Ya Allah, sampaikanlah pahala dari bacaanku kepada fulan (yang telah meninggal).”
Dari dua permasalahan yang dikemukan oleh An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar ini, sebenarnya sampainya pahala Qiro’ah kepada mayit bisa dinalar secara logis. Ketika kita diperbolehkan berdoa kepada Allah agar berkenan melimpahkan kasih sayang (rahmat) dan ampunan (magfirah)-Nya kepada orang yang telah meninggal, padahal rahmat dan magfirah adalah merupakan hak perogratif milik Allah, tentunya, kita juga diperbolehkan berdoa kepada Allah agar pahala dari amal perbuatan yang kita lakukan dilimpahkan kepada si mayit. Karena, seperti yang diungkapkan oleh ulama bahwa “al ‘Amalu Syay’un Mamlukun, amal adalah sesuatu yang dimiliki. Disinilah kemudian timbul pertanyaan, apakah amal itu boleh diberikan kepada orang lain yang sudah meninggal? Atas pertanyaan tersebut maka bisa dijelaskan bahwa pahala Qiro’ah bisa sampai pada mayit dengan penjelasan bahwa Qiro’ah merupakan amal Hasanaat atau amalan-amalan yang baik, bahwa Qiro’ah sebagaimana amal hasanaat yang lain, dapat kita mohonkan kepada Allah agar pahala yang dihasilkannya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Al- Qiro’ah hiya min a’maalil hasanaat, wal a’maalu hiya syay`un mamlukun. Kita bisa menyimpulkan bahwa Qiro’ah juga bisa Wushul atau sampai pada mayit, seperti halnya hasanaat yang lain.
Penalaran logis ini diperkuat oleh dalil-dalil Naqly. Tersebut dalam hadits Nasa’i bersumber dari Ma’qal bin Yasar al-Muzzany mengatakan: “Rasulullah pernah bersabda: Bacalah surat Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.” Hadis ini juga berlaku bagi yang masih hidup untuk membacakan surat Yasin kepada orang yang telah meninggal. Persis seperti sabda Rasullullah: Laqqinu mautakum La Illaha illalah (Tuntunlah orang mati dengan kalimat La Illaha illalah). Dan, termasuk dalam hadist ini adalah bacaan Yasin di atas makam, sampai kata-kata “surat Yasin adalah jantung Al-Qur’an” dan ia mempunyai khasiat menakjubkan bagi siapa saja yang membacanya. (lihat Kasyf al-syubuhat, hlm.263)
Dalam hadits yang lainnya dinyatakan: “Surat Yasin adalah jantung al-Qur’an. Barangsiapa membacanya mengharapkan (ridho) Allah dan (pahala) hari akhirat, maka tidak ada balasan baginya kecuali Allah akan mengampuni (dosa-dosa)nya. Bacalah surat Yasin pada orang-orang yang telah meninggal (dari) kamu sekalian (mautaakum).” (HR abu dawud, ibnu majah, nasa’I, ahmad, hakim, al baghowy, ibnu abi syaybah, at thobroni, dan imam al bayhaqi).
Lafad “mautaakum” dalam hadits diatas diartikan sebagai “orang yang telah meninggal dunia” sesuai dengan makna haqiqi (yang sebenarnya) dari lafad tersebut. Mengartikannya sebagai “orang yang akan meninggal dunia,” seperti yang dilakukan oleh kalangan yang tidak menyetujui Tahlil, adalah majazi (metaforik) dan pemaknaan majazi seperti ini dapat digolongkan sebegai pemerkosaan makna tampa rambu-rambu yang jelas. Karena dalam kaidah lughowiyyah bahwa suatu lafad harus diartikan dengan makna haqiqi selama tidak ada tanda-tanda bahwa yang dikehendaki adalah makna majazi-nya.
Terlebih lagi, Imam Sayuthi dalam kitab jami’usshoghir, juga diriwayatkan oleh Imam at Thoyalisi, dan Ibnu Hibban, dari Abu Huroiroh dan Abu Dzar, mereka berkata: Rosulullah SAW bersabda: “tidak ada orang yang telah meninggal dunia dan dibacakan kepadanya Surat Yasin, kecuali Allah meringankan (penderitaan) atas dirinya.” (lihat, al Mausu’atul Yusufiyah: 293).
Diriwayatkan pula oleh Thabroni dalam al Kabier dari Lijlaj, sesungguhnya ia berwasiat kepada anaknya: “Wahai anakku, apabila aku meninggal dunia, galilah untukku liang lahat. apabila kamu meletakkanku di liang lahatku, bacalah bismillah wa alaa millati rasulillah kemudian tutuplah aku dengan tanah, kemudian bacalah di sisi kepalaku awal surat al-Baqoroh dan akhirnya, seseungguhnya aku mendengar bahwa Rasullah mengatakannya.”
Diriwayatkan oleh Baihaqi dan Thabroni dari Ibn Umar, ia berkata: saya mendengar Rasulallah SAW bersabda: “Jika seorang diantara kalian meninggal dunia, maka janganlah kamu tahan dan cepatlah bawa ke kubur dan bacakan di arah kepalanya surat al-Fatihah. Menurut kalimat al-Baihaqi: (bacakan di arah kepalanya) awal surat al-Baqorah dan diarah kedua kakinya akhir surat al-Baqorah dikuburnya.”
Mengenai pendapat Imam Syafi’i yang bertendensi pada firman Allah: “wa an laysa lil insani illa ma sa’a,” (dan sungguh tidaklah bermanfaat bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakannya.” ulama syafi’iyah bersepakat bahwa alasan beliau adalah agar tidak terjadi Tawakkul, memasrahkan sesuatu dari hasil yang dicapai oleh orang lain, dengan bukti apa yang dikatakan oleh Az Za’faroni: “saya bertanya pada Imam Syafi’i, mengenai membaca al qur’an di maqbaroh, dan beliau menjawab: “la ba`sa biha (tidak apa-apa)”. (An Nawawy, Riyadussholihin, 415). Bahkan imam syafi’i juga berkata : “dan disunnahkan membaca sebagian dari al qur’an disisi mayit, dan jika mereka mengkhatamkannya, maka itu lebih baik.” (Al mausu’atul yusufiyah: 295). Oleh karena itu, Imam Zakaria Al-Anshari dalam Minhaaj-nya hal. 10 menandaskan; “Pendapat yang dikatakan sebagai yang masyhur dari madzhab Syafi’i ( bahwa Pahala Qiro’ah tidak sampai ke mayit) dimaksudkan apabila dibaca tidak di samping mayit dan tidak diniati pahalanya untuk mayit atau diniati akan tetapi tidak mendoakaanya (untuk mayit). Bahkan as Subki berkata: pendapat yang ditunjang oleh hadits dengan penggalian yang sungguh-sungguh bahwa pembacaan sebagian al-Qur’an apabila dimaksud untuk memberikan kemanfaaatan pada mayit maka akan bermanfaat bagi mayit tersebut.”
Dalil-dalil diatas telah cukup dijadikan sebagai hujjah bagi golongan ahlussunah dalam mempertahankan pendapat mengenai wushulnya pahala qiro’ah pada mayit. Dan melihat keumuman dalil-dalil yang ada, dalil-dalil tersebut dapat diterapkan dalam permasalahan apakah pahala dzikir yang kita baca juga bisa bermanfaat dan sampai kepada mayit.
Pertanyaan selanjutnya yang terkait dengan tahlil adalah mengenai praktek berdzikir yang dilaksanakan dalam acara tahlil. Apakah pelaksanaannya dengan cara-cara yang dipraktekkan dalam tahlil seperti dilakukan secara bersama-sama dengan suara keras dan juga disertai dengan gerakan-gerakan tubuh (tamayul), apakah semua itu dapat dibenarkan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa berdzikir adalah amal ibadah yang dianjurkan karena dzikir artinya ingat, yang dimaksud ialah ingat kepada Allah. Dalam ajaran tasawuf ada bimbingan dzikir. Amalan dzikir yang ada pada acara Tahlil adalah bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi pembacaan kalimat tauhid Laa ilaaha illa Allah yang merupakan inti dari Tahlil itu sendiri. Kalimat ini harus diyakini maknanya oleh setiap Muslim karena kandungannya berkaitan dengan kemahaesaan Allah SWT. Kalimat ini berisi nafy dan isbat yakni kalimat yang mengandung ungkapan yang meniadakan segala tuhan dan menetapkan hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan Tuhan yang satu itulah yang berhak dan wajib disembah. Kalimat ini juga bisa berarti tidak ada yang mencipta, pemberi manfa’at dan madharat, pemberi rizqi dan kehidupan kecuali Allah semata. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abi Hurairoh, Nabi SAW bersabda: “Perbaharuilah iman kalian, seorang bertanya: wahai Rasulallah bagaimana memperbaharui iman kami. Rasul menjawab: perbanyaklah membaca Laa ilaaha illa Allah.”
Dzikir yang paling utama adalah dzikir yang dilakukan dengan sepenuh hati. Bagi orang awam melakukan zikir dengan hati memang sulit, karenannya memerlukan pelatihan atau kebiasaan dalam arti kalau kita sudah terbiasa dengan dzikir maka hati kita akan selalu ingat kepada Allah, kapan dan dimana saja. Merupakan salah satu bentuk pelatihan dan pembiasaan adalah melakukan dzikir secara bersama-sama. Karena dalam dzikir bersama, orang yang mempunyai keterkaitan hati yang dalam terhadap Allah diharapkan dapat menularkan keterkaitan hatinya itu kepada yang lain. Sehingga secara bersama-sama, mereka dapat menapaki tangga demi tangga menuju Allah yang maha Tinggi. Dalam konteks inilah, kita banyak menemukan anjuran-anjuran Nabi SAW atas halaqah-halaqah dzikir (kelompok-kelompok dzikir):
Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad dari Mu’awiyah, bahwa Nabi SAW mendatangi halaqah (duduk bersama melingkar) yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya kemudian Nabi bersabda: “Apa yang membuat kalian duduk (bersama)? Para sahabat menjawab: Kami duduk (bersama) menyebut Allah dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya pada kami tentang Islam dan atas anugrah-Nya. Nabi bersabda: apakah hanya karena Allah kalian duduk(bersama)? Para sahabat menjawab: Hanya karena Allah kami duduk (bersama). Nabi bersabda: ketahuilah, saya tidak menaruh curiga pada kalian, telah datang kepadaku Jibril dan mengkhabariku bahwa Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat.”
Diriwayatkan pula oleh Ahmad dan Tarmidzi dari Anas, Rasulallah bersabda: “Apabila kalian melewati taman surga maka berhentilah, para sahabat bertanya: apakah taman surga itu? Nabi menjawab: kelompok Dzikir”
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah oleh Bukhori dan Muslim, Nabi SAW bersabda: “Aku seperti yang dipersepsikan oleh hamba-Ku, Aku selalu bersamanya bila ia selalu mengingat-Ku. Maka Apabila hatinya mengingat-Ku maka aku akan mengingatnya, dan apabila ia mengingatku di hadapan kelompoknya, maka Aku akan mengingatnya di hadapan kelompok yang lebih baik dari kelompoknya”
Demikianlah, hadits-hadits yang menganjurkan kita melakukan dzikir secara berkelompok. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dzikir yang dilakukan dengan bil jahr (Keras) itu juga bisa dibenarkan? Bukankah Nabi bersabda: “Allah tidaklah tuli lagi jauh, Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat”.
Ulama sunni berpendapat, do’a atau dzikr biljahr (keras) itu tidak menjadi masalah. Dengan argumantasi bahwa dzikir dengan jahr dilakukan apabila dengan jahr kita baru bisa merasa dekat dengan Allah karena inti dari pada dzikir adalah hati, dan bagaimana mendekatkan hati kita kepada Allah. Hati kita yang tidak bersih tidak mudah mencapai pada tujuan dzikir kecuali dengan adanya ucapan lisan sebagai usaha agar maksud daripada dzikir tercapai. Begitu juga mengenai gerakan-gerakan tubuh (tamayul) yang dilakukan dalam berdzikir. Sebenarnya tamayul itu merupakan ajaran thoriqot yang telah melekat pada adat masyarakat. Karena tamayul itu tidak lain adalah adalah ekspresi dari rasa dekat kita dengan Allah, atau cara kita untuk berusaha dekat dengan Allah. Bukankah Nabi bersabda: “waidza lam yabki, fal yatabaka.” Yang artinya: “Apabila seseorang tidak menangis (ketika berdzikir dan berdoa) maka hendakklah ia mengusahakan dirinya untuk menangis.” Menangis, sebagaimana mengeraskan suara dan menggerakkan tubuh, hanyalah sarana atau ekspresi untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. Maka kalau praktik-praktik seperti itu mampu menjadikan kita bisa merasa lebih dekat kepada Allah, maka tidak ada salahnya untuk diadopsi.
Adapun sabda Nabi yang menegaskan bahwa Allah tidaklah Tuli dan Jauh, itu ditujukan kepada mereka yang mengeraskan suara secara berlebihan atau mempunyai keyakinan atau dugaan bahwa Allah adalah Dzat yang Jauh sehingga perlu dipanggil-panggil dengan suara keras. Hal ini diperkuat dengan riwayat yang sahih, pada saat tertentu nabi juga melakukan doa dan berdzikir dengan suara yang keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar