Minggu, 31 Mei 2009

Paradigma Problematika Kontemporer

PROBLEMETIKA KONTEMPORER


A. Mengadakan Shalat Jum’at di kantor
Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, banyak kantor, pertokoan, kawasan industri dan kompleks perumahan yang menyelenggarakan sholat Jum’at. Jama’ah shalat terdiri dari pegawai/karyawan atau orang-orang yang tidak tergolong penduduk asli ( mustauthin ) atau orang-orang yang berdomilisi untuk sementara waktu di tempat tersebut ( muqimin ). Kalau pun ada, jumlahnya sedikit dan tidak memenuhi jumlah yang disyaratkan untuk sahnya mendirikan sholat Jum’at. Pertanyaannya adalah: bagaimana hukum shalat Jum’at yang dilakukan di perkantoran, hotel-hotel dan restauran-restauran dan tempat-tempat lain seperti di atas?
Dalam menjawab pertanyaan ini, Majlis Diskusi Ilmiah Al Ghadier menyepakati perlunya melihat permasalahan ini dari dua syarat bagi sahnya mendirikan sholat jumat; syarat pertama adalah al istiithan (pelaku sholat Jum’at harus penduduk setempat dengan jumlah tertentu) dan syarat yang kedua adalah ‘adam at ta’addud (tidak ada dua jum’at atau lebih dalam satu tempat).
Untuk syarat pertama, ulama membedakan para pelaku sholat Jum’at dalam tiga status kependudukan, yaitu; Mustauthinin, Muqimin dan Musafirin. Mustauthinin adalah orang yang telah menetap disuatu daerah dan tidak punya niat untuk meninggalkan daerah tersebut kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya sementara. Mustauthinin dalam hal ini boleh diartikan sebagai penduduk setempat yang umumnya mempunyai KTP daerah tersebut. Muqimin adalah orang yang bertempat tinggal di suatu daerah selama empat hari atau lebih (tidak ada batas maksimal, meskipun bertahun-tahun), akan tetapi masih mempunyai niat untuk meninggalkan daerah itu dan kembali ketempat mereka berasal (contoh paling sering dimunculkan adalah santri Pondok Pesantren, meskipun mereka tinggal di pesantren selama bertahun-tahun akan tetapi mereka masih mempunyai keinginan meninggalkan pesantren dan kembali ke kampung halaman mereka). Sedangkan musafirin adalah mereka yang masih dalam perjalananan atau belum menetap di sebuah daerah minimal selama empat hari (lihat kitab Fathul Muín, hlm : 40)
Kaitan dengan sahnya mendirikan sholat Jum’at, mayoritas ulama syafi’iyyah menegaskan bahwa sholat jum’ah harus dilaksanakan oleh Mustauthinin dengan jumlah minimal empat puluh orang. Sholat Jum’at tidak sah bila dilakukan oleh Mustauthinin yang kurang dari jumlah minimal atau hanya melibatkan muqimin dan musafirin saja. Oleh karena itu, bila mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah ini maka hukum sholat Jum’at yang dilaksanakan di perkantoran, hotel-hotel dan rumah sakit-rumah sakit di kota-kota besar adalah tidak sah karena mereka yang mengikuti sholat Jum’ah umumnya bukan penduduk setempat melainkan para pendatang dari daerah lain. Dalam istilah bahasa fiqh mereka bukan mustauthinin akan tetapi musafirin. Kalaupun ada mereka yang sudah menetap di tempat tersebut seperti penjaga kantor atau karyawan yang dirumahkan disekitar kantor, umumnya mereka tidak menetap untuk selama lamanya akan tetapi suatu saat mereka akan kembali ke daerah asal mereka. Merka disebut sebagai muqimin dan tidak dapat memenuhi syarat sahnya mendirikan sholat Jum’at. Tentunya, bila dalam jamaah sholat Jum’ah yang diadakan di perkantoran-perkantoran tersebut terdapat penduduk setempat lebih dari 40 orang maka sholat jum’ahnya sah, akan tetapi yang terakhir ini jarang sekali terjadi.
Berikut ini cuplikan pendapat ulama syafi’iyah mengenai syarat Jum’at harus dilaksanakan oleh penduduk setempat (Mustautinin) yang berjumlah minimal 40 orang:
Dalam kitab al Bajuri Juz I hal 214 : “Syarat sahnya melaksanakan Jum’ah ada tiga...... yang kedua adalah terdapat empat puluh ahli jum’at yaitu mereka yang mukalaf, lelaki, merdeka dan merupakan penduduk setempat yang tidak meninggalkan daerah mereka di musim panas ataupun dingin kecuali karena kebutuhan-kebutuhan sementara saja”.
Dalam kitab Fath al Mu’in hal 40 : “dan Jum’at wajib bagi seorang muqim…. akan tetapi jum’at tidak sah didirikan oleh orang yang muqim tidak mustauthin”
Di kitab dan halaman yang sama disebutkan bahwa: “Imam Al-Bulqini ditanya tentang penduduk daerah yang jumlah penduduknya belum mencapai 40 orang. Apakah mereka melaksankan shalat dzuhur atau shalat jum’at ?Beliau menjawab : Menurut madzhab syafi’i mereka harus shalat dzuhur.
Sekarang bagaimana kita menyikapi praktek yang sudah umum terjadi itu, apakah tidak ada pendapat yang memperbolehkan sholat jum’at seperti yang terjadi di hotel-hotel dan restauran-restauran di kota-kota besar di Indonesia?
Dalam mencari jalan keluar terhadap praktek-praktek yang sudah umum terjadi saat ini, kemungkinannya adalah kita bisa mengurangi syarat jumlah minimal dari penduduk setempat (mustauthinin) yang harus ikut di dalam shalat Jum’at. Imam Syafi’i mempunyai beberapa pendapat yang berbeda tentang jumlah jamaah yang harus dipenuhi dalam shalat Jum’at. Salah satunya, seperti dinukil oleh pengarang Kitab al-Talkhis dan Syarh Muhadzab Juz IV hal 505, bahwa Jumat adalah sah apabila didirikan oleh paling sedikit empat orang dari mereka yang memenuhi syarat sahnya mendirikan sholat jum’at. Pendapat ini adalah qoul qodim Imam Syafi’i yang masih didukung dan diunggulkan oleh sebagian murid-murid beliau. Dan ini sesuai dengan pendapat Imam Abi Hanifah dan Muridnya, Muhammad, bahwa Jum’at boleh dilaksanakan oleh tiga orang saja selain Imam sholat (lihat kitab al Fiqh al Islami wa Adillatihi, Juz 2 hal : 275). Adapun pendapat yang lain dari Imam Syafi’i adalah 12 (dua belas) orang, hal ini didasarkan pada ( Q.S. Al-Jum’ah : 11 ) ”Waidza raaw tijaratan aw lahwanin fadlu ilaihi watarakuu ka qaaiman” ‘Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, meraka bubar untuk menuju kepada-Nya dan mereka meninggalkanmu dalam kedaan berdiri ( berkhothbah )'. Pada saat ditinggalkannya para jamaah , Nabi Saw hanya ditemani oleh dua belas orang yang tidak pergi / bubar menuju perniagaan . Atas dalil ini Imam Syafi’i mengambil ‘Ibrah (pelajaran) bahwa shalat itu tetap sah dengan anggota jama’ah yang ada dua belas, atau sederhananya minimal mushalli itu ada dua belas orang.
Bila mengikuti pendapat-pendapat dari Imam Syafi’i ini, maka agar dapat dikatakan sah, hendaknya sholat Jum’at di perkantoran-perkantoran dan sejenisnya setidaknya harus melibatkan empat orang atau dua belas penduduk setempat. Tentunya ini tidak sesulit ketika masih disyaratkan diikuti oleh paling tidak empat puluh orang dari penduduk setempat. Apabila masih ditanyakan, ‘Apakah boleh mengikuti pendapat qaul qadim? Jawabannya boleh, karena ia adalah pemikiran yang terlahir dari sang Imam yang dibela dan diunggulkan (ditarjih) oleh murid-muridnya. Pembelaan murid-murid beliau menunjukkan bahwa pendapat itu adalah rajih (yang unggul). Terlebih lagi, dalam kitab Bughya hal : 80 dijelaskan : “Imam Suyuthi dan ulama lainnya berkata bahwa sebenarnya tak ada satu hadits pun yang menetapkan bilangan tertentu dalam jamaah sholat Jum’ah.” Jelaslah disini, kita diperbolehkan mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang memperbolehkan sholat jum’at hanya dihadiri oleh paling tidak empat orang penduduk setempat, meskipun selebihnya dari para jama’ah adalah muqimin dan musafirin.
Jika solusi ini (melibatkan empat orang penduduk setempat) juga sulit untuk direalisasikan, maka dalam madhab syafi’i terdapat pendapat yang tidak mensyaratkan adanya penduduk setempat (mustauthinin) untuk sahnya mendirikan sholat Jum’at. Menurut pendapat ini, orang-orang yang tinggal untuk sementara waktu (muqimin) pun bisa mendirikan sholat Jum’ah secara mandiri. Dikutip dalam kitab Syarh Muhadzab bahwa Abu Ali Ibnu Abi Hurairah berpendapat, shalat jum’ah adalah sah meskipun hanya didirikan oleh muqimin, karena mereka tetap berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat Jum’at itupun menjadi sah bagi mereka. Terlebih lagi apabila kita melihat pendapat diluar madhab Syafi’i, Imam Abi Hanifah mengesahkan sholat Jum’at yang hanya melibatkan orang-orang yang masih berada dalam perjalanan atau musafirin. Masih dalam kitab yang sama dijelaskan bahwa “Menurut mayoritas ulama, tidak sah shalat Jum’at yang didirikan oleh hamba sahaya dan musafir, berbeda dengan Abu Hanifah yang mengesahkannya.” Menurut pendapat ini, Sholat Jum’at di perkantoran-perkantoran dan tempat-tempat yang serupa adalah sah sepanjang diikuti oleh empat orang dari mereka yang sudah menetap ditempat itu meskipun mereka menetap untuk sementara waktu saja.
Dengan adanya kemungkinan sahnya shalat Jumát di perkantoran-perkantoran maka menimbulkan konsekuensi adanya penyelenggaraan sholat Jumát yang lebih dari satu dalam satu tempat. Maka kita harus mengkaji hukum sholat Jum’at di kantor-kantor dari syarat `adam at ta’addud.
Berikut hukum yang berlaku umum dalam madzhab Syafi’i yang bertalian dengan syarat ‘adam at ta’addud:
1. Pada pokoknya sholat Jumát hanya boleh didirikan satu dalam satu tempat, tidak boleh dua, tiga, apalagi empat. Sama saja, apakah tempat itu bernama qoryah ( dusun), baldah (negeri) dan lain-lainnya, yaitu suatu kesatuan perkampungan tempat tinggal penduduk, maka disitu hanya dibolehkan mendirikan satu jum‘atan, tidak boleh lebih dari satu, dua, atau tiga juma’atan
2. Tetapi kalau ada udzur syar’í, yaitu udzur yang dibenarkan oleh syariat seperti tidak tertampung dalam satu tempat atau karena alasan-alasan geografis maka barulah sholat Jumát itu dibolehkan didirikan satu, dua, atau tiga dalam satu daerah sesuai dengan kebutuhannya.
3. Andaikata didirikan sholat Jum’át dua, tiga, dalam satu tempat tanpa udzur syar’í maka jum’át yang sah hanya satu, yaitu sholat jumát yang terdahulu takbirnya, sholat Jum’át yang lainnya tidak sah.
4. Jum’át yang tidak sah wajib diulangi dengan shalat dzuhur yakni shalat yang asal pada waktu itu. Kalau tidak diulangi berdosalah orang itu karena belum membayarkan shalat pada waktu dzuhur hari itu.
5. Kalau ragu-ragu yakni tidak diyakinkan bahwa takbir shalat Jum’át kita terdahulu dari shalat Jum’át yang lain di tempat itu, maka sunnah mengulangi dengan dzuhur sebagai tindakan Ihtiyath yakni berjaga-jaga dan melalui jalan aman.
6. Mengulangi dengan dzuhur itu boleh berjama’ah boleh pula tidak.

Jelaslah dari penjelasan diatas tentang hukum ta’addud al Jum’ah, dan melihat kenyataan bahwa sholat-sholat Jum’at yang diadakan dikantor-kantor dan tempat-tempat yang serupa umumnya berdekatan dengan sholat jum’at yang lain dan umumnya tidak ada alasan syar’i yang melandasi didirikannya dua atau lebih sholat Jum’at di satu tempat tersebut maka menurut mayoritas syafi’iyyah hukum sholat jum’at yang kedua dan seterusnya adalah tidak sah. Akan tetapi dengan keputusan tersebut, kita juga terbentur dengan realitas yang ada. Apakah kita cukup berani menghukumi tidak sah pada sholat jum’at yang kedua dan ketiga padahal ini sudah menjadi praktik-praktik yang umum di kota-kota besar? Tidak adakah pendapat yang memperbolehkan berbilangnya sholat Jum’at dalam satu tempat meskipun tidak ada udzur syar’i?
Menarik untuk diceritakan perdebatan mengenai diamnya imam Syafi’i ketika beliau masuk ke Bagdad dan mendapatkan beberapa Jum’at di kota Baghdad di tempat yang berdekatan. Seperti yang diceritakan bahwa pada tahun-tahun permulaan dalam sejarah Islam, tegasnya dari masa Nabi sampai pertengahan abad kedua Hijriyyah, sholat Jum’át itu didirikan hanya satu dalam kota atau tempat. Tetapi kemudian, seorang Khalifah ‘Ábbasiyah bernama Muhamad Al Mahdi yang berkuasa di Baghdad dari tahun 158 H, sampai dengan 169 H, mendirikan dua atau tiga masjid dalam satu tempat dan semuanya dijadikan tempat untuk melaksanakan sholat Jum’ah. Imam Syafi’i pada saat beliau masuk ke kota Baghdad beliau melihat ada dua atau tiga jum’átan, akan tetapi beliau diam saja tidak melarang. Apakah ini berarti bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan dilaksanakannya dua Jum’at atau lebih dalam satu tempat? Dalam hal ini, kebanyakan ulama-ulama Syafi’i menafsirkan bahwa diamnya beliau adalah disebabkan karena di kota Baghdad terdapat udzur yang membenarkan adanya ta’addud al Jum’ah, yaitu sulit berkumpul dalam satu tempat, dan hal itu juga dikarenakan bahwa kota Baghdad itu dibagi oleh sungai yang sangat besar yaitu sungai eufrat yang menghalangi berkumpulnya jama’ah dalam satu tempat. Nampaknya Imam Syafi’i melihat, bahwa hal ini adalah udzur syar’í (udzur yang dibenarkan oleh syariat). Sehingga mayoritas pengikut-pengikut syafi’i tetap tidak memperbolehkan adanya ta’addud al Jum’ah.
Tapi ada pendapat yang mengatakan bahwa bahwa diamnya Imam Syafi’i ini memang karena beliau memperbolehkan adanya dua Jum’at atau lebih dalam satu tempat. Hal ini lah yang kemudian diyakini oleh Imam Sya’rani dan bahkan beliau menambahkan bahwa tidak diperbolehkannya ta’addud al Jum’ah itu sebenarnya karena kekawatiran terjadinya fitnah (mengesankan berpecah belahnya ummat Islam). Adapun saat-saat sekarang dan di saat Imam Syafi’i masuk ke Kota Baghdad fitnah semacam itu sudah tidak ada lagi maka tidak ada alasan lagi untuk melarang ta’addud al Jum’ah di satu tempat. Pendapat seperti inilah yang kemudian diikut oleh syeh Isma’il al Yamani bahwa ta’addud al Jum’ah itu boleh. Bahkan, sholat Jum’at itu disyariatkan demi menampakkan syiar Islam. Konsekuensinya, semakin banyak pelaksanaan Jum’at di satu tempat maka semakin tampak pulalah syi’ar Islam. Pelarangan ta’addud al Jum’ah, masih menurut syekh Isma’il Yamani, adalah tidak berdasarkan nash baik kitab al Qur’ab maupun Hadits. Jelas, menurut pendapat yang kedua ini, ta’addud al Jum’ah bukan merupakan larangan dan tidak menyebabkan tidak sahnya sholat Jum’at.


B. Shobiy Berzina
Tema kedua dalam dirasah Ilmiyah lainnya adalah mengenai zina yang dilakukan oleh seorang anak yang belum baligh. Kita tahu dan menyadari, di era globalisasi ini berbagai jenis informasi masuk dalam sendi-sendi kehidupan, dari mulai informasi yang bernuansa pendidikan (edukasi), sosial, ekonomi, kenegaraan sampai politik. Di era sekarang masyarakat bisa mengakses informasi dengan sangat cepat dan mudah, hanya tinggal memainkan jari tangan pada keyboard komputer bisa mengetahui informasi di seluruh penjuru dunia. Hanya dengan mengakses perangkat lunak (internet) kita dapat mengetahui segala macam bentuk dan beragam wacana dimensi kehidupan baik fiksi maupun non fiksi, subyektif atau obyektif . Tetapi sekarang banyak yang disalah gunakan oleh masyarakat, diantaranya mereka mengakses situs-situs yang bertentangan dengan nuansa Islami (baca :melanggar syar’i).
Diantara dampak negatifnya adalah seorang anak kecil yang belum baligh meng-update situs-situs yang bertentangan dengan nuansa Islami (porno) sehingga ada anak kecil yang berumur 8 tahun memperkosa / melakukan zina dengan seorang perempuan yang masih berumur 7 tahun. Bagaimanakah hukum atas seorang anak tadi dalam hukum Islam?
Dalam kitab Iánatutthalibin juz 4 hal :142-143, disebutkan bahwa untuk ditetapakannya had zina terhadap seseorang, orang tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syaratnya adalah berumur dewasa. Maka tidak ditetapkan hukum had bagi anak kecil yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Hal ini sesuai denga hadist Nabi yang menjelaskan bahwa pena hukuman diangkat dari tiga orang yang salah satunya adalah dari anak kecil hingga ia dewasa.
Sedangkan dalam kitab Nihayatuzzain, hlm: 356. Dijelaskan bahwa hukuman bagi anak kecil yang melakukan dosa adalah dengan mendidik, yaitu memberikan pendidikan. Secara keumuman dihukumnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan atau membahayakan, dibotak, diasingkan, diolok-olok dengan ucapan dan sebagainya.
Demikianlah beberapa kesimpulan yang dihasilkan dalam kegiatan dirasah Ilmiyah Sunniyah Al-Gadier di Pondok Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadi-ien Kempek Cirebon yang diadakan tiap hari Jum’at dibawah asuhan KH. Musthofa Aqiel Siroj. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar