Senin, 11 Mei 2009

PESRPEKTIF TAHLIL MENURUT AHLUS SUNAH WAL JAMA`AH

*Berdasarkan Hasil Dirasah Usbu`iyah LDNU (Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama) / Dirasah Ilmiah
Al-Ghadir Pon-Pes Kempek Cirebon

Apa itu Tahlil? Sebuah opening question (pertanyaan pembuka) dari gembok rasa keingintahuan seseorang dalam materi pembahasan Dirasah Ilmiah Al-Ghadier Pon-Pes Kempek kali ini. Ini merupakan sub bahasan dari edisi sebelumnya tentang upaya menekankan pendefinisian bid`ah, sunah dan syariat melalui metode ahlus sunah wal jama`ah. Tema di atas coba kami angkat pada edisi kali ini karena tahlil merupakan tradisi kebudayaan yang sudah sangat melekat di kalangan masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya, meskipun masih banyak pro-kontra di kalangan para ulama. Tujuan lain adalah untuk meluruskan anggapan sebagian masyarakat yang hampir dan bahkan telah menganggap bahwa tahlil adalah sebuah syari`at dalam Islam.
Secara etimologi dalam tata bahasa Arab membahasnya sebagai sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti mengucapkan laa ilaaha illa Allahu.
Sedangkan terminologi mendefinisikannya sebagai sebuah pertemuan yang di dalamnya dibacakan laa ilaaha illa Allahu, shalawat kepada Nabi SAW, tasbih, dan sebagian ayat-ayat Al-qur`an serta diakhiri dengan do`a yang berisikan pengiriman pahala bacaan-bacaan tadi kepada seseorang yang sudah meninggal.
Bentuk implementasi tahlil tidak hanya diselenggarakan setelah meninggalnya seseorang tetapi juga sering dilaksanakan sebagai sebuah sub acara dari berbagai rangkaian acara dalam sebuah tema tertentu, seperti pada saat acara ikhtitamul kutub, selamatan, dan upacara-upacara adat lainnya.

Klasifikasi dan Hukum Tahlil menurut Ahlus Sunah wal Jama`ah
Istilah syari`at dalam Islam adalah maa jaá bihi al Nabiyyu shalla Allahu `alaihi wa sallama, yakni sesuatu yang dibawa, dilakukan dan diajarkan oleh Nabi SAW. Indikasi syari`at ini akan memunculkan suatu perkara atau masalah yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW (sunah Nabi) yang kemudian memunculkan istilah bid`ah. Bid`ah itu sendiri menurut Ahlus Sunah wal Jama`ah adalah perilaku yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW, bukan merupakan sunah Nabi SAW (qauly, af`aly, dan taqriry) atau juga sebuah perilaku yang tidak disyari`atkan oleh Nabi SAW dalam Islam dan tidak berseberangan dengan syari`at serta sangat dibutuhkan dalam konteks kondisional. Adapun yang masih menjadi kontroversi adalah penggolongan tahlil dalam golongan bid`ah, apakah tahlil termasuk kedalam bid`ah hasanah (boleh) atau bid`ah dhalalah (tidak boleh). Bahkan ada pula sebagian kalangan yang menentang. Menurut golongan yang kontra pada tahlil mereka beralasan diantaranya; setelah Nabi SAW wafat beliau tidak ditahlili, padahal para sahabat adalah orang-orang yang ahli dalam melakukan kebaikan. Jika tahlil merupakan kebaikan, maka yang pertama kali melaksanakan tahlil adalah para sahabat, tetapi kenyataannya mereka tidak melakukan tahlil. Ada pula sebagian orang yang beralasan bahwa tahlil adalah sebuah niyahah (ratapan) terhadap orang yang meninggal, karena tahlil itu dilakukan pada malam hari setelah matinya seseorang.
Ahlus Sunah wal Jama`ah merespon berbagai anggapan tersebut dengan cukup bijak. Mereka menyatakan bahwa meskipun tahlil (atau sesuatu apapun) yang tidak ada pada zaman Nabi SAW, bukan berarti sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW itu dilarang, dengan bukti adanya pembukuan Al-qur`an dan lain sebagainya pun dilakukan bukan pada Nabi SAW tetapi pada masa sahabat dan masa-masa sesudahnya. Ahlus Sunah wal Jama`ah dalam memandang tradisi kebudayaan yang telah ada, misalnya tahlil, tidak hanya mempersoalkan unsur-unsur kebudayaan yang bertentangan dengan Islam, tetapi juga melihat kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya, seperti memperkuat ukhuwah Islamiyyah dalam masyarakat, sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendo`akan seseorang yang telah meninggal. Semua itu tidak ada yang bertentangan dengan syari`at Islam, sekalipun tidak dilakukan oleh Nabi SAW. Sementara hal-hal yang bertentangan dengan Islam -misalnya sesaji- coba diselaraskan dengan ajaran Islam secara halus dan penuh kearifan.
Selanjunya marilah kita telaah lebih jauh tentang kemaslahatan yang ditimbulkan dari hal-hal yang tidak ada pada masa Nabi SAW. Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat berharga dalam perkembangan Islam terjadi pada masa-masa setelah Nabi SAW, bahkan sahabat. Umat Islam harus menyadari betapa sumber hukum Islam tetap eksis hingga sekarang karena banyaknya penghapal-penghapal Al-qur`an, dan itu disebabkan karena adanya pembukuan Al-qur`an yang dilakukan bukan pada masa Nabi SAW. Kemudian setelah Al-qur`an berhasil dibukukan namun belum bisa dipahami dengan benar oleh sebagian besar umat Islam, maka seorang ulama membuat titik-titik tulisan Al-qur`an -Abu Aswad Ad-Duali th. 60 H-. Kemudian untuk semakin memperjelas umat Islam dalam mempelajari Al-qur`an, Imam Kholil ibn Ahmad Al-Farabi, wafat th. 180 H, membuat harakat tulisan Al-qur`an. Meskipun begitu, Al-qur`an masih belum sepenuhnya dipahami oleh umat Islam, maka Abu `Ubaid Qasim ibn Salam, wafat th. 224 H membentuk sebuah fan ilmu, yakni ilmu tajwid. Contoh lain yang lebih realistis dan lebih terasa dalam kehidupan umat Islam sehari-hari adalah tata cara dalam melakukan shalat. Umat Islam harus menyadari bahwa tata cara shalat itu tidak ada dalam Al-qur`an maupun Hadits. Umat Islam dapat melakukan shalat dengan baik dan benar karena jasa ulama -Muhammad ibn Idris ibn Syafi`, th. 150-204 H- yang membentuk sebuah dasar hukum yang menjadi cikal bakal sebuah fan ilmu yang kita kenal hingga saat ini dengan sebutan ilmu fiqih. Tanpa disadari bahwa semua ibadah yang dikerjakan saat ini sangat lekat sekali dengan pengaruh bid`ah. Dengan semua realitas di atas Ahlus Sunah wal Jama`ah tetap menerima tradisi kebudayaan yang telah ada, tentunya dengan mengawinkannya dengan syari`t Islam.
Selanjutnya timbul sebuah pertanyaan, adakah dasar dari tahlil dan haruskah ia tetap eksis di ranah kehidupan Nusantara ini?
Sejarah mendokumentasikan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, bahwa adanya tradisi kebudayaan yang dilakukan setelah meninggalnya seseorang, yakni masyarakat berkumpul pada malam hari di rumah orang yang meninggal tadi. Akan tetapi isi dari perkumpulan itu hanya berupa perbincangan biasa, dan hal itu merupakan budaya agama Budha, yang kebanyakan mereka anut pada masa itu. Kemudian datanglah para ulama Islam di Jawa (wali sanga) mencoba merubah tradisi tersebut dengan tetap berpegang pada hadits Nabi SAW man raá minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi –barang siapa diantara kalian melihat sebuah kemunkaran maka rubahlah dengan tangan (sesuai kemampuan) nya-. Ini merupakan sebuah keputusan yang sangat bijak sekali, dengan tujuan syari`at Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat pada masa itu.
Dengan doktrin falyughoyyirhu ini, para ulama di tanah Jawa tidak langsung melarang dan mengharamkannya, akan tetapi perkumpulan mereka yang hanya dengan perbincangan-perbincangan biasa, diisi dengan sesuatu yang mengandung syari`at Islam, seperti bacaan laa ilaha illa Allahu dan lain sebagainya yang kemudian kita sebut dengan tahlil. Istilah tahlil itu sendiri pertama kali dikemukakan oleh seorang wali sanga, yakni Syeikh Maulana Ishaq.
Adapun dalam keeksisan tahlil di ranah Nusantara ini tentunya akan memunculkan pertanyaan penting yang perlu dijawab pada edisi kali ini, yaitu sebuah pertanyaan “bagaimana menggunakan kaidah-kaidah fiqih dalam menyikapi tradisi?”. Banyak kalangan mempertentangkan antara budaya dan agama. Hal ini dikarenakan agama berasal dari Tuhan yang bersifat sakral (ukhrawi) sedangkan budaya hanyalah sebuah kreasi manusia yang bersifat profan (duniawi). Akan tetapi sejak diturunkan, agama tidak dapat dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekspresikannya. Sebagai contoh, pada masa Nabi SAW menyebarkan agama Islam di tanah Arab, masyarakat setempat telah melakukan sebuah tradisi, yakni haji, namun tidak mengandung syari`at Islam. Kemudian Nabi SAW coba menyelaraskannya dengan syari`at Islam, hingga kini ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi setiap muslim.
Ahlus Sunah wal Jama`ah sebagai wadah yang mencoba untuk mencari titik temu antara agama dan tradisi memandang semua itu secara proporsional. Sebagai kreasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tradisi tentu memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kehidupan manusia, baik secara personal maupun sosial. Dalam hal ini berlaku kaidah “al muhafadzah `ala al qadimi al shalih wal akhdzu bil jadidi al ashlah” yakni melestarikan tradisi yang baik dan mengadopsi budaya-budaya baru yang lebih baik. Dengan berpegang pada kaidah ini, Ahlus Sunah wal Jama`ah memiliki dasar dalam menyikapi tradisi. Ahlus Sunah wal Jama`ah memandang sebuah tradisi tidak secara minimalis, tetapi secara maksimalis, artinya memandang apa yang terkandung dalam tradisi tersebut, tidak hanya memandang tradisi tersebut dari luarnya saja. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan Islam, maka haruslah kita terima, bahkan layak untuk dipertahankan dan dihukumi, sesuai dengan kaidah “al adat muhakkamah”. Sikap bijak tersebut memungkinkan Ahlus Sunah wal Jama`ah melakukan dialog kreatif dengan tradisi kebudayaan yang ada, karena dengan proses ini memungkinkan untuk melakukan upaya penyelarasan unsur-unsur budaya yang dianggap tidak sesuai dengan syari`at Islam. Hal ini perlu ditekankan, karena sekalipun ditemui adanya tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan syari`at Islam, namun memungkinkan di dalamnya tersimpan butir-butir kebaikan yang patut dipertahankan. Hal ini sesuai dengan kaidah ma laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu, -jika tidak dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya-. Sikap arif dan bijak tentulah amat penting dalam menyikapi tradisi kebudayaan yang telah melekat dan berkembang di masyarakat.
Agama Islam dan Sejarah Penyebarannya di Indonesia
Islam sebagai agama datang ke Indonesia, khususnya Nusantara melalui berbagai cara, sumber dan tahapan. Islam yang kini menjadi agama mayoritas di Indonesia merupakan bagian dari komunitas dunia Islam, bukan bagian atas kelompok yang berbeda. Akan tetapi sebagaimana dialami oleh agama besar lainnya, Islam sebagai agama mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya di sejak zaman Nabi SAW dan zaman khulafaurrosyidin sampai terbentuknya Negara-negara monarki Islam, tercatat dari yang terbesar seperti Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan Turki Usmani. Islam sebagai ajaran tidak pernah berubah, inti keimanan dan peribadatan formalnya tetaplah sama. Islam secara akomodatif, akulturasi, dan sinkretis masuk ke wilayah Indonesia melalui kontak dagang dengan bangsa Arab, Persia, India dan Cina. Kemudian wali sanga mengembangkannya melalui dakwah kultural, khususnya di tanah Jawa.
Dakwah yang dilakukan para wali dan juga para ulama awal di Indonesia dilakukan dengan pendekatan khas ke-Indonesiaan. Pendekatan yang khas inilah yang kemudian menjadi kunci sukses wali sanga dalam misi dakwahnya. Masyarakat Jawa dan kepulauan Nusantara lainnya telah diubah menjadi mayoritas muslim, yang sebelumnya mayoritas beragama Hindu-Budha. Mereka para wali menyatu dengan rakyat jelata, memahami dan menghormati tradisi, serta mendalami kebudayaan, kemudian mereka arahkan sesuai dengan nilai-nilai Islami. Bahkan salah satu wali sanga, yaitu Sunan Kalijaga, menciptakan wayang kulit untuk mengajak masyarakat melakukan shalat dan menciptakan lagu lir-ilir yang sarat akan muatan dakwah yang tinggi. Hingga saat ini, Sunan Kalijaga terkenal sebagai wali yang sangat efektif menggunakan budaya sebagai sarana pendekatan dakwah.
Intinya para wali sanga dan juga para penyebar ajaran Islam lebih mengutamakan menggunakan metode pendekatan budaya daripada pendekatan idiologis. Dengan pendekatan budaya, maka terhindarlah benturan politik khususnya dengan agama Hindu dan Budha. Disamping itu juga, metode ini ternyata juga cukup ampuh untuk menjadikan ajaran Islam dapat diterima di masyarakat Indonesia dengan tidak menghilangkan tradisi kebudayaan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar