Senin, 11 Mei 2009

MENJAGA KONSEP PENGUATAN TRADISI

Upaya menekankan pendefinisian bid`ah, sunah dan syariat melalui metode ahlus sunah wal jama`ah
*Berdasarkan Hasil Dirasah Usbu`iyah LDNU (Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama) / Dirasah Suniah
Al-Ghadir Pon-Pes Kempek Cirebon

Semenjak gerbang reformasi benar-benar terdobrak oleh puncak letupan kecemasan rakyat Indonesia, Indonesia semakin memasuki era pendewasaan terutama di bidang politik dan ekonomi, kemudian disusul lini kebudayaan, sosial hingga pada sisi privat manusia, yakni bidang keagamaan, yang tak lain adalah identitas paling kuat dan nampak dalam tata sosial penduduk di Nusantara ini. Hal tersebut dikarenakan reformasi telah menghantarkan gelombang tsunami informasi kedalam kehidupan masyarakat, berupa pencerahan, transparansi, serta kebebasan dan pengangkatan jaminan hak asasi manusia.
Namun, tak semua yang tersuguhkan pasca reformasi adalah sebuah proses pendewasaan, akan tetapi justru menimbulkan rongrongan terhadap identitas, corak, dan warna asli masyarakat Indonesia yang berbuntut mengganggu keeksisan NKRI, keberagaman yang harmonis ataupun pemahaman multikultural yang dewasa dan mampu menghantarkan Indonesia ke eskalator peradaban yang semakin baik.
Kehidupan beragama, spiritual, dan kesemangatan tata ruhani adalah siombol utama Indonesia sebagai Negara religi dan beradab. Menanggapi dilematis di atas maka menjadi PR besar bagi Nahdliyin yang tak lain adalah suatu jam`iyyah yang telah terbukti sebagai penyelaras antara konsep sosio-kultural, keagamaan, serta budaya Indonesia semenjak pra proklamasi 1945, terlebih pasca reformasi yang melegalkan arus luar telah menyapa dan mencoba menguji kelayakan bahkan menyenggol keunggulan tata sosial masyarakat Indonesia, baik dari arus timur -Wahabi-, maupun barat -Orientalis- atau representasi keduanya yang justru berembrio dari dalam masyarakat Indonesia sendiri.

Berawal dari Filsafat Manusia
Islam adalah ciri khas yang paling menonjol dalam definisi dan identitas tentang Indonesia. Maka, yang harus kita ukur pertama adalah pemahaman yang terkandung dalam Islam tentang kecenderungan pernikahan budaya dan Islam itu sendiri.
NU (Nahdlatul Ulama) telah benar-benar tanggap jauh-jauh hari terhadap masalah ini, dengan mengadopsi system penghargaan terhadap tradisi sehingga pesan-pesan Islam benar-benar masuk dan diterima oleh masyarakat Indonesia.
Kodrat keberagaman budaya di Indonesia ataupun dunia pada umumnya berawal dari hubungan atau jaringan tujuan proses penciptaan manusia oleh Tuhan, yang jika kita telaah rangkaian kronologi tersebut maka kita akan menemukan bahwa manusia benar-benar diciptakan dengan tujuan pengabdian penuh terhadap tuhan. Hal tersebut berasal dari pemahaman pada kesan yang ditimbulkan terhadap manusia. Seperti contoh, seseorang yang hendak membangun rumah tinggal berusaha membuat dan mengumpulkan bahan dengan bantuan tenaga seekor kerbau misalnya sebagai sarana angkutan -pra teknologi-, tahap demi tahap tenaga kerbau dikuras sampai terwujudnya rumah yang sesuai dengan rancangan arsitekturnya. Akan tetapi, ketika rumah tersebut benar-benar terwujud maka kerbau tadi dipotong, dimasak serta disantap bersama handai taulan sebagai ungkapan syukur atas rampungnya proses-proses di atas, dan ternyata dengan kecenderungan rangkaian kronologi tersebut manusia justru tak pernah mendapatkan label sebagai makhluk yang dzalim karena telah menganiaya hewan yang telah membantu kehidupannya selama ini.
Wacana tersebut memang benar, tanpa masalah, karena dibalik proses tersebut terdapat rangkaian pengabdian dimana segala sesuatu yang berada di bumi memiliki tugas dan pengabdian penuh terhadap manusia -kholaqo lakum maa fil ardli jami`an-, dalam rangka mempersiapkan manusia untuk dapat melaksanakan pengabdian penuh terhadap Tuhan.
Kesimpulan dan ending dari rangkaian di atas merupakan salah satu contoh hasil pemahaman teks-teks Al-Qur`an sebagai pedoman hidup manusia, dimana mengenai Al-Qur`an ini sendiri pun akan semakin menunjukkan proses kecenderungan keberagaman manusia sebagai makhluk Tuhan.

Kecenderungan Keberagaman Melalui Pemahaman Kesemangatan Sejarah Al-Qur`an
Tuhan menurunkan Al-Qur`an sebagai pedoman hidup manusia, akan tetapi secara kodratnya Al-Qur`an merupakan instrument yang masih sangat bersifat global. Kemudian Nabi SAW sebagai penerima mandat Al-Qur`an tersebut memiliki tugas menerangkan -wa anzalna `alaika adzdzikro litubayyina minnasi ma anzalna-, dan mempraktekkan -uswatun hasanah- kandungan-kandungan di dalamnya, untuk menjawab keijmalan Al-Qur`an di atas. Namun secara naluri, Nabi SAW sebagai manusia terikat oleh ketentuan-ketentuan usia, maka tidak dapat menganalogikan Al-Qur`an untuk kelangsungan hidup manusia secara total.
Berkaca pada persoalan tersebut, maka untuk menanggapi keijmalan Al-Qur`an dan pesan-pesan Nabi yang sebagian hanya bersifat ushul, maka para ulama sebagai “warotsat anbiya” menggunakan metode ijtihad yang memiliki objek telaah seputar aqidah, syariah dan akhlak, dan sesuatu yang sangat mempengaruhi proses ijtihad adalah lingkungan, ilmu, serta kepentingan sehingga memungkinkan timbulnya pemahaman dan jalur yang beragam. Inilah medan awal kodrat keberagaman manusia berupa perspektif pemahaman tentang bid`ah, sunah, dan syari`at.

Peran Pendefinisian Bid`ah, Sunah, dan Syari`at dalam Penyampaian Pesan-Pesan Islam
Banyak yang mencoba mendefinisikan tentang ketiga komponen faktor keberagaman tersebut. Dalam salah satu ruang -kaum Wahabi- misalnya, mendefinisikan bid`ah sebagai segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, dan sangat bertabrakan dengan konsep sunah. Mereka memaknai bid`ah secara global tanpa mempertimbangkan bahwa kesempitan pendefinisian tersebut justru akan mempersulit proses penyampaian pesan-pesan Islam ketika objek atau sasarannya telah memiliki kebudayaan dan tradisi yang jelas-jelas tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Maka selain pesan-pesan tersebut mengalami kesulitan penerapan juga akan mengganggu dan meresahkan tata budaya lokal yang tidak secara keseluruhan bertentangan dengan Islam.

Pendefinisian tentang bid`ah, sunah dan syari`at dalam perspektif ahlus sunah wal jama`ah sangat bergeser dan berbeda dari gambaran konsep bid`ah di atas. Aswaja (baca: Ahlus Sunah wal Jama`ah) khususnya Imam Syafi`i mengelompokkan bid`ah dalam dua jenis, yakni bid`ah hasanah (sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi akan tetapi tidak bertabrakan dengan syari`at dan sangat dibutuhkan dalam konteks kondisional), dan yang kedua adalah bid`ah dlolalah (jelas-jelas bertabrakan dengan syari`at). Bahkan ulama-ulama lain mengkategorikan bid`ah kedalam beberap kelompok wajibah, mandubah, mubahah, makruhah, dan muharromah. Sehingga pendefinisian dengan metode tersebut justru tidak akan memiliki kerancuan dengan permasalah kondisional dan tidak bertabrakan dengan sunah (thoriqotur rasul) dan mampu memudahkan pesan-pesan Islam terhadap budaya lokal seperti dalam masyarakat Indonesia.

NU, Ahlus Sunah wal Jama`ah, dan Tradisi
Dengan memanfaatkan metode Ahlus Sunah wal Jama`ah, NU telah mampu menyampaikan pesan-pesan Islam dan mampu menciptakan tradisi –tsaqofah- yang sangat menghormati arus lokal. NU mampu menikahkan Islam, dalam hal ini syari`at dengan tradisi lokal, sehingga timbullah tradisi sosio-religi seperti tahlil, memitu, marhabanan, dan lain-lain yang sangat sesuai dengan kehendak naluriah masyarakat Indonesia.
Jika mengambil beberapa contoh hasil akulturasi di atas, sebut saja tahlil dan memitu, maka dapat dipahami bahwa tahlil atau memitu itu sendiri bukan merupakan syari`at, akan tetapi memiliki isi berupa pesan-pesan syari`at. Atau jika dianalogikan dengan tren sekarang, secara minimalis, tradisi (tahlil, memitu) tidak berkaitan dengan syari`at, namun secara maksimalis sangat berkaitan dengan syari`at.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar