Selasa, 12 Mei 2009

BERMADZHAB

Bermadzhab artinya adalah mengikuti salah satu madzhab. “Madzhab” itu sendiri artinya aliran/jalan. Bagi orang NU, dasar beragama adalah Al-Qurán dan hadits, akan tetapi tidak sembarangan orang dapat merujuk langsung pada kedua sumber tersebut. Oleh karena itu perlu seseorang atau beberapa orang yang menjadi rujukan dan panutan dalam menggali hukum Islam. Para alim ulama NU bersepakat, imam yang layak untuk dijadikan sebagai panutan hanya empat mujtahid. Hal ini berdasar pada pengakuan para ulama se dunia tentang kealiman dan kemampuan empat orang tersebut.
Keempat Imam Madzhab tadi yaitu : (1) Hanafi, yaitu madzhabnya Imam Abu Hanifah yang lahir di Kuffah, Irak, pada 80 Hijriyah dan meniggal tahun 150 hijriyah; (2) Maliki, yaitu madzhabnya Imam Malik bin Anas yang lahir di Madinah pada 90 Hijriyah dan meniggal pada tahun 179 Hijriyah: (3) Syafií,yaitu madzhabnya Imam Syafií yang lahir di Ghazzah pada tahun 150 Hijriyah dan meninggal pada 204 Hijriyah; (4) Hanbali yaitu madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal yang lahir di Marwaz pada 164 Hijriyah dan meniggal pada 241 Hijriyah.
Jika orang NU menetapkan harus bermadzhab, itu bukan berarti menutup diri untuk berijtihad. Bagi yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad, maka ijtihad adalah merupakan keharusan dan terlarang baginya untuk bertaqlid. Tapi NU pun mengukur diri dan menyadari sepenuhnya bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tidaklah mudah. Jangankan mujtahid mutlaq yang kajian dan pembahasannya menyeluruh menyentuh segala permasalahan hukum, bahkan dalam permaslahan yang sifatnya khusus dan particular pun seorang perlu mengetahui seluruh dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, dan melakukan proses istinbath (penggalian hukum) yang tidak sederhana. Asumsi semacam itu bagi orang NU berangkat dari kehati-hatian mereka dalam mengambil keputusan hukum-hukum agama. Mereka tak mau sembarangan dengan hanya mengunggulkan logika dan pertimbangan akal semata, akan tetapi disamping harus sesuai ketentuan Al-Qurán dan hadits, perlu mempertimbangkan pendapat-pendapat ulama terdahulu dalam masalah yang sama atau serupa.
Dalam diskusi Majlis al-Ghadier Pondok MTM Kempek yang dilakukan setiap jum’at sore kali ini mengemuka pertanyaan-pertanyaan miring seputar sikap bermadzhab. Diantara yang terpenting adalah: apa artinya berpedoman pada madzhab padahal sudah punya Al-Qurán dan Al-Hadits sebagai sumber pegangan hukum yang sempurna?
Dalam menjawab pertanyaan ini, perlu ditegaskan bahwa bermadzhab bukanlah berarti meninggalkan Al-Qurán dan Al-Hadits seperti yang sering dipersepsikan oleh meraka yang anti madzhab, akan tetapi bemadzhab justru merupakan metode dan jalan yang harus ditempuh agar kita dapat mendapatkan hukum yang benar-benar valid dan mencerminkan apa yang dikehendaki oleh al Qur’an dan al Hadits.
Sudah merupakan hal yang tidak layak tuk diperdebatkan lagi, bahwa Islam merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia agar bisa hidup dengan tentram, selamat, baik dan benar di dunia. Secara praktis, Islam diturunkan kepada Rasul melalui kitab suci Al-Qur’an. Oleh karena itu, bagi kita Al-qur’an merupakan sumber hukum islam yang utama. Dalam surat Al-Isra ayat : 82 Dijelaskan “ Wa nunazzilu minalqurán ma huwa syifa ún warahmatun Lil mu’minin” Dan kami turunkan Al-Qurán sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman,” Namun perlu digaris bawahi bahwa kenyataannya hampir sebagian besar ayat-ayat dalam Al-Qurán itu bersifat mujmal (masih umum atau global). Untuk dapat memahaminya dengan benar dan akurat, kita tidak bisa hanya mengandalkan ayat-ayat al-Qur’an belaka, akan tetapi perlu adanya mufashil atau mubayyin (yang menerangkan Al-Qurán) yaitu Nabi Muhammad yang memiliki kriteria kerasulan yang dihiasi oleh eloknya keteladanan. Hal ini sesuai dengan ayat “ Wa anzalnaa ilaika adz-Dzikra litubayina ma nuzzila ilaihim wala ‘allakum yatafakkarun.” Dan kami turunkan padamu ( Muhamad ) al-qurán agar kamu menerangkan pada umat manusia tentang apa yang telah diturunkan pada mereka dan supaya mereka memikirkan ( An-Nahl : 44 )
Fungsi Nabi Muhamad sebagai Mubayyin direalisasikan dalam sikap dan perbuatan dan perkataannya. Contoh penjelasan dengan perkatan ialah saat turun ayat al-Quran yang memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat kepada nabi, mereka bertanya tentang bagaimana cara bershlawat padanya. Nabi menjawab: “Ucapkanlah Allahuma Sholi ála muhammad”. Adapun contoh tabyin dengan perbuatan ialah dalam tata cara melakukan shalat. Nabi bersabda:“Sholluu kamaa raaytumuuni usholli”.Shaltalah kalian seperti shalatku yang kalian lihat. Seperti yang telah kita maklumi bahwa tata cara sholat tidak pernah dijelaskan oleh al-Qur’an. Pengetahuan tentang bagaimana melakukan sholat diambil dari menteladani Nabi dalam melakukan sholat.
Namun tugas menjelaskan al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi terhenti dengan sebab kewafatan beliau. Sedangkan banyak realita masalah yang tidak ditemukan hukumnya dalam al-qurán dan al-hadits, maka cara pengambilan hukum adalah melalui ijtihad. Diriwayatkan bahwa Muadz bin Jabal ditanya tentang bagaimana ia menghukumi, Muadz menjawab:“Dengan al-qurán”. Muadz kembali ditanya:“kalau didalam al-qurán tak ditemukan lantas bagaimana?, “Dengan al-hadits,” jawabnya. Muadz kembali ditanya: “seandainya didalam hadits tidak ditemukan lalu bagaimana?” Muadz menjawab “saya akan berijtihad”. Perkataan Muadz bahwa dirinya akan berijtihad ini dibenarkan oleh Rasulallah dan ini merupakan manbaul ijtihad ( pintu sumber ijtihad ) yang nantinya akan melahirkan nalaritas intelektual yang terlahir dari pemikiran suci dalam rangka memahami al-Qurán yang benar.
Mungkin dalam item disini mengarah akan kepentingan yang tersirat dari tamadzhub padahal sudah adanya dalil yang kuat ( al-qurán dan al-hadits ). Secara implisit madzhab mengandung arti sebuah teori atau metode, sebuah jalan dengan tema istinbatul ahkam yang mengerucut pada ijtihad. Oleh para mujtahidin ( orang-orang yang berijtihad ) seluruh hukum / dalil dari al-qurán dan hadits diramu dan disajikan bagi kalangan awam agar dipahami dengan baik. Jadi sederhanya seseorang bermadzhab berarti ia telah melangkahkan bentuk usahanya dalam rangka menerima pemahaman dai al-qurán dan al-hadits agar tak ada satu ayat atau satu hadits yang tercecer secara parsial sehingga tidak adanya sebuah penyelaian ( solusi ) dari dalil yang tercecer tadi dan agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang berujung pada kebimbangan dalam menerima hukum Allah SWT.
Dalam ruang lingkup etimologi, madzhab diartikan sebagai kata yang berbentuk isim makan dari fiil madli dzahaba yang berarti tempat berjalan. ”kalau ada orang yang ingin sampai pada tempat tujuan, maka berjalanlah melaui tempat yang benar”, itu logikanya. Sama halnya dalam memahami al-qurán dan hadist dengan benar, maka kita hendaknya mengikuti jalan yang yang benar pula.
Sebuah contoh dalil dari al-qurán tentang sesuatu yang membatalkan wudlu yaitu “Aw lamastum An-Nisa “ ( QS. An-Nisa : 43 ) kita tidak dapat fahami apa arti lafadz tadi dengan tanpa bermadzhab. Dalam Madzhab Syafií, sesuatu yang membatalkan wudlu ini diartikan oleh kalangan madzhab selain Syafii dengan menjima’ perempuan.
Dan dengan berpegangan pada madzhab artinya amal kita dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah oleh para mujtahidin sebagai Shohibul madzhab, tentunya seiring dengan mengamalkan al-qurán dan al-hadits dengan benar dengan sedikit melebar pada bermadzhab, juga merupakan pengembangan akal dan pikiran untuk memahami dan menerima serta menjalani al-qurán dan al-hadits.
Dalilnya adalah QS An-Nahl : 43 yaitu “Fa saluu ahla dzikri inkumtum la ta’lamun”. Tanyalah pada orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui sekalipun pada sebagian tafsir diartikan dengan orang ahli kitab namun Imam Syatibi dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa dalam pengamalan sebuah íbrah ( pelajaran ) dari al-qurán itu dengan menggunakan kaidah “La bi khususi sabab bal biúmumil lafdzi “ tidak dengan kekhususan sebab melainkan dengan keumuman lafadz sebagian dalil al-hadits yaitu “Ikhtilafu ummati rahmatan”, perbedaan pendapat adalah rahmat.
Dalam kitab Tanwirul qulub, dipaparkan bahwa orang yang berkata “sesungguhnya saya beramal dengan tanpa madzhab yakni dengan al-qurán dan al-hadits saja”, maka orang tadi adalah Dlalalun mudlilun. Sedangkan imam Sya’roni berkata dalam kitab mizan Qubra: Adalah wajib hukumnya bermadzhab, karena adanya sebuah taálluq nanti di akherat, dalam arti akan didatangkan apa madzhabnya lalu digolongkan dalam madzhab itu.
Wajibkah umat islam bermadzhab dengan salah satu dari madzhibul arbaáh yaitu : Maliki, Syafií,Hanafi,dan Hambali? Dari surat An-Nahl ayat 43 diatas tersirat ma’na dari lafadz “Fas aluu Ahla dzikri“ , bertanyalah pada orang yang berpengetahuan. Kata Is Aluu sebagai sesuatu bentuk fiil amar yang mewajibkan pada setiap mukhatab ( orang yang diajak bicara ), siapa saja, untuk menggali dan memahami setiap sesuatu perkara yang majhul ( tidak dimengerti ). Kewajiban disini sesuai dengan kaidah al-ashlu fil amri lil wujub, asal dalam sebuah perintah adalah wajib ditambah lagi dengan perkara yang yang tercakup dalam hal ini, yaitu mengenai pemahaman al-Qurán dan al-Hadits, maka jelas hukumnya wajib.
Dalam kitab Ahkamul fuqaha dikemukakan bahwa wajib bermadzhab dengan salah satu madzhab yang ada empat. Hal ini dimaksudkan agar tidak tergelincir dalam pemahaman yang salah yang disebabkan oleh keangkuhan hati yang egois dalam menerima suatu perkara yang haq ( kebenaran ) dan agar tidak terjadi pengamalan suatu hukum dengan mengambil yang enak-enaknya saja. Bahwa Imam Ali Al-Khawas, seorang yang ahli agama dan pemutus hukum, berfatwa: Wajib hukumnya bermadzhab dengan salah satu madzhab empat agar tidak terjadi salah pemahaman dan karena ke empat madzhab itu telah tersebar luas keseluruh dunia baik khusus atau mutlaknya hukum yang dimuatnya.
Adapun dalam kitab Tanwirul Qulub diargumentasikan bahwa orang yang sebanding dengan 4 orang sahabat madzhab ( Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafií, dan Imam Ibnu Hambal ) adalah muhal adanya, karena didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Majjah, Bukhori dan Muslim. “Khoirukum qarni tsummalladzina yaluunahum tsummaldzina yaluunahum“. Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku kemudian orang yang mengikutinya dan kemudian kemudian orang yang mengikutinya.
Ketika suatu Madzhab pengikutnya habis dan tak dibukukan lagi, maka madzhab itupun akan sirna dan pupus dengan sendirinya. Berbeda dengan empat madzhab yang kesemuanya masih eksis di jagat raya ini dengan legitimasi dan pengikutnya yang tersebar diseluruh penjuru dunia sampai saat ini.
Maka, ”faidza waqaá al-ikhtilaf fa álaika bissawadzil a’dzam maál haqqi wa ahlihi”. Maka ketika terjadi perbedaan, ikutilah pada golongan mayoritas beserta dengan kebenaran dan ahlinya ( H.R. Ibnu Majjah ). Sedangkan redaksi dari riwayat Anas bin Malik dalam kitab Shahih Bukhori, Nomor: 2457 dengan menggunakan “Ittabiú As-Sawaadal A’dzam“, ikutilah pada golongan yang terbanyak ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada karena wafatnya para imamnya, kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab tersebut berarti keluar dari mayoritas ( Sullam al-ushul Syarh Nihayati al-Suul Juz 4 ). Mengikuti madzhab Imam lain adalah sulit bagi ulama masa kini, apalagi bagi kalangan awam. Hendaknya kita tidak mencari-cari dispensasi dengan mengambil dari masing-masing madzhab pendapat yang paling ringan, dan tidak boleh menggabungkan antara dua pendapat yang akan menimbulkan suatu kenyataan yang tidak pernah dinyatakan siapa pun dari kalangan ulama ( Bughoyat al-murtasyidzin )”. Sebagai dasar hukum, al-Qurán menjelaskan dalam surat An- Nisa: 59:“Ya ayyuhalladzina amanu athi úllaha wa athi úrrosuula wa ulil amri minkum”, Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil amri diantara kamu sekalian. Kata ulil amri ditafsiri oleh sebagian ulama mufassir sebagai orang yang mempunyai ilmu luas yang bisa memutus hukum perkara diantara kita selaku orang awam. Sehingga ayat tadi layak dijadikan dalil atas wajibnya seseorang bermadzhab, lantas diarahkan pada Madzahibul arbaáh.
Melirik pada statetment diatas, bermadzhab dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kriteria dari seorang Mujtahid itu dimulai dari benar dan baik dalam membaca al-qurán dan al-hadits, mengerti makna dan dapat mengartikannya, tafriul masail (memblok-blokkan masalah), tasbiqul dalail (penetapan dalil), ma’rifatu kaifiyatul istinbath (mengetahui cara mengambil hukum), dan istinbath (mengeluarkan/ menetapkan hukum). Ijtihad, pada tingkatan istinbath ternyata mastanbathnya ( jalan melahirkan hukum ) itu tidak keluar pada Aimmatul madzaahibul al-arbaáh (4 Imam madzhab), contoh Imam Ghozali yang merupakan seorang mujtahid, namun oleh karena jalan / teori melahirkan hukumnya itu mengikuti Imam Syafi’í maka beliau juga bermadzhab Syafií. Inilah yang kemudian dikenal dengan mujtahid madzhab.

Berbincang-bincang mengenai modernisasi dalam beragama (islam), kita tak akan pernah lepas dari khazanah mutiara-mutiara ilmu pengetahuan yang telah diwariskan oleh Aslafuna As-Shalih. Khazanah itu sering kita kenal dengan paham Ahlusunnah wal jamaáh ( Aswaja ). Isme ini mula-mula disusun oleh Imam Hasan Al-Bashri sebagai generasi satu kurun pasca Rasulullah, ditengah-tengah krisis berkepanjangan yang menimpa umat islam dalam memasuki abad ke-3 Hijriyah, guna tersebar luasnya khazanah nalaritas pengetahuan islam yang bersumber pada Al-Qurán dan Al-Hadits. Ijtihad muncul sebagai oase dari kekeringan dan kehausan insting yang cemerlang dalam memahamai Maqasidus Syariyah dari supremasi hukum tadi. Tinjauan secara eksperimen yang sangat detail dan sikap ihtiyath yang ekstra dari hál kecil sampai hal besar dan pengesahan serta pengolahan talenta yang optimal demi mendapatkan al-murad al-haq oleh para Mujtahidin adalah bahan pertimbangan yang kongkret yang sulit terbantahkan untuk bisa diterimanya ijtihad mereka ditengah-tengah masyarakat yang membutuhkan. Akankah hal ini ( Ijtihad ) bisa diterima oleh kaffah an-Nas ?















.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar