DAPUR REDAKSI
para pembawanya dan waktu kedatangannya. Namun ada satu kepastian yang disepakati, bahwa Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam yang datang dengan cara damai.
Faham keagamaan yang dianut oleh para penyebar Islam pertama di Indonesia adalah faham Sunni yang menonjolkan aspek-aspek sufistik. Kini mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i, salah satu mazhab dari mazhab empat dalam faham keagamaan Sunni.
Dalam paham Sunni, konstruksi pemikiran dan sekaligus praktek keagamaan yang didasarkan pada sunnah Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab terus berkembang dan berjalan. Banyak tradisi keagamaan yang telah turun temurun menjadi bagian dari kehidupan ummat Islam sampai saat ini. Kemapanan tradisi keagamaan di sekitar kita ditunjang oleh para kiai, ajengan, tengku, tuan guru atau tokoh agama lainnya yang dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan sepiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi.
PROLOG
Sebelum Nahdhatul Ulama dilahirkan, telah terjadi dialog sangat panjang antara budaya lokal versus nilai Islam di tengah-tengah umat Islam Nusantara hingga terwujud menjadi tradisi baru yang membumi. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola pikir (ittihad al-ma’khad wal-mazhab) dan referensi tradisi sosial keagamaan (ittihad al-ma’khad wal-masyrab)
Nahdhatul Ulama merupakan aktualisasi dari progresifitas arus besar ummat Islam di Indenesia. Dasar pembentukan prilaku moral bercirikan sikap tawassuth, tawazun, tasamuh dan i’tidal yang merupakan implementasi dalam keyakinan mereka yang kuat berpegang pada prinsip-prinsip keagamaan (qaidah al-fiqhiyyah) yang dirumuskan oleh ulama pendahulu.
Diantara prinsip-prinsip keagamaan tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakamah artinya: sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan. Juga prinsip al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah artinya: upaya pelestarian nilai-nilai baik dimasa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Selanjutnya kaidah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman artinya: sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya.
Kaidah lainnya adalah ma la yaimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib artinya: jika sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain, maka unsur yang lain itu menjadi wajib. Prinsip selanjutnya adalah, idza ta’aradla mafsadatani ru’iya a’dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima artinya: jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang paling terbesar dengan cara melaksanakan yang paling kecil. resikonya. Kaidah lain yang juga menjadi pijakan adalah, dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih, artinya: mencegah mara bahaya lebih diutamakan daripada meraih kebaikan. (disarikan dari buku Islam Ahlussunah Waljama’ah, Pustaka Ma’arif NU)
TAWASSUL DALAM ISLAM
Definisi unsur-unsur dan klasifikasi tawassul menjadi pembahasan dalam Dirasah Mingguan al-ghadier Pondok Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadiien Kempek Cirebon. Diambilnya tajuk tawassul ini karena merespon akan sesuatu yang terjadi dimasyarakat aswaja pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Otomatis kaum Nahdliyin ingin selalu rukun dan damai dalam kehidupannya dalam kehidupannya yang berdampingan dengan berbagai macam agama dan aliran. Sehingga hal-hal yang mempunyai indikasi kemaslahatan atau perpecahan selalu diperhatikan dan disikapi dengan penuh kearifan dan bijak. Dan tawassul itu termasuk didalamnya.
Tema tawassul itu sendiri masih memiliki korelasi dengan pokok pembahasan yang sebelumnya yaitu tahlil. Definisi tawassul yang dapat dambil dari bentuk implementasinya dimasyarakat ialah menjadikan sesuatu sebagai sebuah media (penghantar/perantara) agar apa yang dimintakan itu sampai, diterima dan dikabulkan oleh Allah SWT.
Disini kita akan mengenal akan unsur-unsur dalam tawassul yang ada tiga; Pertama, Mutawassil yaitu orang yang bertawassul atau melakukan tawassul. Kedua, Mutawassul Ilaih, yaitu Allah sebagai puncak tujuan dari tawassul yang akan meluluskan segala macam permintaan. Ketiga, Mutawassul Bih, yaitu sesuatu yang dijadikan sebagai media atau perantara.
Dalam Islam supermasi hukum yang memutuskan dan mengvonisnya sebagai hal yang boleh atau tidak tentunya al-Qur’an dan Hadist. Dalam al-Qur’an kita bisa menukil sebuah hukum dengan memetik ayatnya dan menyebut suratnya. Akan tetapi tidak semudah itu karena al-Qur’an sebagai kalam Allah itu ditafsiri oleh banyak orang mufassir yang sampai sekarang itu belum selesai-selesai. Hal ini akan menimbulkan perspetif yang berbeda-beda sesuai dengan point of view (cara sudut pandang) dari masing-masing mufassir. Maka hukumnya pun dilihat dari kacamata ini akan berbeda-beda. Dan dari kacamata ushul fiqh tentunya akan lain lagi jawabannya.
Sedangkan dalam hadist kita harus memperhatikan beberapa hal-hal khusus dalam penyitiran sebuah hadist yaitu: Pertama, kita harus mengetahui pada sanad-sanad hadist dan orang yang meriwayatkanya. Kedua, kalau tidak bisa maka kita harus mengetahui dari kitab hadist manakah suatu hadist didapat, seperti kitab Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Tirmidzi, Ibnu majah dan lain-lain. Ketiga, kalau yang pertama dan kedua tidak ditemukan maka hadist itu boleh kita pakai atau kita gunakan asalkan diambil dari kitab-kitab yang mu’tabaroh oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, seperti perkataan seseorang “hadist ini diambil dari kitab Ihya ‘ulumuddin atau ‘I’anatut tholibin” maka hal itu boleh. Sekalipun keduanya bukan kitab hadist (tentang hadist) tapi keduanya merupakan kitab yang mu’tabar (dipakai pegangan) oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Klasifikasi Tawassul
Dilihat dari segi media (perantara) nya tawassul digolongkan menjadi beberapa macam, Pertama, Tawassul bil Amal. Tawassul bil Amal langsung bisa dijawab kebolehannya dengan bukti adanya hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yaitu pengarang kitab shoheh Bukhori, sebuah kitab hadist tershoheh setelah al-qur’an, yakni dijelaskan bahwa ada tiga laki-laki terjebak dalam gua yang pintunya itu tertutup oleh batu besar lalu ketiganya bersepakat meminta kepada Allah dengan tawassul dengan amal mereka. Wal hasil mulut gua terbuka dan merekapaun bisa selamat dan keluar dari dalam gua.
Kedua, Tawassul bil Ahya. Yaitu bertawassul dengan perantara orang yang masih hidup. Diriwayatkan oleh Annas bin Malik, Ia berkata “Pada masa Rasulullah pernah terjadi tahun paceklik. Suatu saat ketika Rasulullah sedang berkhutbah jum’at,ada orang arab pedalaman berdiri lantas berkata pada Beliau:wahai rasulullah harta kami telah hancur ,keluarga kami semua kelaparan .maka mintalah pada allahkebaikan untuk kami.Seketika Nabi langsung menengadahkan kedua tangan nyayang pada saat itukami lihat tak ada mega(awan) sama sekali.Akan tetapi demi dzat yang jiwaku ada pada genggamannya Nabi mengangkat tangannya sehingga mega itu menjadi banyak sperti gunung-gunung.Dansebelum nabi turun dari mimbarnyabeliau kehujanan begitu juga kami pada hari itu, Al –Hadits.(hadits AbiJamroh :71).
Ketiga, Tawassul bil Amwat yaitu bertawassul dangan perantaraan orang yang sudah mati. Disini timbul sebuah pertanyaan : Apakah orang yang sudah mati bisa memberikan kemanfaatan pada orang yang masih hidup?
Menurut sebagaian golongan yang kontra tawassul, Tawassul bil Amwat dihukumi syirik, dengan dalil firman Allah SWT: Iyya kana’ Budu Wa Iyya Ka Nas Taiin. Mereka berargumen, kenapa tidak langsung saja minta kepada Allah? Bukankah Allah telah berfirman: “Berdoalah Kepadaku maka Aku akan mengabulkannya”. Dalam pandangan ini mereka juga berpendapat bahwa orang yang berwassilah dengan mayit, mereka anggap sama dengan orang kafir yang menyembah berhala. Dengan argument firman Allah dalam Surat Az-Zumar ayat 3: Wallazinat Takhozuu Min Dunihii Auliya’a Ma Na’buduhum Illa Liyuqorribuna Illallahi Zulfa. Dari dalil ini mereka beranggapan bahwa tawassul yang dilakukan oleh ahlussunah itu sama saja dengan ta’abud yang dilegalkan oleh kuffar. Akan tetapi alasan kuffar yang Liyuqorribuna dipatahkan oleh Allah dengan ayat sebelumnya, yaitu Ittakhozu Min Dunihi Awliya’. Dengan adanya ayat ini maka dalil yang dikemukakan oleh mereka tidak bisa dijadikan sebagai dalil haramnya tawassul, karena tawassul bukanlah ta’abud.
Selain hal tersebut, ayat diatas (Liyuqorribuna ) tidak bisa dikiyaskan dengan tawassul, karena bagi orang kuffar ayat ini hanyalah kamuflase, sebab bagi mereka ashnam (berhala) adalah ma yas tahiqquna bi ibadah. Sedangkan bagi ahlussunah ma yas tahiqquna bi ibadah hanya Allah SWT. Bagi Ahlussunah Mutawasil Bih hanyalah sebagai media, terbukti tawassul juga perah atau sering dilakukan oleh ulama salaf seperti Imam Syafi’i dalam kitabnya ia bertawasul dengan Imam Abu Hanifah.
Dengan dalil mafhumi, tawassul juga bisa dilegalkan seperti halnya yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa Allah memberikan mu’jizat kepada Nabi-Nabi dengan bentuk semisal tongkat untuk Nabi Musa. Juga perstiwa Tholut ketika akan menyerang Jalut, Allah memberikan wasillah berupa kotak kayu peninggalan Nabi Musa.
Dalil Naqly tentang tawassul bil amwat adalah hadist Nabi yang berbunyi: “Idza Takhoyartum fil ummuri fastaiinu min ahli qubur” Dalil ini cukup kuat untuk menjadi hujjah akan Jawaznya tawassul bil amwat . Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul bil amwat itu boleh asal tidak melepas aqidah, artinya tetap berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang menjadikan adalah Allah semata.
Sebenar nya antara orang yang masih hidup dan yang telah mati itu sama saja. Sama-sama memberi manfaat bagi yang hidup. Kalau orang yang masih hidup bisa memberi manfaat bagi manusia hidup lainnya dengan kekuasaan Allah, maka orang yang sudah mati pun bisa memberi kemanfaatan pada orang lain yang hidup karena memang yang menjadi Mutawssal Ilah -nya adalah Allah. Artinya bertawassul dengan yang masih hidup mutawssal Ilaaih-nya adalah Allah dan bertawassul dengan yang mati pun Mutawssal Ilaih-nya adalah Allah juga. Kalau kekuasaan Allah hanya bagi orang yang masih hidup maka kekuasan Allah itu pincang, karena tidak berkuasa pada orang yang sudah mati. Akan tatapi itu adalah mustahil adanya bagi Allah SWT yang maha kuasa atas segalanya.
Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Shirath al-Mustaqim: Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadist sahih menegaskan: Telah diperintahkan kepada orang-orang yang memiliki hajat di masa khalifah Ustman untuk bertawassul kepada Nabi setelah beliau wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Rasul, dan hajat merekapun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath-Thabarany (lihat, Kitab Al-Kawakib al-Durriyah, Juz II, hal.6)
Dalam al-Qur’an disebutkan: Walaa tahsabannal ladziena qutilu fi sabilillah amwat bal ahya ‘inda robbihim yurzaquun. Janganlah kamu menyangka orang orang yang mati di jalan Allah mati akan tetapi mereka hidup di sisi Tuhan nya dan di beri rizqi. Nah hal ini mengindikasikan bahwa orang yang sudah mati itu ada yang sebenarnya masih hidup (di sisi Allah SWT). Dimana orang yang hidup itu bisa memberikan manfaat bagi manusia yang hidup maka merekapun bisa bermanfaat bagi yang hidup lainnya.
Keempat, Tawassul bil Jamadat. Yakni bertawassul dengan perantara benda mati. Di riwayat kan dari Abdullah Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah berjalan melewati pekuburan lantas beliau menyuruh Abdullah berhenti karena di kuburan tersebut mayitnya sedang disiksa karena namimah dan ada yang karena tidak tuntas kencing. Kemudian Nabi mangambil pelapah korma lalu meletakannya diatas dua kuburan tersebut. Disebutkan juga bahwa Ummu Salamah menyimpan baju (sorban) Nabi Muhammad SAW yang biasa digunakan untuk penyembuhan (HR. Muslim)
Perlu dipahami bahwa semua macam-macam tawassul ini adalah sebuah amal kasabiyah. Sedangkan yang paling pokok dari itu semua adalah Allah SWT. Janganlah menyakini bahwa yang memberi rizqi, memberi kemudahan, lancarnya usaha itu disebabkan oleh hakikat dari tawassul, karena hakikat dari yang memberikan semuanya adalah Allah SWT yang maha kuasa atas segalanya.
Kemudian dari sahabat Anas, ia mengatakan: Pada zaman Umar bin Khatab pernah terjadi musim paceklik. Ketika melakukan sholat Istisqa Umar bertawassul kepada paman Rasullullah, Abbas bin Abdul Muthalib: “Ya Tuhan, dulu kami mohon kepada-Mu dengan wasilah Nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujan kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman nabi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka” (HR. al-Bukhari)
Dalil yang lainnya dijelaskan dalam kitab empat puluh masalah agama. Yang berbunyi: sesungguhnya tawassul dan minta syafa’at kepada nabi atau dengan keagungan dan keberkahannya, termasuk di antara sunnah (amal kebiasaan) para Rasul dan orang-orang Salaf Shalihin. (kitab 40 masalah agama. Jilid I hlm. 137).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar