Selasa, 06 Juli 2010

‘AHDUR-RISALAH DAN ‘AHDUL-FITRAH

Tafsir al-Baqarah ayat 40 Part 4

.......... وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ ...... ( البقرة : 40)

 “.dan penuhilah janji kamu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kamu.” ( al-Baqarah : 40)


Agrumentasi religius berikutnya –untuk lebih mengukuhkan ide (ajakan) kepada kaum Yahudi supaya tidak menolak dan menentang kerasulan Muhammad saw- adalah perintah memenuhi perjanjian (‘ahdun) yang mereka ikat dengan Allah, seraya menawarkan reward (penghargaan) yaitu apabila mereka memenuhi janji mereka kepada Allah,  maka Allah-pun akan memenuhi janji-Nya berupa ‘at-tamkin fil-ardli fid-dunya was-sa’adah fil-akhirah’ (kemapanan kehidupan mereka di muka bumi di alam dunia dan kebahagiaan kehidupan mereka di alam akhirat).
Setidaknya ada dua hal yang patut dikaji pada penggalan ayat diatas. Pertama; Untuk menunjuk arti ‘janji’ Allah swt menggunakan kata ‘ahdun, meski kata lain yang memiliki arti sama cukup banyak semisal wa’dun, mitsaqun, ‘aqdun dan sebagainya. Kedua; Pada ayat tersebut,  Allah swt tidak menyatakan secara jelas perjanjian apa yang harus mereka penuhi, hanya menyebut ‘ahdii (janji kamu kepada-Ku).

Perihal pertama, dipilihnya kata ‘ahdun bukan kata lainnya,  dinilai merupakan salah satu I’jaz ‘ilmiy (bentuk kemukjizatan al-Quran dipandang dari sisi keilmuan). Mengapa dinilai demikian? Karena kata ‘ahdun adalah kata yang digunakan sendiri oleh kaum Yahudi dalam kitab Taurat, yang tidak dikenal kecuali oleh Pemuka-Pemuka agama mereka yang relatif sangat tertutup. Maka penggunaan kata itu dalam ayat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw yang nota bene-nya seorang ummi (tidak pandai membaca dan menulis) jelas-jelas merupakan bukti bahwa apa yang disampaikan beliau adalah benar-benar wahyu Allah yang Maha Mengetahui segala yang gaib ‘allamul ghuyub’. Kalau saja dalam hati mereka tidak ada rasa iri dan cemburu,  dengan hanya satu kata itu,  tentu mereka menjadi niscaya untuk  mengakui kerasulan Muhammad saw.   

Perihal kedua, karena tidak ada pernyataan secara jelas mengenai perjanjian apa yang harus mereka penuhi, maka penafsiran ulama juga menjadi berbeda. Jumhurul mufassirin menyatakan bahwa ‘ahdun (perjanjian) yang dimaksud adalah ‘ahdur-risalah (perjanjian untuk beriman kepada kerasulan Muhammad saw) melalui para Nabi mereka. Malah mereka bukan sekedar berjanji untuk beriman,tetapi mereka berjanji pula untuk memberikan pertolongan. Penafsiran ini didasarkan pada penjelasan Allah pada ayat-ayat lain semisal ayat ke 81 surah Ali-‘Imran :

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ
Ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi, ‘Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dn hikmah, kemudian datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu,niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya
Penafsiran inipun selaras dengan Hadis riwayat Ibnu ‘Abbas ra :

ان الله كان عهد الى بني اسرائيل في التوراة اني باعث من بني اسماعيل نبيا اميا ، فمن تبعه وصدق بالنور الذي يأتي به غفرت له ذنبه وادخلته الجنة وجعلت له اجرين
“Sesungguhnya Allah telah mengikat perjanjian kepada Bani Israil dalam Taurat : Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi yang ummi dari Bani Ismail. Barangsiapa mengikutinya dan membenarkan an-nur (al-Quran) yang dibawanya, Aku ampuni dosanya dan Aku masukkan ke surga dan Aku beri dia dua pahala”

Ba’dlul mufassirin menyatakan bahwa ‘ahdun (perjanjian) yang dimaksud adalah ‘ahdul-fitrah (perjanjian primordial) yaitu perjanjian semua umat  manusia dengan Allah swt, pada dahulu kala ketika mereka belum diciptakan dan masih berada di alam arwah untuk rela mempertuhankan dan mentaati segala perintah-Nya dalam situasi dan kondisi apa saja. Perjanjian ini secara metaforik dilukiskan pada ayat ke 172 surah al-A’raf : 

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
 “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan dari putra-putra Adam dari punggung mereka keturunan mereka dan Dia mempersaksikan mereka atas diri mereka, Bukankah Aku Tuhan kamu ? Mereka menjawab : Betul, kami telah menyaksikan (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini”

Meskipun perjanjian primordial ini bersifat umum, yaitu menerima ketuhanan (rububiyah) Allah swt dan menerima untuk mentaati segala perintah-Nya, sedang tema kelompok ayat diatas bersifat khusus yaitu ajakan untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw, namun penafsiran ‘ahdun dengan ‘ahdul-fitrah tetap sah-sah saja, karena beriman kepada Nabi Muhammad pada dasarnya adalah bagian dari kulliyatu amril-Lah (keseluruhan perintah Allah) yang tercakup dalam perjanjian itu. 
Terlepas dari perbedaan penafsiran di atas, yang penting untuk kita garis bawahi adalah penggalan ayat diatas tidak hanya berlaku untuk kaum Yahudi saja, melainkan berlaku pula untuk diri kita.
Dalam sejarah, kita telah membaca kaum Yahudi, yang terbukti tidak memenuhi janji mereka kepada Allah. Sehingga Allah sudah barang pasti, juga tidak berkenan memenuhi janji-Nya untuk memberikan ‘at-tamkin fil-ardli fid-dunya was-sa’adah fil-akhirah’ . Dalam realita, apakah kita sudah membaca diri kita. Sebenarnya sudah apa belum kita  memenuhi janji kita kepada Allah,  untuk rela mempertuhankan diri-Nya dan mentaati segala perintah-Nya dalam situasi dan kondisi apa saja. Dalam situasi normal maupun terjepit, dalam kondisi lapang maupun sempit. Jangan-jangan kita tidak jauh berbeda dengan mereka. Sehingga yang terjadi juga La ‘ahda lana ‘indal-Lah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar