Selasa, 06 Juli 2010

Khotbah dengan selain bahasa arab

Pert: Bagaimanakah hukum khotbah jumát dengan selain bahasa Arab?
J: Jumhur ulama mengatakan bahwa, khutbah jumát itu semua rukunnya (Hamdalah, Shalawat, Washiyat, Baca ayat Al-Qurán dan Doá) harus menggunakan bahasa Arab, meski para jamaah bukan orang Arab yang tidak memahaminya. Adapun selain rukun, boleh dengan selain bahasa Arab dan tidak memutuskan muwaalah. Sementara Imam As-Suwaifi dan & Al-Barmawi mengatakan: Persyaratan rukun harus menggunakan bahasa Arab, itu jika di dalam jamaah ada orang arabnya, tapi jika tidak ada, maka khutbah jumát boleh dengan menngunakan selain bahasa Arab, kecuali ayat Al-Qurán.
۱. وكونها بالعربية وان كان الكل اعجمين لاتباع السلف والخلف (قوله بالعربية) اى الأركان دون ما عداها. قال يفيد ان ما عداالاركان من توابعها بغيرالعربية لايكون مانعا من الموالاة . إه حاشية الكردى على شرح بافضل
۲. (ثامنها ان تكون بالعربية ) اى ان تكون الخطبتين بالعربية وان كان القوم عجما لايفقهون – الى قوله- وقال ايضا نقلا عن البرماوى ومحل اشتراط كون الاركان الخطبة بالعربيةان كان فى القوم عربي والاكفى كونهما بالعجمية الافى الاية فهي كالفاتحة اى فلابد من العربية. إه شرح كاشفة السجا :98
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اِيَّاكَ وَكَثْرَةَ الضَّحْكِ فَإِنَّهُ يُمِيْتُ الْقَلْبَ وَيَذْهَبُ بِنُوْرِ الْوَجْهِ
Janganlah banyak tertawa karena hal itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya.
(___Nasha-ihul ‘Ibad___)

ZIARAH QUBUR

Angker, ngeri, seram dan tempat yang memberdrikan bulu kuduk, mungkin inilah persepsi keumuman orang saat indra pendengar  mereka mendengar kata kuburan. Paradigma seperti ini masih banyak ditemukan di daerah sekitar kita yang masih menganggap adanya sebuah kekuatan magis yang berasal dari orang yang sudah mati. Namun sebuah note –catatan- penting, apapun bentuk tuangan imaginasi masyarakat dalam setiap aktivitasnya mengenai kuburan, adalah sebuah bukti bahwa betapapun hebatnya orang kaya baik kaya harta atau ilmu, betapapun kuatnya seseorang digjaya kekuasaan atau jabatan, dan betapun dominannya  seorang Ulama dan public figure  atau betapun dominannya  keangkuhan  orang sombong, kuburanlah tempat akhir mereka sejak awal meniti kehidupan dunia sampai ajal menjemputnya.
Topik ziarah qubur ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari bab sebelumnya yang membahas tentang penghadiahan pahala bacaan pada orang meninggal. Namun sekalipun masalah ziarah qubur ini dirasa sering dibicarakan karena berkaitan dengan persoalan Ihda-u Tsawabil Qiraah, Tawassul, Tahlil dan lainnya, pada kesempatan kali ini Tim Redaksi mencoba untuk membahas Ziarah qubur secara lebih spesifik.
Agenda tinjauan kajian ini kami ramu menjadi 4 klasifikasi yang merekrut pada Definisi (Ta’rif), Legitimasi (al-Hukmu), Prosedur Aplikasi (Al-Adab wal Kaifiyah) dan Saripati Inspirasi (Al-Hikmah).
A. Definisi (Ta’rif)
Qubur   (قبور)  dalam bahasa ámiyah Indonesia ; kubur- adalah bentuk jama’ dari lafadz Qabrun( قَبْرٌ)   yang artinya kuburan atau makam. Yang berasal dari fiíl madli Qabara. Lalu jika kita sambung dengan kalimat ziarah maka berarti mengunjungi atau mendatangi tempat orang yang meninggal (pemakaman).
Dengan berbagai reason atau alasan yang melatarbelakangi kedatangan mereka ke kuburan, nanti kita akan jumpai jawaban dari pertanyaan Apa perlunya seseorang mendatangi tempat orang meninggal, toh di sana pemandangannya cuma batu nisan dan tanah yang ditimbun, buang-buang waktu saja ?
B. Legitimasi (al-Hukmu)
Hukum ziarah kubur adalah sunnah yang dapat kita pastikan kebenarannya dalam Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi  :
عن بريدة ابن الحصيب الإسلامى رضي الله عنه قال : قال رسول الله : كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها . رواه مسلم  (بلوغ المرام :۱٠۳)
Rasulullah bersabda : “Dulu aku melarang ziarah qubur tapi sekarang berziarahlah” (Bulughul Maram : 103).
Hukum yang pertama kali saat ziarah ada, ialah dilarang yang ditunjukkan dengan kalimat “Kuntu nahaitukum ‘an ziaratil qubur” karena kekhawatiran terhadap keyakinan orang arab pada masa saat itu, yang masih kental dengan kepercayaan animisme dari patung-patung berhala yang dianggap sebagai tuhan. Akan tetapi setelah melihat kepercayaan para sahabat telah kuat bahwa kuburan bukanlah tuhan, maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk berziarah “Fazuruha
            Di satu sisi yang sama Qaidah ushul mengemukakan “Al-Amu ba’dan Nahyi mandub” . Suatu perkara yang berasal dari tidak boleh lalu berubah menjadi diperintah maka sesuatu tersebut berstatus mandub (Sunnah). Artinya yang semula ziarah qubur itu dilarang, lantas sekarang menjadi diperintahkan maka ziarah kubur ini menjadi sunnah hukumnya.
            Seandainya dikatakan : Apabila unsur dari “Kuntu nahaitukum”  (alasan dilarangnya ziarah kubur) muncul kembali, seperti diduga adanya keyakinan bahwa  kuburan itu disembah-sembah dan dipuja-puja layaknya tuhan, apakah tidak lebih baik jika kita larang saja ziarah kubur itu ?
            Untuk merespon pertanyaan ini mari kita analogikan pada contoh simple ini : Kalau sebuah gudang beras ditemukan tikus-tikus berkeliaran, maka apakah kita akan membakar gudangnya demi memberantas tikus-tikus? . Tentu tidak. Seandainya terjadi kasus demikian –keyakinan menuhankan kuburan- maka yang harus kita brantas adalah keyakinan tersebut tentunya dengan yang ma’ruf dan tak melanggar syariat, tidak dengan melarang ziarah kubur yang sudah jelas-jelas kesunahnnya dalam hadits Rasulullah Saw.
            C. Prosedur Aplikasi (Al-Adab wal Kaifiyah)    
            Sopan-santun dan tata krama seorang peziah kubur hendaknya mengikuti prosedur di bawah ini :
Pertama, Dalam keadaan suci atau berwudlu
Kedua,  Uluk salam kepada ahli kubur. Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya Radliyallahu ‘anhuma berkata : Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita saat berziarah kubur untuk membaca salam : السلام عليكم اهل الديار من المؤمنين والمؤمنات وانا ان شاءالله بكم لاحقون نسئل الله لنا ونكم العافية
   (HR. Muslim)                                        
Do'a ini dibaca untuk para ahli kubur secara umum.
Ketiga, Mendekati kuburan dan mengucapkan salam untuk orang yang tertentu seperti ayah, ibu dll,  kita bisa mengucapkan السلام عليك يا والدى ووالدتى  (I'anah Thalibin : 143)
Keempat, Membaca Al-Qur'an dan mendoakannya dalam keadaan menghadap kiblat. Sekalipun masih ditemukan tafshil tapi kami temukan dalil-dalil yang memperbolehkan mendoakan dan membacakan ayat-ayat Alqur'an saat ziarah kubur
1. Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za'farani, berkata : Aku pernah berkata pada Imam Syafi'i  tentang bacaan qur'an di kuburan. Ia menjawab : Boleh (diriwayatkan oleh Ibnu Qayim dari Imam Syafi'i, disebutkan oleh Jalaludin As-Suyuthi dalam syarah Shudur : 134)
2. Dalam kitab Tahqiequl 'amal fi ma yanfa'u lil mayit minal a'mal menerangkan bahwa :
* Imam Syamsudin bin Muflih Al-Magdisi berkata dalam kitb Al-Furu' : membaca Qur'an di kuburan tidak dihukumi makruh.
* Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia telah berwasiat jika ia dikubur hendaknya dibacakan permulaan dan penutup surat Al-Baqarah di kuburnya. (Al-Furu' Ibnu Muflih II/304).
Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal mencabut pendapat yang memakruhkannya yang dilansir dalam kitab Mukhtashor Tadzkirah Al-Qurthubi : 25. Beliau berkata : "Ketika kalian mendatangi/menziarahi qubur  maka bacalah surat Al-Fatihah, Mu'awwidztain, surat Al-Ikhlash dan hadiahkanlah ganjarannya untuk ahli qubur karena sesungguhnya itu sampai kepada mereka".
D. Saripati Inspirasi (Al-Hikmah)
Setelah berlalu lalang dengan Ta'rif, Al-Hukmu, dan Adab wal kaifiyah, kini tiba saatnya kita bahas hikmah dari ziarah kubur yang akan menjawab pertanyaan yang terdapat pada tema Ta'rif di atas. 
Pertama, ziarah kubur dilakukan untuk mendoakan orang mati. Sebagaimana yang telah kita ketahui dari hadits :
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال سمعت رسول الله يقول : ان القبر اول منازل الأخرة فإن نجا منه صاحبه فما بعده ايسر منه وان لم ينج منه فما بعده أشد
Dari sahabat 'Utsman bin 'Affan, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya quburan adalah stasiun akhirat yang pertama,  barangsiapa yang penghuninya selamat maka jalan setelahnya akan lebih mudah baginya dan apabila tidak selamat maka maka jalan setelahnya itu akan lebih sulit
قال رسول الله : مَا الْمَيِّتُ فِى قَبْرِهِ اِلاَّكَالْغَرِيْقِ الْمُغَوِّثِ ينتظر دعوة تلحقه من ابيه او اخيه اوصديق له فأذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها وان هدي الأحياء للأموات الدعاء والإستغفار   ( شرح عقيدة الطحاوية  :٤٥٧  )
 “Orang mati dalam kuburnya  laksana  seorang yang tenggelam yang yang meminta  pertolongan menunggu do'a dari ayah, saudara, dan temannya yang bermanfaat baginya. Jika  ia mendapati doa itu, maka hal ini lebih ia senangi dari pada dunia dan seisinya begitu juga jika orang-orang yang masih hidup mengirimkan doa dan permintaan ampunan terhadap orang-orang yang telah mati”. (Syarah Aqidah Thohawiyah : 457)
            Kedua, Untuk mengambil 'Ibrah (pelajaran). Untuk hikmah yang kedua ini bias saja kita berziarah pada kuburan orang Cina dengan dalih untuk mengambil pelajaran bahwa betapa kaya, hebat, dan diktatornya seseorang, tentu  sekujur tubuhnya tak berdaya apa-apa saat batu nisan dan tanah menindihnya dalam liang lahat dan dia termasuk kita disana akan menunggu balasan akan apa yang telah dikerjakan semasa hidup di dunia.
قال ابن ابي مليكة قال رسول الله : زوروا موتاكم وسلموا عليهم فإن لكم فيه عبرة   
Berziarahlah  pada orang-orang matimu dan beri salamlah, karena disitu mengandung pelajaran yang berharga bagimu.
            Ketiga, Tawassul. Dengan mengambil intisari dari Surat Ali 'Imran ayat 169 " Wala tahsabnnal ladzina qutilu fi sabilillahi amwata bal ahya-un inda rabihim yurzaquna "
Janganlah kalian sangka orang yang yang mati di jalan Allah mati melainkan mereka hidup di sisi tuhannya juga diberi rizqi serta bahagia.
Memandang diri ini adalah orang yang tak pantas dan tak punya kedudukan apa-apa 'indal-Lah, maka diperlukan perantara yang dapat menghubungkannya dengan Allah.

UCAPAN WALI YANG MENYALAHI HUKUM SYARA’

Pert: Apakah boleh diamalkan dan diikuti ucapan sebagian wali yang menyalahi hukum syara’?
Jwb: Tidak boleh diamalkan dan tidak boleh dijadikan pedoman hukum.
والخطأ الكشفي عند الأولياء بمنزلة الخطإ الإجتهادي إلا أنه لاعمل به ولو صح لايبني عليه حكم عندهم مالم يساعده الظاهر فاحفظ هذا فإنه نفيس {جامع اصول الأولياء:245}

URGENSI TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN

Islam adalah agama yang didirikan diatas tiga pilar utama, yaitu: Islam jika memandang pada amal perbuatan, iman jika memandang pada aqidah yang mengerakkan, dan Ihsan jika memandang pada kesempurnaan realisasi dan tujuan dari perpaduan iman dan amal perbuatan. Ketida pilar ini dalam terminologinya bisa jadi mengalami perubahan, termasuk yang paling terkenal yaitu terminology fiqh, Tauhied dan Tasawuf. Akan tetapi sepanjang sejarahnya umat Islam senantiasa berusaha menerapkan ketiga pilar tersebut. Generasi awal Islam adalah mereka yang menyatukan antara keluasan ilmu pengetahuan dan kedekatan diri dengan Allah SWT. Kemudian dari mereka, lahirlah generasi-generasi yang mempunyai kecintaan hati kepada Allah sekaligus ilmu yang dapat menerangi jalan mereka menuju Allah. Mereka adalah ilmuwan (Ulama/Alim) sekaligus pendidik (Murabbun/murabby) dalam waktu yang bersamaan. 
Dari sana, terjadi perkembangan yang besar dalam ilmu-ilmu keislaman secara umum, dimulai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan diantaranya dalam bentuk madrasah-madrasah, pesantren-pesantren dan universitas-universitas yang memperhatikan ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi, sekarang lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengalami kemunduran karena mengesampingkan pilar Ihsan atau yang disebut sebagai tasawwuf. Penyebabnya adalah pemisahan antara pengajaran praktis dengan (fungsi) guru dan pendidik, yaitu dengan semakin sulitnya ditemukan guru pendidik sekaligus bisa menjadi teladan moral sebagaimana ulama salaf dahulu.
Makna Tasawwuf
Tasawwuf mempunyai dua makna: makna pertama lebih ditekankan pada usaha mensucikan jiwa, dan bersunggu-sungguh dalam mematuhi Allah dan meneladani Rasulallah SAW. hingga jiwa  menjadi bersih dan memantulkan haqiqat dan rahasia ketuhanan. Inilah yang disebut sebagai Ilmu Muamalah dalam menempuh jalan kepada Allah, yaitu dengan memperbaiki dan membingbing hati, memurnikannya untuk Allah dari selain Allah. Tasawuf, dalam makna ini, harus bersumber dari sumber yang suci dan berpijak pada kaidah syariah yang benar. Sebagaimana yang disebutkan oleh seorang tokoh besar Sufi Syekh al Junaid: "Ilmu kita ini terikat dengan Kitab dan Sunnah…."    
Makna kedua adalah dzauq dan perasaan hati, atau hasil-hasil kasyaf yang dialami dan dirasakan oleh para salik (penempuh jalan Allah). Makna yang kedua ini adalah husus untuk para pelakunya, tidak bisa diungkapkan atau ditulis atau diisyaratkan, tidak pula dapat dijadikan sebagai hukum syari'at atau argumentasi hukum, juga tidak mungkin dikatakan dalam ungkapan dan bahasa apapun, karena merupakan perasaan hati yang tidak mungkin dapat diuraikan dengan kata-kata. Pada makna yang kedua ini, sebagian guru sufi mengisyaratkan: "perngetahuan kita tentang ini hanyalah isyarat." Inilah yang disebut dengan Ilmu Mukasyafah, yaitu cahaya yang terpancar dari hati dalam pencapaian pada penyatuan dengan Tuhan Semesta Alam. Bagi seseorang, hendaknya menjalankan tasawuf dengan makna yang pertama, sehingga dapat diraih rahasia makna yang kedua.  
Kenapa harus Tasawuf
Islam adalah agama yang menjungjung tinggi peranan akal dan membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran baru, serta mendorong intraksi praksis maupun teoritis terhadap fenomena alam.  Pada saat yang sama, islam juga menekankan pada keterjagaan hati dan ketulusan rasa dan menjadikan iman sebagai ruh penggerak bagi hati yang dinaungi cinta dan kebaikan sekaligus ditandai dengan kebenaran. Islam bukanlah teori-teori praksis dan ekonomis belaka yang terlepas dari bimbingan ketuhanan. Ia adalah sikap hati yang terbuka lapang, dimana cahaya cinta bersinar dari seluruh dingding-dingdingnya. Hati yang sangat terikat dengan Tuhan yang menciptakannya, senantiasa mencari jejak Sang Pencipta di alam raya ini.
Sebenarnya tidak ada pemisahan antara pemikiran yang tercerahkan dan sikap hati yang terpuji. Validitas pemikiran seyogyanya berjalan seiring dengan validitas tindakan dan sikap. Akan tetapi dalam prakteknya konsep yang sudah menjadi aksioma ini sering terkendala. Tasawuf adalah solusinya. Karena Tasawuf menjawab secara tuntas pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana kita menumbuhkan rasa akan keagungan Allah dan sikap khusuk terhadap-Nya? Bagamana kita dapat menghayati keimanan kita sehingga tidak hanya mengambang di permukaan akan tetapi menjadi landasan bertindak dan bersikap? Bagamana mentranformasikan ma’rifat akan Allah untuk mendorong tumbuhnya karakter dan sikap terpuji? Bagaimana seseorang bisa mencintai Allah sehingga secara naluriah akan senantiasa mematuhi dan mencari keridhaan-Nya?  Menjadikan kecintaannya kepada Allah sebagai penggerak yang secara otomatis menjauhkan dirinya dari perbuatan maksiat dan durhaka? Dan bagaimana agar seseorang dapat memandang penampakan-penampaka Allah dalam semua ciptaanNya, menyaksikan nama-nama Allah yang baik dalam setiap diam dan gerakan kapan dan dimanapun saja?    
Bagaimana Bertasawuf
Tasawuf adalah program pendidikan yang focus pada penyucian jiwa dari segala penyakit yang menghalangi manusia dari Allah SWT. sekaligus meluruskan penyimpangan-penyimpangan kejiwaan dan tindakan dalam masalah yang berkaitan dengan hubungan seorang hamaba denga Tuhannya, dengan dirinya dan dengan orang lain.  Ia adalah metode pendidikan ruhani dan praksis untuk mengangkat seseorang ke tingkat ihsan yang dijelaskan oleh Nabi SAW. sebagai; “hendaknya kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalau kamu tidak melihat-Nya maka Allah sesungguhnya melihat dirimu.”
Oleh karena itu, orang yang hendak mempelajari tasawuf harus mengambil ilmu ini dari sumbernya yang dipercaya. Dibawah bimbingan seorang guru, menghirup apa yang sang guru hirup, dan melalui tahapan-tahapan yang sang Guru lalui.  Syekh Ata’illah al Iskandari berkata: “Orang yang hendak mencari tahu, dan menempuh jalan petunjuk, seyogyanya mencari guru dari kalangan ahli dalam bidang ini, yang telah menempuh jalan petunjuk, dan senatiasa meninggalkan hawa nafsunya, serta mempunyai pijakan yang kuat dalam menghambakan diri kepada Tuhannya. Kalau ketemu, maka hendaklah mematuhi apa yang sang guru perintahkan dan menghindari dari apa yang sang guru larang.”   

Laki-laki Memakai Pakaian Sutra

Pert : Bagaimanakah hukumnya laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari bahan sutra ?
Jwb : Kita lihat dulu komposisi dari bahan pakaian sutra tersebut. Jika murni dari sutra, maka haram bagi laki-laki memakainya. Jika tidak murni, maka apabila komposisi sutranya yakin lebih banyak, maka tidak boleh. Jika selain sutranya yang lebih banyak, atau sama maka boleh. Jika masih ragu mana yang lebih banyak , maka hukumnya haram.(GM)
(ويحرم على الرجل والخنثى استعمال الحرير) لخبرالبخاري نهانا رسول الله صلي الله عليه وسلم عن لبس الحرير والديباج وأن نجلس عليه ولما فى ذلك من ظهور السرف (واستعمال ما اكثره حرير) وزنا دون عكسه لذلك تغليبا للأكثر فيهما ودون ما اذا استويا لأنه لايسمي ثوب حرير عرفا (قوله دون عكسه) وهو ما اكثره غير حرير وزنا اى يقينا فيحل بخلاف المشكوك فى كثرته فيحرم على المعتمد . اﻫ (الشرقاوي 1/331-330)

TATO

Sebuah keindahan keunikan adalah sesuatu yang sangat disukai oleh semua orang tak terkecuali kalangan para orang tua. Lebih-lebih para muda-mudi yang punya adrenalin membuncah-buncah, semangat yang berkobar-kobar dan keinginan yang sering tak terbendung. Fenomena pembuatan tato –yang menjadi topik mubahatsah kita- juga  tidak lepas dari sorotan mereka yang dianggap sebagai tren model anak muda zaman sekarang.
Historisitas tato tidak hanya ditemukan pada kultur bangsa arab masa jahiliyah (pra islam), pada masyarakat dunia pun sejak masa primitif, kebudayaan bertato telah merebak. Pada dasarnya, ada dua alasan utama mengapa orang membuat tato, yaitu untuk menggambarkan keunikan pribadi (menurut persepsi pelaku) atau untuk ciri khas sebuah kabilah sebagai tanda baiat keanggotaan dalam suatu kelompok.
Dalam perkembangannya tato dianggap sebagi life style (gaya hidup). Yang lebih ngeri lagi, di Eropa, tato dianggap sebagai seni lukis tingkat tunggi yang mahal harganya sehingga dijadikan sebagai komodity ekonomi.
Istilah tato dalam bahasa arab adalah  الوشم 'al-Wasymu' yang berarti menusuk anggota badan dengan jarum dalam keadaan tak dipaksa sehingga mengucurkan darah kemudian tempat tusukan ditulis dengan celak, zat warna atau tinta sehingga kulit menjadi hijau atau biru. Apabila alasannya karena untuk hiasan maka hukumnya haram dan wajib untuk dihilangkan (Adab al-Islam : 132). Dan jika penghilangan tato dianggap sangat beresiko pada hilangnya fungsi anggota tubuh, atau memerlukan masyaqah (kesusahan) yang berat, maka cukup dengan bertaubat nashuha (sebenar-benar taubat). Demikian ini definisi cerminan dari tato permanent, sedangkan tato temporer (sementara) dengan menggunakan hinna (cutek) sebagian ulama membolehkannya.
Berbeda kasusnya, bila tato (permanent) tersebut terbentuk dengan sebab keterpaksaan, seumpamanya seorang anak yang dipaksa ditato oleh ibunya, atau karena kecelakaan atau sebab hasil pengobatan yang memunculkan bekas yang sama seperti tato, maka la ba'sa  (tak mengapa).
Keharaman tato berdasarkan pada beberapa ilat/alasan. Pertama, karena merubah kudrat ciptaan Allah. Hal ini dapat kita pastikan dengan menyingkap surat An-Nisa' ayat 119 dengan menggaris bawahi lafadz فليغرن خلق الله   (merubah kudrat ciptaan Allah) dengan ditafsiri diantaranya dalam bentuk perbuatan yang merubah badan dengan tato. (Hasyiyah Showi 'ala Tafsir Jalalain : 1/327)
Dan hadits Nabi Muhammad saw.
لَعَنَ الله الوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقِ اللهِ  
Allah swt melaknat orang-orang pembuat dan yang meminta tato, pencukur dan yang meminta mencukur bulu alis dan yang merenggangkan gigi karena untuk hiasan/lebih mempercantik diri, yang berujung akan merubah ciptaan Allah (Syarah An-Nawawi ‘alal Shahih Muslim : 14/ 106)
Hadits ini memiliki tingkat keshahihan yang sangat terpercaya dengan ditemukannya empat sahabat sebagai perawinya. Yaitu Ibnu 'Umar, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud. Imam Adz-Dzahabi dalam al Kaba-ir mengungkapkan bahwa la'nat Allah akan turun hanya atas perkara yang diharamkan-Nya. Jadi jelas tato itu hukumnya haram.
Kedua, menyakiti badan dengan tanpa hajat atau dlarurat yang tidak memberi faidah adalah haram (la yahillu) menurut Imam Ibnu Jauzy.
Di samping itu, dampak-dampak negatif yang diakibatkan oleh tato begitu banyak dan berbahaya. Menurut pakar dermatologi (ahli kulit), Jonette Keri, MD, PhD., Resiko yang paling serius adalah infeksi yang bersifat mengancam kehidupan seperti HIV atau hepatitis C. Infeksi ini berasal dari jarum yang tidak bersih. Selain itu, bisa juga menimbulkan infeksi yang memicu penyakit kulit.
Selain infeksi, tato juga bisa menimbulkan alergi akibat pigmen (zat warna) yang digunakan, khususnya pigmen hitam yang asalnya digunakan untuk bahan aspal. Di samping itu, bisa juga menimbulkan reaksi peradangan dan luka pada jaringan, sebagai reaksi terhadap pewarna atau komponen besi yang dimasukkan ke dalam kulit. Kadang-kadang juga bisa menyebabkan dermatitis (peradangan kulit disertai gatal)
Ketiga, kulit badan yang ditato itu mutanajis dengan sebab bergumpalnya darah pada anggota badan yang ditato, menurut ulama As-Syafi'iyah. Sehingga shalatnya tidak sah dan wajib untuk dihilangkan karena menanggung najis dalam keadaan shalat. Dan lagi, menurut ba'dlul ulama, tato bisa menghalangi sampainya air pada kulit sehingga wudlunya tak sah yang berbuntut tidak sahnya shalat. Untuk menanggulangi hal demikian beberapa ulama mensolusikan pada anggota yang ditato agar diganti dengan tayammum.
Keempat, terdapat unsur tasyabbuh, penyerupaan dengan orang-rang kafir masa jahiliyah dengan sesuatu yang menjadi ciri khasnya (dengan bertato). Hal ini dengan dinisbatkan pada hadits Rasulullah saw "Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum". 'Seseorang yang berkelakuan mirip dengan sebuah kaum, maka ia termasuk darinya'.  (Ihya Ulumudin : 2 / 270)
Dewasa ini, banyak kalangan public figure bahkan merambah pada masyarakat kita yang mengatasnamakan keindahan zaman modernis sebagai dasar pijakan mereka dalam melakukan sesuatu (membuat tatto). Ironisnya, mereka mengatakan hal itu sebagai SENI, dan dasar pijakan mereka itu tidak jarang menabrak rambu-rambu syariat agama yang sering mereka sepelekan karena hawa nafsu yang telah membutakan mata hatinya. Akankah kita jatuh terjerumus pada keindahan semu, yang menghantarkan pada lembah nista hanya karena urusan tato ?  Na’udzu bil-Lah min dzalik

HUKUM MASUK THARIQAH

Pert: Bagaimana hukum masuk thariqah dan mengamalkannya?
Jwb: Jika yang dikehendaki masuk thariqah itu belajar membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dan menghiasi sifat-sifat yang dipuji maka hukumnya fardlu ‘ain. Hal ini seperti hadits Nabi saw yang artinya : “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi orang islam laki-laki dan orang islam perempuan”. Akan tetapi kalau yang dikehendaki masuk thariqah itu khusus untuk dzikir dan wirid, maka termasuk sunnah Rasulullah saw. Adapun mengamalkan dzikir dan wirid setelah bai’at, maka hukumnya wajib, untuk memenuhi janji.

(Keputusan Muktamar Ke I Jm’iyah Ahli Thoriqah Mu’tabaroh di Tegal Rejo – Magelang. 18 Rabiul Awal 1377 H / 12 Oktober 1957 M)
(M.S)

TALFIQ

Secara bahasa talfiq adalah campur aduk. Sedangkan menurut istilah ulama dalam fan ilmu fiqih dan ushulnya, talfiq merupakan al-Ityanu fi mas alatin wahidatin bikaifiyatin la tuwafiq qaula ahadin minal mujtahidin as-sabiqin yaitu sebuah tindakan atau melakukan sesuatu dalam satu permasalahan dengan sikap (kaifiyah) yang tidak sesuai dengan imam-imam  mujtahid yang dahulu.
Seperti seorang mukallaf berwudlu dengan cara Imam Syafi'i, yakni dengan cukup mengusap sebagian kepala, kemudian ia menyentuh perempuan ajnaby (bukan mahrom) dengan beranggapan wudlunya tidak batal karena mengikuti madzhabnya imam Hanafi. Lantas  ia melakukan shalat dengan keadaan wudlu seperti itu. Maka shalatnya ini tidaklah sah menurut dua madzhab tersebut. Menurut imam Hanafi, shalatnya tidak sah karena dalam  wudlunya tidak mengusap seperempat kepala (rubu'ur rais). Sedangkan menutrut imam Syafi'i tidak mengesahkannya disebabkan ia shalat tidak dalam keadaan berwudlu karena terbatalkan oleh menyentuh perempuan.  
Para ulama memasukkan dalam masalah talfiq juga akan sebuah fenomena ihdatsu qaulin jadidin (mencetuskan pendapat yang baru) yang dilakukan oleh orang berkompeten menjadi mujtahid, bermetodekan mengambil dua pendapat ulama yang berbeda, lalu mengahasilkan pendapat yang ketiga. Misalnya ketika terjadi perbedaan pendapat antar mengenai berhak atau tidaknya kakek dan saudara mendapatkan harta waris. Satu qaul menyebutkan bahwa kakek lah yang mendapatkan harta waris sedangkan saudara itu mahjub (terhalangi). Qaul yang kedua menyatakan bahwa kakek dan saudara mendapatkan harta dengan menggabungkan keduanya. Lalu muncul ulama kontemporer yang mengeluarkan pendapat ketiga bahwa kakek tidak bisa mendapatkan harta waris. Pendapat yang sama sekali berbeda dengan dua pendapat sebelumnya.
al-Qadrul Musytaroknya dari pendapat ketiga ini adalah kakek mahjub terhalangi sedangkan saudara/ ikhwahlah yang mendapatkan warisan, maka Ihdatsu qaulin jadid semacam ini adalah bathil karena menafikan salah satu qaul dengan menyebutkan kakek terhijab, padahal di atas tidak ditemukan qaul demikian. Lain halnya jika al-Qadrul Musytarok itu mencakup dua qaul sebelumnya dan tidak menafikannya. Maka Ihdatsu qaulin jadid  seperti ini dinilai shahih.
Bagaimanakah definisi talfiq yang masyhur terjadi sekarang ini? Yang kita pahami sekarang talfiq ialah berprilaku atau  beritual dengan menggunakan pendapat dua imam atau lebih.
Talfiq itu sendiri ada dua macam jika ditilik dari segi pelaksanaannya; yaitu dengan tanpa qashdu (tidak sengaja) dan talfiq yang dilakukan dengan qashdu (sengaja)
Untuk talfiq tanpa kesengajaan yang biasanya dilakukan oleh muqallid (orang yang tidak tahu hukum), para ulama mengomentari positif dengan kibaran statement yang membolehkannya. Latar  belakang yang mendasarinya, tidak lain karena seorang muqallid itu boleh untuk mengamalkan fatwa muftinya (ulama yang berfatwa). Artinya, ketika misalnya seorang muqallid bertanya tentang wudlu pada seorang mufti dari madzhab Syafi'i, kemudian dia meminta fatwa tentang hal yang membatalkan wudlu pada seorang mufti madzhab Maliki, lantas ia shalat dengan wudlu (madzhab Syafi'i) yang tidak menyeluruh mengusap kepalanya dan ia menyentuh perempuan yang dianggapnya tidak membatalkan (madzhab Maliki), maka hukumnya adalah boleh. Dikarenakan juga, tindakan yang sudah sepatutnya dan wajib dilakukan oleh seorang muqallid adalah bertanya kepada orang 'alim/ mufti, terlepas fatwa dari muftinya itu berlainan dengan madzhab yang lain atau tidak.
Ada kalanya juga talfiq itu dilakukan dengan sengaja, yang keumuman pelaku adalah seorang yang berkompeten sebagai mujtahid atau seorang muqallid dalam beberapa kasus. Andaikata yang melakukan adalah seorang mujtahid, yang ia perbuat adalah memilah-milah antara pendapat-pendapat ulama sabiqin kemudian memilih pendapat yang dianggapnya sebagai lebih unggul (mentarjih) atau mencampur dua pendapat yang berbeda.
Namun apabila jenis talfiq sengaja ini pelakunya adalah seorang muqallid maka tidaklah diperkenankan. Karena kemungkinan ia akan terjerumus untuk melanggar rambu-rambu nash syariat yang tidak diketahuinya. Dan lagi, perbuatan atau amal yang mengikuti pendapat baru dengan tanpa meminta fatwa atau tanpa melakukan hal yang sepatutnya dilakukan oleh seorang muqallid (bertanya) maka amalnya adalah amal yang berlandaskan hawa nafsu dan syahwat belaka.  
Bagaimanakah pandangan Madzahibul Arba'ah Al-Mu'tabaroh mengenai fenomena ini yang mulai merebak setelah abad 7 hijriah sampai 10 hijriah hingga sekarang yang semakin marak?
Pro-kontra talfiq menyisakan 3 kelompok yang secara garis besar merepresentasikan sikap Madzahibul Arba'ah Al-Mu'tabaroh.
Pertama, tidak membolehkan talfiq secara mutlaq. Beberapa ulama pendukungnya adalah imam Ghozali dalam kitab al-Mustasyfa dan Syathibi al-Maliki. Karena dikhawatirkan pula terjadi Tatabu'ur rukhosh (mengambil yang ringan-ringannya saja) Faman tatabba'ar rukhosh faqad tazandaq
Kedua, membolehkan talfiq tapi bi syartin (dengan syarat) pendapat ini didukung oleh sebagian ulama Syafi’iyah sebatas pada masalah-masalah yang telah disepakati oleh mereka. Syarat yang harus terpenuhi agar talfiq itu sah ialah dengan talfiq itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur'an, Sunnah dan ijma' ulama. Serta  tidak ada unsur kesengajaan untuk melepas diri dari beban hukum. Ketika talfiq itu tidak bertentangan dengan ijma' sunnah dan Qur'an maka dan tidak ada upaya dari mukallaf untuk melepaskan diri dari hukum maka boleh-boleh saja talfiq dilakukan. Sebagian  ulama mendlobitkan (membatasi) boleh atau tidaknya talfiq dengan setiap perkara yang merusak pada sendi-sendi aturan syariat sehingga tidak jelas, yang pada akhirnya orang tersebut lari dari beban hukum. Logikanya jika masih dalam koridor aman dari deskripsi tadi maka sah-sah aja. Namun bila sudah dipastikan imbas dari talfiq itu menerjang dengan deskripsi ini maka talfiq itu mamnu’ 
Ketiga, membolehkan tanpa ada syarat. Ini yang dikemukan oleh sebagian Syafi’iyah, Ulama-ulama mutaakhirin madzhab Malikiyah, Kamal bin Hamam, Ibnu Amir dari madzhab Hanafiyah, Ibnu Arafah, dan ad-Dasuqi dan imam at-Thorsusy dari madzhab Hanabilah.
Hukum-hukum syariat manakah yang menjadi lahan  boleh atau dilarangnya talfiq?
Hukum-hukum syariat yang pada hakikatnya ada atau tidaknya peluang untuk talfiq  itu terbagi menjadi 3 macam: Pertama, hukum yang terbentuk atas dasar kemudahan dan toleransi dilihat dari perbedaan kondisi dari para mukallaf. Kedua, hukum syariat yang terbentuk atas dasar wira'i dan kehati-hatian. Ketiga, hukum syariat yang terbentuk bergantung pada kemaslahatan umat dan kebahagiaannya.
Untuk point  yang pertama, bentuk hukumnya adalah seperti ibadah mahdloh dan di sini boleh untuk talfiq menurut Syaikh Wahbah Zuhaily karena yang menjadi pusat perhatiannya adalah imtitsalu amril-Lah (ketaatan melaksanakan titah Allah) dan ketundukan kepada-Nya. Adapun ibadah Maliyah (yang bersifat harta yang ada kaitannya dengan hak orang lain seperti zakat, hutang dll) adalah tidak boleh talfiq apabila khawtir adanya hak-hak dari orang faqir yang tersia-siakan. Maka tidak ada lampu hijau untuk mengambil pendapat yang dloif atau mentalfiq dari beberapa madzhab untuk mengambil keuntungan bagi orang yang berzakat sehingga menyia-nyiakan hak orang faqir, padahal fatwa itu harus punya extra kehati-hatian dan kesesuaian dengan maslahatnya orang faqir. Untuk  point yang kedua (hukum syariat atas dasar kehati-hatian) maka hukum talfiq adalah haram sebagaimana pemahaman yang didapat dari hadits Man hama haulal hima (al-Hadits)
Untuk point yang terakhir (syariat atas dasar kemaslahatan umat) Maka tidak boleh talfiq, ataupun tasamuh (toleransi) kecuali dlarurat. Wal-Lahu a’lam

***Catatan pengambilan ta’bir  dari  maroji’ yang kami gunakan untuk tulisan ini bisa dilihat dalam Ushul Fiqh alladzi la yasa’ul faqih Jahlahu (1/ 333-339), Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu (1/ 78-93) dan Anwarul Buruq (3/ 18)

SHALAT DAN ZAKAT BUKTI KEBENARAN IMAN

Tafsir al-Baqarah ayat 43 

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ ( البقرة : 43)  

Artinya : “Laksanakanlah shalat dengan sempurna, dan tunaikanlah zakat, serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku” ( al-Baqarah : 43)


Ayat ini merupakan ta’ridl (sindiran) kepada Yahudi Madinah yang munafik, yang dengan mudah menyatakan iman tanpa disertai dengan pembuktian. Seolah-olah melalui ayat ini Allah swt mengatakan kepada mereka : “Jika kalian benar-benar mengaku beriman. Coba buktikan pengakuan iman kalian dengan melaksanakan shalat dan menunaikan zakat”.  Dua kewajiban pokok ini (shalat dan zakat) dijadikan Allah swt sebagai pembuktian iman, karenanya dituturkan setelah lebih dulu menyampaikan perintah untuk beriman (waaminu bima anzaltu mushaddiqal-lima ma’akum). Mengapa iman perlu pembuktian? Mengapa pula pembuktiannya adalah dengan melaksanakan shalat dan menunaikan  zakat?
Sebagaimana  dimaklumi, iman pada hakekatnya merupakan komitmen atau perjanjian dalam hati (‘aqdun qolbi).  Karena berada dalam hati, ‘aqdun qolbi tidak dapat diketahui terkecuali jika didzahirkan dengan ucapan lisan yakni dengan menyatakan ‘asyhadu an-la ilaha illal-Lah wa asyhadu anna muhammadr-rasulul-Lah’  (nuthqun lisani).  Sementara, ucapan lisan adalah sesuatu yang mudah. Bisa saja sesuatu diucapkan lisan, tetapi hati tidak membenarkan. Karena itu, untuk membuktikan kebenaran ucapan lisan, dituntut untuk memberikan pembuktian dengan melaksanakan kewajiban yang menjadi madlul (arah yang dituju) oleh ucapan. Dan yang ditetapkan sebagai pembuktian iman itu  adalah dua kewajiban pokok yaitu melaksanakan shalat dan menunaikan zakat.
Melaksanakan shalat dijadikan sebagai pembuktian iman, karena shalat adalah aktifitas atau gerak totalitas seseorang (meliputi hati, pikiran, lisan dan seluruh anggota badan) yang menunjukkan pengagungan dan penghambaan kepada Allah swt sekaligus bukti pengingkaran terhadap tuhan-tuhan lain.  Sedang menunaikan zakat dijadikan sebagai pembuktian iman, karena zakat adalah menyisihkan harta secara tulus tanpa tendensi kepentingan. Ini tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mempercayai balasan di hari kemudian. Pendek kata, tidak akan rela bersusah payah melaksanakan shalat dan tidak akan mau menanggung beban menunaikan zakat kecuali mu’minun shodiqun (orang yang benar-benar iman).
Maka sangat beralasan jika kemudian ayat di atas dijadikan dalil (argumentasi) oleh al-Imam Malik ibn Anas ra untuk mngeksekusi mati kufron la haddan, orang yang enggan melaksanakan shalat, bilamana telah nyata dia tidak melaksanakannya  tanpa ada ‘udzur sejak awal waktu sampai waktu shalat berakhir. Karena keengganannya untuk melaksanakan shalat tanpa ada ‘udzur itu, merupakan indikasi (tanda) lenyap atau hilangnya iman. Meski jika orang tersebut menyatakan secara terbuka keimanannya (tashrih bil-iman), al-Imam Malik ibn Anas menghukumi eksekusi matinya secara haddan la kufron dengan alasan jam’an bainal-adillah.
Sangat beralasan pula jika ayat di atas pun dijadikan landasan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra memberi putusan  eksekusi mati terhadap orang-orang yang menolak menunaikan zakat sekaligus menyandangkan nama murtad kepada mereka. Karena Allah menjadikan kewdua kewajiban pokok (melaksanakan shalat dan menunaikan zakat) tidak hanya salah satunya  sebagai amaratu shidqil-iman (tanda kebenaran iman). Oleh sebab itu ketika sahabat Umar ibn Khattab ra muroja’ah (meminta beliau untuk meninjau kembali putusannya) dengan mengatakan :

"كيف تقاتلهم وقد قالوا لا إله إلا الله . وقد قال رسول الله :  أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها عصموا مني دماؤهم وأموالهم إلا بحقها"
“ Bagaimana engkau akan membunuh mereka, sedang mereka telah menyatakan la ilaha illal-Lah (iman). Bukannya Rasulullah saw bersabda : Aku diperintahkan untuk membunuh manusia kecuali mereka mau menyatakan la ilaha illal-Lah (iman). Dan apabila mereka telah menyatakannya, maka darah dan hartanya harus dilindungi terkecuali karena alasan yang haq”.
Secara diplomatis khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra dengan singkat menjawab sanggahan sahabat Umar ibn Khattab ra :
"لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة .  فإن الزكاة حق المال"
“Sungguh saya akan tetap membunuh orang yang mencoba memisahkan antara shalat dan zakat. Karena zakat adalah hak harta (sebagaimana shalat adalah hak badan,red)”

Sindiran di atas walau dari segi konteksnya tertuju kepada kaum Yahudi, tetapi dari segi makna dan pesannya tertuju kepada semua orang tak terkecuali umat Islam. Yang patut menjadi renungan adalah sebegitu tingginya kedudukan shalat dan zakat dalam struktur ajaran agama sampai-sampai menjadi amaratu shidqil-iman (tanda kebenaran iman), tetapi kesadaran untuk melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun dan syarat secara bersinambung, dan kesadaran menunaikan zakat dengan sempurna, tanpa mengurangi dan dengan tidak menangguhkan serta menyampaikannya dengan baik, belum sepenuhnya membudaya di kalangan masyarakat kita. Betapa masih banyak masjid-masjid kita yang megah tapi kosong jama’ah. Betapa masih banyak aghniya (orang-orang kaya) kita yang tidak menaruh perhatian untuk menyisihkan hartanya dan memberikannya kepada yang berhak menerima. Masya Allah.

MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

Tafsir al-Baqarah ayat 42 Part 2

………………. وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ( البقرة :42)

Artinya : “………………… dan janganlah sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui ” ( al-Baqarah : 42)


Penggalan ayat ini adalah kelanjutan tahdzir (peringatan) Allah swt kepada kaum Yahudi dari tindakan idl-lal (penyesatan) dengan menggunakan cara kedua yaitu dengan kitmanul-haq (menyembunyikan kebenaran). Tentu saja peringatan ini tidak ditujukan kepada semua kaum Yahudi, melainkan ditujukan kepada ahlul-kitabnya.
Mereka mengetahui berita akan diutusnya nabi Muhammad saw melalui kitab Taurat. Mereka sebelumnya juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab bahwa akan ada nabi yang diutus dalam waktu dekat. Dan setelah  masanya tiba - dimana Muhammmad saw dinyatakan sebagai  nabi yang diutus - mereka lantas mencocokkan sifat-sifat beliau,   dan ternyata hasil yang mereka dapati,  sifat-sifat beliau  benar-benar sama seperti yang diungkap dalam al-Kitab. Pendek kata mereka tahu persis siapa dan bagaimana sesungguhnya beliau sehingga tidak bisa mengelak untuk mengingkari kerasulannya. Al-Quran menceritakan mereka dengan ungkapan ‘ya’rifunahu kama ya’rifuna abna-ahum’ (mereka mengenal Muhammad saw seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri) yang menggambarkan betapa maksimalnya taraf pengetahuan mereka terhadap pribadi nabi Muhammad saw. Seharusnya –sebagai orang yang mengerti- mereka berkewajiban untuk menyampaiakan kebenaran tentang diutusnya nabi Muhammad saw kepada para pengikutnya yang belum mengerti. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya mereka tidak menyampaikan melainkan menyembunyikan kebenaran yang telah mereka ketahui (kitmanul-haq).
Faktor yang menyeret mereka kepada tindakan idl-lal dengan cara kitmanul-haq sehingga mereka tidak mengakui kerasulan Muhammad saw menurut analisa mufassir adalah kesombongan dan kedengkian. Mereka merasa bahwa dirinya berasal dari bangsa yang mulia yang telah banyak melahirkan para utusan dalam lintasan sejarahnya (kesombongan). Dan mereka tidak suka dengan diutusnya nabi bukan dari bangsanya tapi dari bangsa lain (kedengkian).
Dua faktor tersebut yang pada masa lalu telah menyeret Iblis sehingga enggan dan menolak untuk mengakui kekhalifahan Adam. Iblis menganggap dirinya tercipta dari unsur api yang lebih mulia dibanding tanah yang merupakan unsur penciptaan Adam as (kesombongan). Dan Iblis kecewa ketika kekhalifahan diserahkan kepada Adam as bukan kepada dirinya (kedengkian). Karena itulah sangsi yang diberikan kepada Ahlul-kitab dan yang diberikan kepada Iblis tidaklah berbeda. Keduanya sama-sama menerima la’nat (kutukan) dari Allah swt. La’nat yang ditimpakan kepada Iblis dinyatakan dalam surah al-Hijr          ayat 34-35 :
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ  وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

Artinya : “ Allah berfirman : Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk. Dan sesungguhnya la’nat (kutukan) itu tetap menimpamu sampai hari kiamat “

sedang la’nat yang ditimpakan kepada Ahlul-kitab diceritakan dalam surah al-Baqarah ayat 159 :

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab,mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati pula oleh semua makhluk yang dapat mela’nati “

Perilaku kitmanul-haq (menyembunyikan/menutupi kebenaran) dewasa ini telah demikian mewabah menjangkit para elit.  Dan perilaku ini berakibat pada idl-lal (penyesatan) terhadap bawahannya atau para pengikutnya. Modus menutupi kebenaran yang banyak dilakukan dewasa ini setidaknya ada dua. Pertama ; Menutupi kebenaran dengan menggunakan kata-kata abstrak, ambiguitas, atau menimbulkan penafsiran yang sangat berlainan. Seorang pejabat yang sebetulnya tidak tahan kritik, padahal kritik itu membangun, ia mengatakan : “Saya sangat menghargai kritik, tetapi kritik itu harus disampaikan secara bebas dan bertanggung jawab”. Kata ‘bebas dan bertanggung jawab’ adalah kata abstrak untuk menghindari kritik. Seorang pemuka agama ketika menemukan pendapat pemuka agama yang lain logis sedang pendapatnya sendiri tidak logis, dengan lantang menyatakan : “Akal harus tunduk kepada agama”. Ia sebetulnya mau mengatakan bahwa logika orang lain harus tunduk  pada pemahamannya tentang agama. ‘Akal’ dan ‘agama’ adalah dua kata abstrak.    
Kedua ; Menutupi kebenaran dengan menciptakan istilah yang diberi makna lain. Istilah itu berupa eufemisme (pemutarbalikkan makna). Pejabat melaporkan kelaparan di daerahnya dengan mengatakan ‘kasus kekurangan gizi’ atau ‘rawan pangan’. Operasi menertibkan pedagang asongan tanpa memberi solusi pekerjaan pengganti disebut ‘operasi esok penuh harapan’ . Proyek yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir orang dikatakan ‘untuk kesejahteraan rakyat’. Jika perilaku ini dibiarkan saja tanpa ada upaya perbaikan segera, bukan  mustahil Allah swt murka dan menimpakan la’nat-Nya.
اللهم أرنا الحق حقاً وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه
Ya Allah. Tampakkanlah kepada kami kebenaran itu adalah kebenaran. Dan karuniakanlah kepada kami rizki (kemampuan) untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kepada kami kebatilan itu adalah kebatilan. Dan karuniakanlah kepada kami untuk menjauhinya. Amin.
ومَنَ يكُ ذا فَمٍ مُرّ مريضٍ                 يجد مّرا بهِ الماءَ الزُّلالا
اللهم أرنا الحق حقاً وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه

MENJUAL AYAT-AYAT ALLAH

Tafsir al-Baqarah ayat 41 Part 2

...............وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ ( البقرة :41)

Artinya : “Dan janganlah menjual (menukarkan) ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan hanya kepada-Ku lah kamu harus bertakwa” ( al-Baqarah : 41)


Penggalan ayat diatas merupakan peringatan sekaligus kecaman kepada para pemuka agama (pendeta) Yahudi Madinah untuk tidak menjual ayat-ayat Allah dalam kitab suci,  demi memperoleh suatu imbalan duniawi. Hal ini telah terjadi pada sebagian diantara mereka, sebagaimana yang menimpa seorang pendeta bernama Ka’ab ibn al-Asyraf dan kawan-kawan sesama pendeta lainnya.  Dari kegiatannya mengajarkan kitab suci dan dari posisinya sebagai pemuka agama Yahudi, selama ini  mereka mendapat penghormatan, meraih kedudukan, dan secara rutin menerima imbalan. Kepada para pengikutnya, mereka sengaja tidak mengajarkan ayat-ayat yang berisikan keharusan untuk beriman kepada nabi Muhammad saw, karena khawatir para pengikutnya akan menyatakan iman yang berakibat pada hilangnya wibawa atau kehormatan, lepasnya posisi atau kedudukan dan terhentinya imbalan yang selama ini mereka dapatkan. Demikian yang dinyatakan dalam al-Futuhat al-Ilahiyyat.   

Meski peringatan dan kecaman tersebut – sesuai dengan rangkaian ayatnya -  ditujukan kepada pemuka agama Yahudi, akan tetapi oleh karena semua khithab dan semua kisah  al-Quran tentang umat di masa lalu adalah dimaksudkan untuk i’tibar (diambil sebagai pelajaran) dan itti’adz (dijadikan sebagai nasehat) oleh umat di masa sekarang, maka peringatan dan kecaman itupun tertuju pula kepada pemuka agama kita.  Tokoh agama mulai dari pemimpin majlis taklim, para da’i, para pemangku pesantren sampai pada para elit ormas islam diingatkan lewat ayat diatas untuk tidak coba-coba mengabaikan ayat-ayat Allah se sedikit  apapun,hanya karena tergiur imbalan duniawi baik berbentuk materi, jabatan, maupun kedudukan. Kemasan redaksi ayat dengan kata ‘aayaati’ (ayat-ayat-Ku) yang menggunakan bentuk jamak (plural) dan di idhofahkankan (digabungkan) kata itu pada dlomir (kata ganti) yang kembali kepada Allah, yang dua-duanya mengandung faedah ta’dzim (pengagungan), serta kata ‘tsamanan’ (harga) yang menggunakan bentuk nakirah (indefinit)dan dishifatinya kata itu dengan kata ‘qalilan’ (yang sedikit), yang dua-duanya mengandung faedah tahqir (peremehan), agaknya diharapkan dapat dijadikan renungan. Bahwa betapapun besarnya imbalan yang diperoleh di dunia, tetap saja kecil, remeh, dan hina karena semuanya tidak akan abadi selamanya. Dan betapapun sedikitnya ayat-ayat Allah tetap nilainya agung karena balasan yang kelak diterima nanti bagi orang yang kukuh pendirian dalam menjaga ayat-ayat-Nya dan tidak mengabaikannya adalah kedudukan tinggi di sisi Allah swt.

Sebagaimana telah dikemukakan, kandungan ayat di atas adalah berisikan larangan mengabaikan ayat-ayat Allah demi memperoleh suatu imbalan. Oleh sebab itu tidak tepat apabila ayat di atas dijadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk melarang menerima upah mengajar al-Quran atau mengajar agama. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama ; Pengajaran al-Quran dan pengajaran agama tidaklah tergolong  mengabaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dimaksud ayat di atas, tetapi justru merupakan upaya menyebarluaskan dan mengukuhkan pemahahaman terhadap tuntunan agama dikalangan umat. Kedua ; al-Imam Malik bin Anas, al-Imam Idris as-Syafi’I, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan mayoritas ulama membolehkan dan membenarkan menerima upah dari mengajar al-Quran. Di antara dalil yang digunakan mereka adalah sabda Nabi saw dalam kitab shahih al-Bukhari :

اِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ  ( رواه البخاري )
“Sesungguhnya yang paling wajar kamu ambilsebagai upah adalah mengajar kitab Allah”

dan sabda Nabi saw yang mengisahkan seorang sahabat yang hendak menikah tetapi tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar (maskawin)nya :
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ( رواه أحمد )
“Saya menikahkan kamu pada perempuan ini dengan mahar (mas kawin) mengajarkan al-Quran”

Ketiga ; al-Imam Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pakar-pakar hukum Madinah sepakat membenarkan perolehan upah mengajar al-Quran dan agama. Jika demikian halnya pada masa lalu, maka lebih-lebih pada masa sekarang dimana kebutuhan hidup semakin banyak dan berkembang. Dan di sisi lain karena kesibukan mengajar al-Quran dan agama, menjadi tidak punya waktu dan kesempatan untuk mencarikan nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggungan.

Ayat diatas yang diakhiri dengan ‘waiyyaya fattaqun’ (dan hanya kepada-Ku lah kamu harus bertakwa), dan ayat sebelumnya yang diakhiri dengan ‘waiyyaya farhabun’ (dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut / tunduk), mengisyaratkan bahwa rahbah (rasa takut) adalah mukaddimah (pendahuluan) bagi taqwa (menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya). Dengan kata lain seseorang tidak akan dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah (taqwa) jika dalam hatinya tidak ada rasa takut kepada Allah (rahbah). Wallahu a’lam.