Senin, 19 Oktober 2009

Outopsi

Pembahasan Seputar Jenazah
A. Penguburan Jenazah
Mengenai fenomena penguburan jenazah, yang menjadi permasalahan apakah jenazah itu harus segera dikebumikan? Atau bolehkah diakhirkan penguburannya?
Berikut adalah sekelumit kutipan dari kitab-kitab Mu’tabaroh yang menjelaskan hal-hal diatas.
1. Mendahulukan penguburan jenazah.
Seyogyanya, jenazah harus sesegera mungkin untuk dikebumikan ketika kematiannya sudah bisa dipastikan, sedangkan ketika kematiannya belum pasti, maka harus menunggu jangka waktu sekiranya kematian itu bisa pasti. hal ini sesuai dengan ibarat-ibarat berikut:
1. Imam Syafi’i berkata: Disunahkan untuk menyegerakan menguburkan mayyit, ketika sudah bisa dipastikan mati (Ma’rifatussunan wal Atsar lil bayhaqi, juz 6, hlm 75)
2. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang berbunyi: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Ketika salah satu dari kalian meninggal, maka janganlah kalian menahannya, dan bergegaslah menguburkannya.” H.R Thobaroni. (Fathul Bari li Ibni Hajar, juz: 3, hal:184)
Dan juga masih banyak sekali ibarot senada yang makin menguatkan dianjurkannya menyegerakan peguburan jenazah.
2. Mengakhirkan penguburan jenazah.
Mengenai mengakhirkan penguburan mayat, para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan, bahkan ada yang menganjurkan, dan ada pula yang melarangnya. Hal ini ditangguhkan pada sebab dan alasan diakhirkannya penguburan jenazah.
Ulama madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah bersepakat bahwa mengakhirkan penguburan mayat itu hukumnya makruh, kecuali ketika orang itu meninggal karena sebab yang mendadak, seperti tenggelam dan terkena benturan keras, maka wajib untuk mengakhirkan penguburannya sampai orang itu sudah benar-benar sudah meninggal.
Sedangkan ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mengakhirkan penguburan mayat itu hukumnya haram, sebagian qoul mengatakan makruh, kecuali ketika mayat berada dekat dengan Makkah, Madinah atau Baitul Maqdis, maka mengakhirkan penguburan mayat diperkenankan dengan tujuan untuk bisa dimakamkan di tempat-tempat tersebut, dengan catatan jarak antara mayat dan tempat-tempat tersebut masih masuk akal yaitu kondisi mayat tidak rusak selama perjalanan menuju tempat-tempat tersebut. Adapun Ulama Mutaakhirin berpendapat bahwa tidak hanya ketiga tempat tadi yang bisa dijadikan alasan untuk mengakhirkan penguburan mayat, melainkan semua tempat yang banyak terdapat makam ulama. (Al Mausu’atul Fiqhiyyah, juz 2, hlm : 342).
Adapun ketika penangguhan pemakaman itu dikarenakan ada anggota keluarga yang menuntut untuk menangguhkan pemakaman mayat, dengan tujuan agar mereka sempat mengikuti prosesi pemakaman, padahal pada saat itu ada banyak manusia yang layak untuk merawat (baca: memandikan, menyolatkan, dan menguburkan) mayat, maka menangguhkan penguburan mayat itu hukumnya makruh. Lain halnya ketika penangguhan itu dikarenakan menunggu seseorang yang lebih berhaq untuk memandikan mayat, seperti anaknya, ataupun karena menunggu agar orang-orang dapat berkumpul, maka penangguhan penguburan mayat hukumnya boleh. Dengan catatan waktu penangguhan tidak sampai merubah kondisi mayat. Hal ini mengambil ‘ibroh (pelajaran) dari pamakaman Nabi Saw. yang wafat pada pagi senin, tetapi baru dimakamkan pada tengah malam rabu. (Fatawi As Syubkah Al Islamiyah J. 156, hal. 157)

B. Penggalian Kembali Jenazah yang Sudah Dimakamkan (Nabsyil Qobri)
Dalam Kitab Majmu’ Imam Nawawy menyatakan boleh. Disitu dijelaskan, ketika mayat sudah dimakamkan dengan tanpa di sholatkan terlebih dahulu, maka kita tidak dianjurkan untuk menggali kembali makam mayat guna untuk menyolatkannya, karena sholat itu tetap bisa sampai kepada mayat meskipun mayat itu sudah ada di dalam kubur (sholat ghoib). Sedangkan ketika mayat belum dimandikan, atau belum dihadapkan kearah kiblat, maka kita diperbolehkan untuk menggali kembali jenazah mayat, dengan catatan kondisi jenazah mayat belumlah rusak. Bahkan hukum menggali kuburan untuk memandikan mayat dan menyolatkannya adalah wajib. Sedangkan ketika kita khawatir akan kondisi jenazah, karena mungkin dengan penggalian kembali akan merusak kondisi jenazah, maka hukum itu menjadi gugur, seperti halnya gugurnya hukum wudhu dan menghadap kiblat bagi orang yang masih hidup dalam sholat ketika ada halangan (‘udzur syar’i). (hlm : 299)
Seperti halnya kita diperbolehkan untuk menggali kembali jenazah yang sudah dikuburkan karena untuk dimandikan atau dihadapkan kearah kiblat, kita juga diperkenankan untuk menggali kembali jenazah yang sudah dikebumikan untuk Outopsi, seperti untuk mengetahui sebab kematian, atau untuk tujuan lainnya yang mengandung unsur kemaslahatan.
Hukum boleh menggali kembali jenazah yang sudah dimakamkan, juga berlaku ketika bersamaan dengan mayat terdapat benda berharga (ma yutamawwalu), karena meninggalkan / membiarkan harta terkubur bersama dengan mayat itu termasuk menyianyiakan harta, dan itu tidaklah diperbolehkan.

C. Memindahkan Jenazah
Permasalahan ini bisa dibagi menjadi dua bagian, pertama memindahkan jenazah sebelum dimakamkan, dan yang kedua yaitu memindahkan jenazah setelah dimakamkan.
Imam Syafi’i mengatakan bahwasannya memindahkan mayat dari tempatnya meninggal untuk dimakamkan di tempat lain tidaklah dianjurkan, kecuali ketika mayat berada di dekat Baitul Haram, Madinah, ataupun Baitul Maqdis. Ketika mayat berada di tempet-tempat yang dekat dengan ketiga tempat tersebut, maka lebih baik untuk dipindahkan menuju ke tempat-tempat tadi, karena keutamaan menguburkan jenazah di Baitul Haram, Madinah ataupun Baitul Maqdis. Imam Al Baghowy menyatakan hukum memindahkan mayat adalah makruh, bahkan Qadhi Husain Ad Darimy dan Al Mutawali menghukuminya Haram. (lihat.:Al Majmu’, juz : 5, hal.: 303)
Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwasa hukum memindahkan jenazah sebelum dimakamkan, diperbolehkan secara syara’, seperti halnya yang dikatakan oleh ulama Hanabilah, asalkan dengan tujuan-tujuan yang baik (baca : mashlahat). Misalnya, mendiang jenazah berwasiat agar bisa dimakamkan di suatu tempat yang tertentu, atau jenazah dipindahkan ke suatu tempat dengan trujuan agar bisa dimakamkan bersama para ulama, atau jenazah dipindahkan ke makkah, madinah ataupun baitul maqdis dengan tujuan bisa dimakamkan disana, ataupun keluarga menuntut agar jenazah dimakamkan di tempat kelahirannya agar pihak keluarga menjadi mudah untuk menziarahinya. Semua alasan tadi dibenarkan, asalkan lamanya waktu pemindahan itu tidaklah sampai merusak kondisi jenazah. (lihat: Asnal Mathalib, juz : 4, hal : 361, dan Fatawy As Syubkah Al Islamiyah, juz: 156, hal. 157, Mughni al Muhtaj, juz : 1, hal.:844))
Sedangkan ketika kita membahas mengenai hukum memindahkan jenazah setelah dimakamkan, maka sudah selayaknya kita mempertimbangkan dua hal. Yaitu alasan menggali kembali jenazah yang sudah dimakamkan, dan hukum memindahkan jenazah itu sendiri.
Mengenai hukum menggali kembali jenazah yang sudah dimakamkan, sudah ada pembahasannya sendiri dalam sub judul sebelumnya, sedangkan mengenai pemindahan jenazah yang sudah dimakamkan, hukumnya itu bisa kita samakan dengan jenazah yang belum dimakamkan (artinya dengan mempertimbangkan tujuan dan juga mempertimbangkan kondisi mayat).

D. Outopsi
Ulama Syafi’iyah memperbolehkan untuk melakukan pembedahan badan mayat karena untuk mengeluarkan anaknya, ataupun karena tujuan lain. Misalkan, si mayat pada masa hidupnya pernah menelan sebuah benda yang diambilnya secara tidak sah (maalun maghsubun), kemudian setelah mayat meninggal, orang yang memiliki benda tadi menuntut kembali benda miliknya agar dikembalikan, maka kita boleh bahkan wajib untuk menggali kembali makam tersebut dan melakukan pembedahan guna mengambil barang tersebut. Dengan dasar ini, diperbolehkan juga untuk melakukan outopsi ketika ada sebuah dharurat atau hajat (kebutuhan) untuk studi dengan niat yang baik atau karena untuk mengetahui sebab-sebab kematian dan penetapan hukum jinayat bagi orang yang dicurigai telah membunuh.
Berikut ini adalah syarat-syarat outopsi yang terdapat dalam kitab Fiqh An-Nawazil juz II : 46-47
• Apabila berkaitan dengan kasus jinayat, harus ada orang yang dicurigai.
• Adanya outopsi itu ditujukan untuk mengetahui Jarimah sehingga dapat membuahkan sebuah bukti seperti sebab terjadinya (latar belakang), motif, berikut dengan jejak-jejaknya.
• Adanya dharurat / hajat untuk melakukan outopsi dengan gambaran sebuah contoh bukti yang ada tidak cukup kuat (masih lemah) untuk digunakan dalam pengadilan.
• Tetap berjalannya pembagian harta waris bagi ahli waris (tidak menggugurkan hak waris)
• Outopsi dilakukan dibawah pengawasan doker ahli
• Adanya izin dari pemerintah.
• Adanya dukungan untuk melakukan outopsi untuk mengungkap jarimah atau kejanggalan kematian.